Opini

Kearifan Lokal (Local Wisdom) Taliwang, Quo-Vadis? Bagian Satu

Kepulauan Sumbawa secara administratif masuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi Nusa Tenggara Barat ini dibagi dalam dua pulau perpisah yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Pulau Sumbawa terbagi dalam empat Kabupaten dan satu Kota. Kabupaten Sumbawa Besar, Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kota Bima .

Masing-masing kabupaten dan kota mempuanyai ciri khas nilai local genius atau lebih popular disebut dengan istilah local wisdom (kearifan lokal), walaupun terdapat beberapa kesamaan, akan tetapi juga berbeda dan beragam dari kabupaten lain.

Beberapa contoh keberagaman kearifan lokal yang unik terdapat di Kabupaten Sumbawa Barat adalah festival bau nyale (tangkap nyale), berapan kebo’ (karapan kerbau), nganyang (berburu), berempuk (berkelahi tangan kosong) dan beberapa kearifan lokal lainnya.

Dari Festival lokal bau nyale hingga berempuk masih bertahan hingga sekarang dan menjadi warisan budaya lokal dari generasi ke generasi sebagai bentuk kearifan lokal warga Sumbawa Barat dalam memupuk budaya dan semangat gotong-royong masyarakat sehingga tidak lekang ditelan arus modernisasi global.

Semua jenis kearifan lokal tersebut hasil dari warisan kemudian dirayakan secara gegap gempita, walau di sisi lain sedikit demi sedikit budaya tersebut mulai terintegrasi oleh arus global yang bersandar pada modernisasi teknologi.

Dalam kurun satu dasawarsa isu local wisdom (kearifan lokal) atau dahulu lebih dikenal dengan kebudayaan lokal secara terbuka mulai dikaji, diteliti dan disosialisasikan oleh pemerintah. Hal ini tentu menggembirakan, sebab membangkitkan harapan akan eksistensi local wisdom (kearifan lokal) yang perlahan mendapat tantangan external di era globalisasi.

Permasalahan yang timbul adalah quo-vadis kearifan lokal tersebut? Apakah harus saling berbenturan? Atau dibiarkan berjalan secara terpisah? Atau mengambil jalan tengah mengintegrasikan kearifan lokal dengan kearifal global?

Tulisan ini mencoba menganalisah eksistensi kearifan lokal dan kearifan global di Kabupaten Sumbawa Barat yang mulai digalakkan oleh Pemerintah Daerah. Dengan menggunakan metode analisis praktik lapangan penulis mencoba membaca dan menelaah eksistensi kearifan lokal dan kearifan global khususnya pasca datangnya pengaruh perusahaan tambang emas asing sejak tahun 1999 hingga sekarang di Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat.

Quo-Vadis dan Kearifan Lokal

Quo-Vadis merupakan istilah baru atau trend bahasa terkini dalam dunia kontemporer. Quo vadis merupakan penggalan kalimat dalam bahasa Latin yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan ungkapan pertanyaan. Contohnya, quo vadis kearifan lokal di tanah Sumbawa. Maksudanya kemanakah kearifan lokal di tanah Sumbawa akan di bawa? Atau dalam contoh lain, quo vadis wisata halal di Indonesia. Kemanakah tujuan wisata halal di Indoensia akan dipromosikan?

Terma quo vadis meskipun sedikit asing di dalam dunia literasi di Indonesia, namun telah banyak digunakan dalam tajuk diskusi, jurnal, buku, dan makalah ilmiah di berbagai media ataupun perguruan tinggi. Dalam ranah inilah pengertian dari istilah quo vadis dimaksudkan dalam tulisan ini.

Selanjutnya, agar tidak terjebak dalam kerancuan dalam pembahasan, perlu di definisikan terlebih dahulu pengertian kearifan lokal dimaksudkan dalam pembahasan tulisan ini. Pengertian kearifan lokal cukup beragam serta mempunyai definisi dan terma yang berbeda.

Ada yang menggunakan istilah local wisdom, local knowledge, local traditions, traditional knowledge, indigenous people, local community, primitive people dan sebagainya. Sebab itulah, diperlukan penjelasan lanjutan dari istilah dan terma tersebut guna menambah wawasan pengetahuan kita dalam memahami makna dari istilah tersebut.

Istilah kearifan lokal digunakan oleh Clifford Geerts dalam bukunya Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Pada mulanya, buku ini adalah materi perkuliahan Geerts di Yale Law School tahun 1981, kemudian dihimpun menjadi sebuah buku rampai. Di dalam buku tersebut Geerts mencoba menjelaskan perubahan suatu bangsa yang mewariskan tradisi yang terus berganti secara turun temurun.

