وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
Begitulah bunyi firman Allah dalam Al-Qur’an pada bagian akhir dari Surat Muhammad ayat (38) tiga puluh delapan. Penggalan ayat ini merupakan sebuah ta’kid yang secara etimologinya mengandung arti sebagai penguat. Sebab dalam kaidah bahasa arab, suatu informasi yang disampaikan perlu diberikan ta’kid supaya orang yang menerima informasi tersebut tidak ragu bahkan ingkar kepada ayat yang diwahyukan Allah kepada utusan-Nya baginda Muhammad Saw.
Petikan terakhir dari ayat diatas merupakan fakta nyata berapa banyak golongan yang berpaling dari syari’at dan hukum Islam, mereka akhirnya digantikan dengan kaum lain, kaum yang boleh jadi lebih buruk perangainya dari kaum sebelumnya. Semoga ulasan yang akan dipaparkan berikut mampu membuka cakrawala pengetahuan kita dalam melihat realitas kedaulatan nasip republik yang kita cintai.
Seiring waktu berjalan, pasca proklamsi kemerdekaan tujuh puluh empat tahun silam, jargon pembelaan kedaulatan pertiwi terus dikumandangkan. Semangat optimisme tak hentinya digelorakan. Semua berdalih merebut start terbaik untuk berada di garda terdepan dalam membela kedaulatan dan tegaknya keadilan di negeri ini.
Begitulah selayaknya jiwa pejuang, harus rela berkorban demi tegaknya kedaulatan. Kedaulatan yang telah direbut dengan darah dan nyawa, dengan resolusi dan strategi, dengan jihad dan semangat. Hingga pada akhirnya membuahkan hasil yang tidak sia-sia, yaitu merengkuh kedaulatan pertiwi dari tangan kolonial.
Pasca keberhasilan memperjuangkan kedaulatan negara, yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang gegap gempita dan bersumbu api gelora, tantangan baru sebaliknya mulai bermunculan. Gerakan ideologi yang ingin meretas kedaulatan nusantara tumbuh dengan semangat berbeda. Semangat yang tak kalah gemuruh dari semangat proklamasi. Ideologi ini mulai unjuk taring dengan terang-terangan memunculkan teror dipenjuru negeri.
Bahkan, karena kepiawaian pemimpinya, negera sempat mengakui ideologi ini untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan. Bukan tanpa alasan dan dasar yang jelas mereka bertindak, tujuan dan visi-misi mereka bahkan lebih jelas dari lambang Garuda sebagai jaron negara. Tiga kali upaya meretas nalar kedaulatan pertiwi mereka lakukan dimulai tahun 1926, 1948 hingga tahun 1968.
Jika pembaca ingin mengetahui kebengisan ideologi ini, silakah membaca buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon mengenai upaya busuknya nalar berfikir dan bertindak kelompok atau ideologi ini. Betapa begis dan sadis para penggugat kedaulatan itu memamerkan kedurjanaan mereka, tanpa sedikitpun gentar melanggar,nwalau bertentangan dengan pedoman kitab suci. Jika boleh jujur, siapapun pasti tidak akan kuat untuk membaca habis buku itu, fakta sejarah yang telah mereka pertontonkan tak ubahnya adengan thriller yang mereka sutradarai sendiri. Sungguh tak ber-prikemanusiaan.
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. (Al-‘Araf 179)
Mungkin itulah gelar yang pantas disematkan kepada para pengusung ideologi ini (Binatang ternak, sesat bahkan lebih sesat lagi) yang telah membantai puluhan juta manusia dipenjuru dunia; Rusia, Cina, Kamboja, Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika, Afganistan hingga di bumi pertiwi. Padahal mereka mempunyai hati namun keras bak batu-batu cadas, sombong, angkuh dalam memahami ayat-ayat Allah. Padahal mereka mempunyai mata namun, mata mereka tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka mempunya telinga tetapi tidak dipakai untuk mendengar ayat-ayat Allah. Sungguh merugi dan celakalah mereka.
Seperti itulah fitrah manusia manusia, jika hatinya telah keras, kebenaran apapun tidak mempan menembus. Segala bentuk perbuatan yang dilakukannya merupakan refleksi isi kepala dan hati mereka yang kotor. Tindak-tanduk mereka yang brutal kepada penentang ideologi yang mereka anut merupakan bukti nyata sifat kebinatangan mereka, bahkan lebih rendah dari binatang itu sendiri.
