Berawal dari pengalaman spiritual Badiuzzaman Said Nursi, seorang cendikiawan Muslim asal Turki, ia mengarang sebuah karya yang bersifat reflektif. Dengan daya keilmuan luas dan tafakkur tinggi ia mengutarakan banyak hal dalam setiap bab di mana pembahasanya sangat menarik, meneguhkan, menegaskan dan mencerahkan pikiran hingga terbawa nikmatnya tafakkur.
Keistimewaan buku ini adalah pembahasanya yang diawali penggalan ayat-ayat pendek lalau dinarasikan dalam bentuk hakikat dan beberapa pertanyaan teoritis. Secara garis besar, buku Al-Kalimat ini menggambarkan pemahaman tentang makna dan hakikat ibadah, kenabian, Al-Qur’an, tauhid, sosial dan filsafat.
KALIMAT PERTAMA
Pada bagian ini kalimat pertama penulis mengawali dengan megutip basmalah : “Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Fatihah [1]: 1)
Refleksi: Sebelum melakukan susuatu mulailah dengan bismillah, karena dengan kalimat ini merupakan awal segala kebaikan dan permulaan segala urusan penting. Kalimat bismillah, disamping sebagai syiar Islam, kalimat yang baik dan penuh berkah ini merupakan zikir sebagai wujud melalui lisan. Simaklah cerita imajiner ini agar kita mengetahui sejauh mana kekuatan bismillah yang begitu luar biasa dan penuh berkahan. Berikut ceritanya;
Dikisahkan seorang badui yang hidup berpindah-pindah dan mengembara di padang pasir sehingga harus bergantung dengan pemimpin kabilah, untuk mendapat perlindunganya agar terbebas dari gangguan orang-orang jahat kemudian terbebas dalam pekerjaanya. Jika tidak, ia akan merana, cemas, dan gelisah dari gangguan musuh dan kebutuhan yang tak terhingga.
Pengembaraan yang sama dilakukan oleh dua orang; yang pertama rendah hati dan yang kedua sombong. Orang yang rendah hati menisbatkan dirinya kepada yang Maha Kuasa sedangkan orang yang sombong menolak untuk menisbatkan diri pada-Nya. Keduanya pun berjalan di padanag pasir. Setiap kali orang yang menisbatkan dirinya itu singgah di sebuah kemah, ia disambut denagn penuh hormat berkat berkat nama penguasa yang di sandangnya.
Jika bertemu dengan perompak di jalan, ia berkata “aku berjalan atas nama penguasa.” Mendengar hal itu, perompak tadi membiarkanya pergi. Adapun yang sombong, ia menjumpai berbagai cobaan dan musibah yang tak terkira. Pasalnya disepanjang perjalanan ia terus berada di dalam kekhawatiran. Ia selalu meminta dikasihani hingga membuat dirinya hina.
Lihat bagian dua..