CerpenEmbun Pagi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Delapan)

Dalam dunia pesantren hal yang sangat dikenang oleh santri adalah pesan, wejangan dan nasehat wali kelas. Bagi para santri, pesan, peran dan nasehat wali kelas layaknya percikan air pegunungan di pagi hari. Sejuk dan penuh kesegaran. Pesan dan wejangan wali kelas sangat membekas di dada para santri-santri yang buas akan ilmu. Sekiranya pesan dan nasehat itu dapat dilukisakan, maka siapakah yang tidak mengenal air terjun “Ai Puti”. Air terjun yang terkenal dengan kesegaran, bening dan kejernihannya. Kesegaran dan kesejukan air terjun inilah yang membuat penduduk Rarak menjadi bersih jiwa dan tutur kata mereka. Jika anda berkesempatan berkunjung ke Desa Rarak, maka anda akan di sambut dengan indahnya sopan santun berbasa-basi, senyuman dan pola cara berbicara yang kuat melekat;

“Sia ngesar mo loka” [1]

“Silamo mo tu ngesar lo bale”[2]

Kata-kata itu keluar dari kesejukan hati dan jiwa mereka. Betapa indah buah dari kejernihan air terjun itu, sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap warga yang hidup di sekitarnya.

Baiklah, kita kembali kepada indahnya untaian nasehat sang wali kelas. Para santri dengan Ikhlas menunggu pesan dari wali kelas mereka. Mereka juga kadang-kadang ingin curhat tentang pelajaran, hafalan hadits, hafalan Qur’an, tafsir dan bahasa mereka. Dan inilah saat yang kami tunggu-tunggu. Aku, Abridin dan Mukhlis bermaksud menghadap wali kelas kami. kemi melangkahkan kaki menuju rumah bapak kedua dalam hidup kami. Sesampainya di depan rumah wali kelas Ustad Faqih Harwansyah, kami saling melempar keberanian siapakah diantara kami yang akan tampil berani mengetuk pintu dan mengucapkan salam terlebih dahulu. Aku mundur dengan pasrah, Mukhlis juga pelan-pelan mundur beberapa langkah mengikutiku. Kami masih berselisih tentang siapakah yang pertama untuk memberi salam. Akhirnya, berkat kecerdasan Mukhlis, ia berbisik pelan.

“Kita dorong Abridin, aku yang hitung satu, dua , tiga!!”

Abridin terdesak pas di depan pintu rumah ustad Faqih. Dengan terpaksa Ia memberanikan diri mengetuk pintu dan mengucapkan salam

“Tok, tok, tok”

“Assalamualaikum Ustadz…”

Dua menit suasana hening,,

Kembali ia mengulangi..

“Assalamualaikum Ustadz…”

Belum juga ada jawaban dari dalam

Suara Abridin terdengar berat mengucakan salam untuk ketiga kalinya. Sepertinya ia tidak terima dengan doronganku dan Mukhlis, yang memaksanya mengetuk lagi pintu rumah Ustad Faqih.

“Ayo Din, ketuk lagi pintunya” Seru Mukhlis dengan suara lepas.

“Ehh…Lis, kau jangan nyuruh saja, maju kesini kalau berani.” Abridin menggertak Mukhlis untuk maju. Mukhlis tetap menahan senyum di belakangku, senyum yang hampir pecah dari bibirnya. Ia lantas berujar;

“Kan, kamu yang pertama mengucapakan salam Din, masa’ kamu takut untuk mengulanginya lagi, mengucapkan salam itu banyak pahalanya lho,!” Kembali Mukhlis memancing Abridin yang sudah sempat emosi. Abridin sejenak melihat kearah Mukhlis, mata mereka bertemu. Aku berdiri di tengah-tengah dua sahabatku yang selalu berbeda persepsi itu. Akhirnya aku mencoba melerai Quarrel (pertengkaran mulut) Mukhlis dan Abridin;

“Huuss,” “Sudah!” “Sudah!”

“Kalian memang tidak pernah sepakat dalam satu hal.! Sampai kapan kalian akan saling berbeda persepsi.! Untuk bertemu wali kelas saja kalian masih rame!. Kalau begitu kita tunda saja sekarang! Kita bertatap muka nanti malam saja, Lis, Din. Siapa tahu ustad Faqih sekarang sedang istirahat. Daripada kita menunggu disini dan mendengar kalian terus saling bertengkar mulut. Aku jadi streesss. Sekarang kita balik ke asrama! Kita balik lagi nanti setelah shalat Isya, Sekalian kita ajak Bambang, Anto, Zaenal dan teman-teman lain, siapa tahu mereka mau setor hafalan hadist atau Qur’an.” Ujarku memberi putusan.

Mereka berdua diam. Kemudian saling tatap dan kompak membalas;

“Baiklah kalau begitu. Kita datang lagi setelah shalat Isya.” Sahut Abridin dan Mukhlis dengan kepala mengangguk tanda setuju.

Keinginan kami untuk bertemu wali kelas hari itu akhirnya kami urung setelah shalat Isya. Kami rindu akan pesan wali kelas kami Ustad Faqih Harwansyah. Beliau adalah ustad yang datang dari Sumbawa Besar. Akan tetapi, beliau telah menamatkan studi Sarjana S1 di Malaysia. Kami bangga dengan paras dan style beliau yang selalu semangat dalam mengajar. Beliau selalu sabar mendidik kami santri-santrinya. Ustad Faqih tidak pernah meninggalkan kelas tanpa alasan.

“Jika lima belas menit ustad tidak masuk, maka saya minta izin tidak bisa masuk mengajar” Terang Ustad Faqih jika akan berhalangan masuk kelas kami.

Kami pun berjalan menuju asrama dan persiapan shalat berjamaah Zuhur. Mukhlis dan Abridin berjalan cepat meninggalkan aku sendiri. Sepertinya mereka cepat-cepat ingin sampai asrama dan merebahkan tubuh mereka di atas kasur lusuh  itu. Akupun tidak mau ketinggalan mengejar mereka yang mulai merasakan kedatanganku.

To be Continued


[1] Silakan mampir dulu. Bhs daerah Taliwang
[2] Silakan, mampir dulu ke rumah. Bhs daerah Taliwang

Related posts

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Dua)

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Sembilan)

Sofian Hadi

Cerpen: Memoar Rindu Santri. Bag dua. Selesai

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Empat)

Sofian Hadi

Cahaya di Balik Musibah

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Enam)

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!