Cukuplah negeri ini menangis menyaksikan kebiadaban dan kebengisan para penganut ideologi sesat ini. Cukuplah derita nyawa yang dipaksa putus dari raganya. Betapa hina-dina manusia-manusia yang berdiri dibarisan dan doktrin mereka. Maka ketahuilah bahwa setiap perbuatan mereka akan dibalas dengan balasan setimpal.
Begitulah sejarah hitam negeri ini. Sejarah darah dan air mata. Kelam. Pahit, jika diurai terlalu dalam. Sungguh berat beban yang digandar ibu pertiwi. Beban penjajahan, peperangan dan beban penghianatan tak selayaknya dipikul sendiri. Beban yang harus digenggam oleh jiwa yang patri bukan oposisi tirani. Jiwa yang tidak akan rela kedaulatan tanah pertiwi kembali diinjak-injak oleh jiwa-jiwa kolonial dan ideologi bengis mereka.
Tinggal sekarang, bagaimana usaha mengembalikan kedaulatan negeri. Merawat kemudian menanamkan sikap patriot pada jiwa yang apatis akan nilai-nilai kedaulatan yang selama ini semakin terkikis. Nilai kedaulatan yang terus tergerus arus zaman yang lambat laun menjebak manusia kejurang kehancuran.
Kita tinggalkan sejenak pengembaraan sejarah masa lalu, mari kita diskusikan beberapa poin penting tentang kondisi kekinian negeri ini. Terlalu banyak masalah primordial yang muncul mendera tanah nusantara belakangan ini. Carut-marut ‘penjaga dan pembela baru’ negeri ini bermunculan ke permukaan dengan tendensi dan dalih memperjuangkan, mempertahankan serta membela kedaulatan negeri.
Entahlah, terlepas dari berjubelnya pemahaman aliansi, ormas, peguyuban dan sejenisnya. Namun, bukannya semakin memperkokoh fondasi bumi pertiwi sebaliknya, terkesan memecah belah kesatuan dan persatuan kedaulatan tersebut.
Hingga dalam satu dasawarsa, isu kedaulatan negeri kaya-raya ini hangat diperbincangkan. Di satu sisi klaim menjaga keutuhan tanah pusaka gencar disuarakan oleh sebagian kelompok. Mereka berkilah Negara Kesatuan adalah harga mati, pancasila adalah final. Sekiranya, ada yang mencoba mengusik konsensus tersebut, oleh kelompok ini, tidak akan dibiarkan gentanyangan dan berkeliaran. Bagi mereka bibit-bibit yang melenceng dari nilai pancasila dan negera kesatuan tidak boleh tumbuh.
Sekalipun, kelompok lain yang dituduh anti pancasila juga paham, bahkan lebih mengerti definisi dari negara kesatuan harga mati atau pancasila adalah final. Akan tetapi, inilah realita penduduk negeri ini, mereka seringkali kebablasan dan taklid berlebihan kepada ormas dan kelompoknya. Mungkin golongan inilah yang disinyalir dalam Qur’an surah Rum ayat 32.
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Walhasil, klaim sepihak kelompok pembela negara kesatuan atau pembela pancasila dengan golongan yang dituduh ‘anti’ pancasila lambat-laun menimbulkan gesekan serius. Saling provokasi dan persekusi tak bisa dielakkan. Bentrok halus di dunia maya hingga dunia nyata pun tak dapat didamaikan. Tudingan Saracen, hoax, rasis, anti bumi pertiwi, anti pancasila, wahabi, radikal, khilafah, MAKAR dan sebagainya mencuat kepermukaan hingga menjadi isu renyah yang terus digoreng dan siap saji.
Pada dasarnya isu-isu tersebut merupakan isu tunggangan yang dipakai untuk memarginalkan kedaulatan negeri dan Islam. Anehnya, para pemangku tertinggi negara ini memilih merespon serius isu remeh-temeh tersebut sebaliknya, melalaikan isu ‘substansial’ yang menunggangi perkara itu. Terkesan solah-olah negeri ini dalam situasi genting dan berbahaya. Akibat ketidakmampuan para elite bumi pertiwi dalam menangani kasus-kasus tersebut, menciptakan kondisi semakin hari semakin chaos, masalah demi masalah bertubi-tubi menghantam dan menggrogoti tubuh negeri ini.
