Hikmah

Tentang Etika

Tegak Rumah Karena Sendi
Runtuh Sendi Rumah Binasa
Sendi Bangsa Ialah Budi
Runtuh Budi Runtuhlah Bangsa.

(Hamka, Lembaga Budi, 2016)


Tahun 1972, Prof. H.M. Rasjidi menulis buku dengan judul; Agama dan Etik. Buku tipis ini adalah monograf hasil konferensi Perhimpunan Filsafat Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta. Di dalam buku tersebut Prof. Rasjidi mengungkapkan bahwa suatu masyarakat adalah sebuah kebudayaan dan masyarakat berlandaskan pada cara pandang tentang dunia, alam dan manusia.

Cara pandang dan cara berpikir merupakan sistem norma penting dan harus dimiliki oleh setiap masyarakat sebagai tujuan hidup. Dalam bahasa lain, cara pandang dan berpikir masyarakat tersebut harus berbudaya dan mempunyai sesuatu yang diunggulkan. Sesuatu yang diunggulkan itulah yang disebut dengan etika.

Sebab, hal yang terjadi di Indonesia saat ini adalah bangsa ini sedang mengalami krisis kebudayaan, sekaligus kritis etika yang mulai tergerus dari masyarakat. Tentunya sebuah tanda tanya besar, kenapa etika dan kebudayaan tergerus dari masyarakat?

Jawaban-nya adalah karena serbuan kebudayaan modern. Budaya modern merong-rong sebagian besar tatanan kehidupan masyarakat. Ketika sebuah masyarakat terjajah oleh kebudayaan modern, tentu akan merusak tatanan, fondasi sekaligus akan melemahkan budaya dan masyarakat tersebut. Hilanglah integritas, etika dan kebudayaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, etika dan kebudayaan tidak terintegrasi dengan baik, tujuan norna masyarakat menjadi simpang siur dan mudah dipengaruhi budaya lain.

Pada akhir kesimpulan, beliau menyampaikan bahwa; bangsa Indonesia di masa yang akan datang memerlukan etika yang sesuai dan terintegrasi dengan masanya. Hari ini bangsa Indonesia sudah memiliki etika, namun harus mencari etika yang lebih sesuai dengan zaman yang akan datang.

Titik tekan yang disampaikan oleh Prof. Rasjidi adalah bangsa Indonesia memerlukan etika yang sesuai pada masa dan waktunya. Pada masa lampau Indonesia sudah punya etika tapi lambat laun ditinggalkan. Padahal etika masyarakat pada zaman lampau tertanam kuat, erat nan kokoh yaitu bersumber dari agama (Islam).

Cukup dalam jabaran yang beliau berikan, bahkan faktanya saat ini etika dalam sanubari bangsa Indonesia terjadi. Rusak, hilang, hingga ditinggalkannya etika dan integritas (jati diri bangsa).1 Negara tidak lagi memiliki integritas, persis kata mantan Presiden ke-3 Indonesia B.J. Habibi “Untuk apa merdeka namun tidak punya integritas!” ungkapnya.

Kemudian pada tahun 1992 Buya Hamka menulis buku dengan tema Akhlaqul Karimah. Meskipun faktanya, Buya Hamka menulis buku ini sekitar tahun 1960. Buku ini erat kaitannya dengan beberapa buku sejenis, seperti Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi dan Lembaga Hidup

Buya Hamka pemulai pembahasan dengan tema budi pekerti. Hamka mencoba membagi budi pekerti menjadi dua; Budi pekerti baik dan budi pekerti jahat. Budi pekerti baik adalah perangai dari para Rasul dan orang terhormat, sifat muttaqin, hasil perjuangan hamba dalam ibadah. Sedangkan budi pekerti jahat adalah racun berbisa. Kejahatan dan kebusukan yang menjauhkan sesorang dari Tuhan.

Buya Hamka kemudian mejelaskan sumber penting budi pekerti; 1. Hikmat. 2. Syuja’ah. 3. Iffah. 4. Adalah (bersikap adil). Hikmat adalah keadaan nafs (batin) yang dengan hikmat dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Atau segala perbuatan yang berhubungan dengan ikhtiar.

