Ribut perkara nasab yang sampai saat ini terjadi di Indonesia, antara para Habib dan para pendukung kyai Imanuddin Banten. Sampai detik ini, sering kali lewat diberanda media sosial penulis atau yang sedang membaca tulisan ini.
Terkait sebuah video seseorang babib yang mengatakan bahwa dia adalah seorang keturunan Nabi Muhammad Saw dan mengklaim nasabnya paling benar serta mengatakan nasab Wali Songo itu terputus, atau video seorang kyai yang membatalkan kebenaran nasab para habib (ba’alawi).
Ramai orang di media sosial mengikuti perkara ini, mulai dari kalangan awam sampai kalangan intelektual, hingga seakan-akan keributan ini, dianggap sesuatu yang sangat penting, para petani dan nelayan pun ikut berkomentar, para artis dan jurnalis juga ikut membicarakan soal nasab.
Karena itu, melalui tulisan ini penulis tidak ingin membela dan menyalahkan nasab seseorang, tidak pula ingin mendukung salah satu dari kedua kelompok yang sampai saat ini, masih saling tanggap-menanggapi, saling kritik-mengkeritiki di media sosial.
Penulis hanya bisa berdoa dan berikhtiar dengan tulisan ini, semoga kebenaran akan segera terungkap, semoga melalui tulisan ini, masyarakat lebih bijak dalam menyikapi konflik yang sedang terjadi. Agar tidak terkesan mengarang, penulis sertakan link yang menjadi pemicu kasus ini,
Melalui tulisan ini, penulis tidak ingin larut dan fokus pada klem nasab dan sampai berujung pada saling tantang diantara kedua belah pihak untuk melakukan tes DNA. Sehingga dari kasus ini, penulis menyimpulkan setidaknya ada dua poin penting yang perlu menjadi perhatian bersama sebagai seorang muslim.
Pertama, kepada mereka yang memiliki nasab mulia (habib, kyai, tuan guru, gus dll). Nasab mulia itu, bukan untuk dibangga-banggakan. Sampai ada pernyataan bahwa 1 (satu) orang habib lebih baik dari pada 70 (tujuh puluh) kyai, kami ini keturunan Nabi, di dalam darah kami terdapat darah Nabi.
Pernyataan seperti ini sangat kontradiktif (bertentangan) dengan ajaran Islam. Seolah-olah ada jaminan dari Allah SWT, kepada pemilik nasab mulia. Anak kyai bangga dengan nasabnya, dengan mengatakan; saya kan Gus, saya kan anak tuan guru, saya kan anak nabi, saya kan anak presiden, saya kan anak gubernur dan lain sebagainya.
Pertannyaannya, sejak kapan dalam Islam, nasab dijadikan sebagai sandaran dan syarat diterima dan ditolaknya sebuah amalan? Sejak kapan ukuran kebaikan dan keburukan seseorang dilihat dari nasabnya? Apakah benar seseorang itu bisa mencapai derajat kemulian disisi Allah dengan nasabnya? Kemudian apakah benar seseorang yang tidak meliliki nasab yang mulia, akan Allah hinakan dan terlantarkan?
Dalam syari’at Islam, keimanan dan amal sholeh, menjadi salah satu syarat seorang itu mulia atau sebaliknya. Karena itu, dalam agama Islam kemuliaan seseorang tidak dilihat dari nasabnya. Sehingga sikap kita kepada pemilik nasab mulia sangat jelas, kita menghormati mereka namun kita tidak mensucikan mereka. Ada banyak sekali dalil dan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist yang menyinggung hal ini. Allah Ta’ala berfirman;
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al An’âm: 132 dan Al Ahqaf: 19).
Ayat ini menunjukkan bahwa amalanlah yang menaikkan derajat hamba menjadi mulia di akhirat.
Adapun di dalam shahihain disebutkan;
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika turun ayat, dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu Beliau berkata, “Wahai orang Quraisy atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barang siapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).
Hadist ini menjadi bukti bahwa nasab serta hubungan keluarga tidak dapat menjamin seseorang itu selamat dan mulia. Tidak ada jaminan dari Allah bahwa seseorang itu di ridhoi dan rahmati karena nasabnya.
Karena itu, salah satu sebab terjadinya perkara (nasab) ini adalah kerena kesalahan dalam berpikir, cara pandang mereka dalam memahami syariat Islam. Bisa jadi mindsetnya tidak sesuai dengan syariat Isalam sehingga worldview-nya bermasalah.
Kedua, Kepada mereka yang memiliki nasab mulia. Sikap kita sebagai seorang Muslim adalah, kita menghormati mereka, namun kita tidak mensucikan mereka. Karena itu, kita juga berhak mengkritik siapapun mereka, selama mereka bertentangan dengan hukum atau syariat Islam. Maka sebagai seorang Muslim, kita berhak meluruskan, dan menasehati terhadap ketidaksesuaian tersebut. Karena agama ini adalah nasehat. Jika mereka benar kita benarkan. Bukan membenarkan kesalahan dan menyalahkan kebenaran.
Inilah cara kita memberi nasehat kepada mereka dan tidak lantas mensucikan mereka yang bernasab mulia. Cara pandang seperti inilah yang harus di bangaun di tengah masyarakat kita, sehingga siapapun anda, anak kyai kah, anak wali kah, keturunan Nabi kah, harus diingat bahwa tidak ada jaminan anda selamat dengan nasab tersebut, semua kita ditentukan oleh keimanan dan amal sholeh yang kita lakukan.
Pesan penulis, mari masing-masing bercermin, sesama Muslim jangan saling hina dan saling mencaci, jangan mudah kagum dan heboh dengan hal-hal kecil dan remeh. Ingatlah para musuh Islam, mereka yang paling senang bila kita saling bermusuhan. Dan merekalah yang tertawa jika kita bertentangan.
Tulisan ini adalah karya pemenang juara 2 (dua) dalam ajang Kompetisi Naskah Ilmiah Anniversary Batuter.com.
Penulis: Jalaluddin, S.Pd.