Apa yang dikhawatirkan oleh rakyat pribumi hanyalah jika peristiwa masa silam mencuat dengan kamuflase baru yang terus memburu. Yang akan mengadu domba sesama warga. Sebagai warga pribumi, bukan ingin menggugat namun berhak mengingatkan para elite penguasa negeri ini agar serius memecahkan masalah dan isu perpecahan di tengah kecamuk perpolitikan. Warga pribumi tidak rela jika chaos merajalela lantas menikam jantung Negeri.
Kemudian membelenggu, menjerat dan meretas sayap Garuda dengan palu dan arit mereka, hingga pada akhirnya menyeret kedulatan negeri ini menuju dasar kehinaan dan mertabat randah terkoya-koyak. Sungguh pun semua itu tidak diinginkan. Namun, warga pribumi ingin agar ke lima ‘sila’ di dada Garuda di tegakkan.
Jangan terlalu fobia dan paranoid dengan sila pertama. “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sila yang selama ini di marginalkan nilai dan hakekat-nya dari jiwa warga Indonesia. Padahal, Sila inilah yang melahirkan semangat perjuangan warga Indonesia. Pembelaan terhadap agama, akidah dan ideologi jernih, yang jauh dari nilai kesyirikan.
Pengusiran penjajah, peperangan yang berkecamuk, pembelaan atas hak-hak negara, perjuangan dan seruan ‘jihad’ lahir tersebab pembelaan terhadap nilai Sila Pertama. Bagi siapapun berniat mengusik nilai sila pertama negara ini, jangan heran anda akan di cap sebagai ‘kolonialisme’ baru dan siap akan diperangi. Oleh karena sila pertama inilah Bangsa dan Negara ini berdiri kokoh.
Kepada elit negeri, tegakkanlah hukum yang seadil-adilnya. Bela dan perjuangkanlah hak-hak warga kecil yang dirampas ladang sawahnya. Perlakukan warga-mu sama di depan hukum. Jangan tebang pilih. jangan pandang bulu. Bantulah anak-anak desa yang terpasung kelaparan. Penduduk miskin yang hidup dan dilupakan. Jiwa kemanusiaan haruslah berbanding lurus dengan jiwa keadilan.
Jika kalian para elite negeri mampu lakukan itu, derajat ‘adab’ kalian tentu lebih tinggi. Maka bela dan perjuangkanlah hak-hak warga-mu, disanalah kalian akan menemukan kandungan sila kedua. “Kemanusaiaan yang adil dan beradab”. Apa yang dibutuhkan oleh warga kecil, penduduk pinggiran, para pengemis jalanan adalah ‘keadailan’. Keadailan yang dalam arti menempatkan hak-hak mereka sesuai pada tempatnya.
Jangan tanyakan kepada kami makna sila ketiga, karena itulah sesungguhnya harapan dan cita-cita kami sebagai penghuni pertiwi. Kami tidak akan rela membiarkan tanah pertiwi berjuang sendiri. Kami tidak rela Garuda terbang dengan sayap patah. Kami ingin bilangan 34 yang melekat erat di tubuhmu, lantas engkau ajak terbang membubung tinggi di udara. Itulah komitmen kami bersamamu wahai Garuda dan negeri tercinta. Akan tetapi, kami tidak habis pikir, tanah pertiwi dewasa ini ditumbuhi pohon-pohon ‘asing’ dengan duri-duri tajam nan-beracun.
Bulu Garuda dihinggapi kutu-kutu ‘busuk’ hingga nyaris saja merontokkan sehelai demi sehalai rambut indahnya. Entah siapakah yang menanam dan menyiram pohon ‘asing’ itu? Dan siapakah yang menabur kutu di rambutmu wahai Garuda? Entahlah. Disinilah hilangnya sila keempat dan sila kelima dari dada Garuda, dan tidak ada yang tahu siapa yang mencurinya. Mungkinkah pencurinya, mereka yang sedang sibuk memasang kembali dasi barunya dengan proyek dan tender besar mereka? Entahlah..
Setelah mengurai fakta sejarah dan fakta kekinian mengenai nalar kedaulatan pertiwi, sampailah pada akhir kesimpulan. Bahwasanya, siapaun yang memimpin negeri ini, jangan sampai berpaling dari menegakkan kedaulatan negara dan agama, sebab jika hal ini diabaikan, maka bersiaplah rakyat pribumi dan ummat akan ditindas oleh rezim yang kejam dan zalim lagi lalim. Semoga keadilan dan kedaulatan ditegakkan. Agar tidak menjadi pelajaran seperti kaum yang disindir pada ayat pertama di atas. Yaitu dipimpin oleh kaum yang lebih baruk dari kaum sebelumnya.
Wallahu‘alam bisshowab