Syuja’ah merupakan kekuatan ghadhab (marah) yang dituntun oleh akal. Iffah ialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara’. Sedangkan ‘Adl (adil) adalah keadaan nafs; suatu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.2

Yang menjadi point penting yang ingin disampaikan Buya Hamka adalalah sebagai seorang hamba dan sebagai manusia harus tahu diri, tahu budi tahu pekerti. Jika manusia tidak tahu akan budi apalagi pekerti maka hikmat (keadaan batin) akan bergoncang dan pasti bermasalah.

Masalah batin (nafs) ini timbul karena tidak rasa tahu diri. Tidak tahu diri akan meleyapkan semua rasa seperti; tidak tahu malu, tidak tahu balas budi, tidak tahu tata karma, sopan santun dan sebagainya. Jika tidak tahu akan diri, bagaimana dia akan tahu tentang Tuhannya. Sifat ketidaktahuan inilah yang banyak disebut orang dengan istilah tidak ber-akhlaq dan tidak ber-adab dan tidak ber-etika.

Kata etika inilah kemudian yang dipakai oleh Aristoteles seorang filsuf Yunani (384-322 s.M.) untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berasan dari bahasa Yunani kuno bentuk tunggalnya ethikos atau ethos yang bermakna; adat, kebiasaan, akhlak, watak, sikap, perasaan dan cara berpikir.3 Bentuk jamaknya adalah ta etha yang artinya adat kebiasaan. Etika oleh Aristo dipinjam untuk memperkenalkan apa yang disebut dengan filsafat moral.

Adapun menurut Cicero, kata ethikos ekuivalen dengan kata moralis. Kedua kata ini menyiratkan hubungan praktis. Dalam bahasa berbeda, etimologi kata “etika” dan etimologi kata “moral” adalah sama. Hanya saja asal bahasa berbeda; Atika berasal dari bahasa Yunani sementara moral dari bahasa Latin; mos (jamak mores).4

Jika ditelaah lebih lanjut, dalam Islam kata Akhlaqul Karimah seperti yang dijabarkan Hamka berbeda dengan makna dan konsep dari kata etika dan moral yang hanya sekedar bermakna adat, kebiasaan, sikap dan watak. Namun lebih dari semua itu. Tentunya kata akhlaqul karimah merupakan representasi kamîl (sempurna) dari hanya sekedar kata etika dan moral. Sebab di dalam Islam kata Akhlaqul Karimah telah melekat dan telah dipraktikkan oleh diri Rasulullah Saw.

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Dan sesungguhnya, engkau seorang yang mempunyai (akhlaq) budi pekerti yang mulia. (QS. Al-Qalam ayat 4)

Kerenanya baik itu etika, moral, budi pekerti jika disimpulkan adalah akarnya berasal dari Akhlaqul Karmah. Jika akarnya kuat maka batang akan tumbuh tegap dan buahnya manis. Banyak buah yang busuk karena akar dan batang tidak dirawat dengan baik, sehingga buah akan rusak, merusak lingkungan, budaya, adat istiadat, masyarakat dan bangsa.


Wallahu’alam bis showab

  1. Prof. M. Rasjidi, Agama & Etik, (Jakarta: Sinar Huadaya, cet. Pertama Juli, 1972)
  2. Prof. Hamka, Akhlaqul Karimah (Jakarta: Pustaka Panjimas 1992)
  3. K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Hal. 4
  4. Dr. H. Mukhlisin Sa’ad,M.Ag. Etika Sufi Ibn Al-Arabi, (Probolinggo: CV. Mandiri, April 2019).

Related posts

“IMAJINER” Untaian Nasehat Badiuzzaman Said Nursi (3)

Fiqri Rabuna

Nilai Peradaban Islam yang di Rampas

Sofian Hadi

Tren Generasi Milenial: Telisik Kegersangan Jiwa

Sofian Hadi

Melihat Lebih Dekat Pruak Desa Rarak (Sebuah Memoar)

Sofian Hadi

Hikmah di Balik Perubahan Iklim: Menemukan Pelajaran dari Tantangan Global

Sofian Hadi

“IMAJINER” Untaian Nasihat Badiuzzaman Said Nursi (1)

Fiqri Rabuna

Leave a Comment

error: Content is protected !!