Dalam perjalanan pulang, di atas bis terus saja terngiang di kepala pesan pemilik toko tadi; “Ini novel Islami Mas. Novel pembagun jiwa” kalimat itu seolah-olah mematahkan asumsi saya tentang sisi negative sebuah novel. Setibanya di rumah, dengan rasa penasaran saya merobek plastik yang membungkus novel dengan judul Ayat-Ayat Cinta itu.
Ritual wajib saya ketika membuka buku baru, maka saya akan menghirup aroma kertasnya. Dan itu adalah momen bahagia bagi penikmat buku. Sejenis aroma karsa mengutib bahasa Dee Lestari. Dan aroma ini dikategorikan sebagai warisan tak berbenda menurut UNESCO. Aroma ini disebut dengan bibliosmia yang diambil dari bahasa Yunani yang artinya “buku” “bau” atau “aroma”.
Nampak beberapa testimoni positif dari para endors. Saya masih ingat saat itu pengantar prolog ditulis oleh pak Hadi Susanto; kandidat doktor Twente Universiteit, Belanda. Dari judul ke-1 Gadis itu Bernama Maria hingga judul terakhir (ke-33) Nyanyian dari Syurga saya baca tanpa melewatkan satu lembar pun.
Suasana kota Sidoarjo, Surabaya agak panas. Bahkan selepas mandi badan kembali akan berkeringat. Dan itu tidak membuat saya nyaman baca di rumah. Selepas shalat zuhur saya lanjutkan membaca novel itu di emper Masjid. Memori saya merekam saya memulai membaca dari pukul 11:00 sepulang ziarah dari makam Sunan Ampel menjelang siang, hingga pukul 03:00 subuh dini hari.
Baru saat itu saya benar-benar merasakan tarikan magnet membaca yang kuat. Belum pernah saya membaca sekuat itu. Hingga lupa makan. Novel dengan ketebalan 400-san halaman selesai dalam 17 jam. Rasa haru, sesak, jenaka, bahagia bercampur menjadi satu setelah menamatkan bacaan. Benar-benar sebuah pencapaian luar biasa bagi saya pribadi sebagai pendatang baru di dunia baca dan perbukuan.
Selepas menamatkan novel yang fenomenal itu, saya sadar bahwa revolusi novel telah terjadi. Revolusi besar atas segala stigma masa lalu yang kelam tentang sebuah novel. Revolusi yang tidak instan. Revolusi punya cara sendiri untuk membunuh musuhnya di masa lalu. Stigma negative pada label novel berangsur hilang. Dan Ayat-Ayat Cinta adalah motor revolusi hadiah kemenangan atas masa depan dunia per-novel-an.
Paska terbitnya novel pembangun jiwa; Ayat-Ayat Cinta oleh Kang Abik (Ustadz. Habiburrahman El-Shirazy kemudian menjamur penulis pendatang baru meniru genre novel pembangun jiwa dengan berbagai tema. Tema tentang cinta, keluarga, pendidikan, politik, akidah, keislaman dan sebagainya.
Demikian sebuah memoar tentang revolusi per-novel-an. Sebuah langkah imajiner yang merubah segala image, asumsi serta stigma negative mengenai dunia novel. Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Kang Abik. Atas jasa dan kejeniusanmu, generasi sekarang dapat menikmati novel tanpa kawatir terjerumus dalam keburukan diksi dan frasa negative kesusasteraan.
Habis gelap terbitlah terang.