Secara general, Geerts menggambarkan bagaimana transformasi negara, budaya, dan agama di dunia seperti di Amerika, Melayu, India, Indonesia, Afrika dan sebagaiannya. Pada bagian akhir, Geerts berkesimpulan bahwa analisisnya mengenai suatu budaya merepresentasikan sebuah usaha bagaimana memahami manusia dengan ilmu anthropologi, bagaimana mereka bertahan dengan budaya, lingkungan dan tradisi untuk kemudian berusaha membentuk kehidupannya, (Clifford Geerts, 1983:14-16).

Walaupun Geerts tidak mendefinisikan secara obvious (jelas, terang) makna dari kearifan lokal, akan tetapi dari kandungan bukunya secara terang membahas tentang tradisi, budaya, teori kehidupan, serta hal-hal yang masih bersifat kebudayaan primitif. Sehingga, Local Knowledge yang dimaksudkan dalam judul bukunya dapat dimaknai sebagai definisi kearifan lokal yang erat kaitannya dengan ilmu antropologi.

Adapun di dalam buku Ethnobotany: Local Knowledge and Traditions, local knowledge (kearifan lokal) didefinisikan sebagai indigenous knowledge (pengetahuan pribumi) yang tertanam dalam hidup suatu komunitas berdasarkan kepada kearifan dan pengalaman dari komunitas lokal yang dimulai sejak zaman purba.

Sepanjang waktu tersebut pengetahuan yang dimiliki menjadi sebuah tradisi dari masyarakat lokal atau suku tertentu. Selanjutnya, pengetahuan tersebut berproses dari generasi ke generasi yang difokuskan dalam bidang pertanian, obat-obatan dan lain sebagainya. (Jose L. Martinez, et.all, 2019:1).

Sementara Rebecca Tsosie seperti dikutip Mellisa K. Nelson dan Dan Shilling dalam buku Traditional Ecological Knowledge: Learning from Indigenous Practice for Environment Sustainability, lebih cocok menggunakan istilah traditional knowledge untuk menerangkan arti kearifan lokal yang kemudian didefinisaikan sebagai golongan yang mengetahui bagaimana skill, inovasi, latihan, belajar dan mengajar dari warga asli pribumi, komunitas lokal, dan sebuah bangsa yang dinamis, berevolusi dan berkembang dari generasi-kegenarasi.

Tsosie bahkan tidak menggunakan satu istilah, untuk menerangkan kearifan lokal, ia juga memakai istilah indigenous peoples, menurutnya istilah indigenous peoples lebih kekinian, dan lebih modern. Tsosie memberikan definisi indigenous peoples sebagai penduduk tradisional yang menjaga tradisi nilai, budaya dan cara hidup. (Mellisa K. Nelson & Dan Shilling, 2018: 233-234).

Para peneliti atau pemerhati kearifan lokal di Indonsia juga memaknai kearifan lokal dalam pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah didefinisikan sebelumnya. Makna kearifan lokal (local wisdom) dalam pengertian kebahasaan berarti kearifan setempat yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, mempunyai nilai yang terkandung dan didikuti, diterima oleh individu masyarakat.

Kearifan lokal juga dikenal sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge) biasa juga disebut dengan kecerdasan setempat (local genius) yang menjadi dasar identitas kebudayaan (culture identity). Pengertian ini dipahami dari sudut pandang konsep antropologi. (Ade Makmur, 2011: ix).

Dalam pengertian lain, kearifan lokal menurut (Sukari, dkk, 2016: 11), dapat pula mengandung pengertian sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas dalam mengelola lingkungan alam dan sosialnya yang dalam menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk membangun, daya tahan dan daya tumbuh dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Atau, kearifan lokal merupakan akumulasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah strategi masyarakat dalam merespon permasalahan berkaitan dengan lingkungan hidup.

Perbedaan definisi secara terminologi mengenai kearifan lokal seperti yang telah jelaskan di atas, secara umum berakumulasi kepada satu makna kearifan lokal yang bersandarkan kepada perangkat pengetahuan, pikiran dan kemampuan suatu komunitas dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungannya.

Sahingga, dari interaksi tersebut timbullah kemauan hingga proses kesadaran pada diri manusia untuk manjaga, melestarikan dan mempertahankan lingkungan dan kebudayaannya.

Dalam pengertian sederhana, kemampuan memahami dan melestraikan budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat penting diketahuai. Serta dibutuhkan eksistensi sebuah pikiran, gaasan dan pengetahuan dalam upaya mendukung nilai-nilai kearifan lokal, sehingga definisnya tidak bergeser menjadi “kearifan global”, yang mengandung arti bahwa nilai kearifan lokal berevolusi karena faktor globalisasi dan modersisasi kebudayaan.

Related posts

Islamophobia, Isu yang Terus Digoreng

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Berbagi Senyum Menebar Kagum

Sofian Hadi

Tantangan Pemikiran Islam: Sebuah Tinjauan Primordial

Sofian Hadi

Bala Lanta: Menjaga Tradisi Gotong-Royong di Pulau Sumbawa

Sofian Hadi

Bagaimana Mempertajam Ingatan bagi Generasi Milenial

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!