Jika mengacu kepada perspektif historis, di sini akan terbaca asal mula problema pendidikan di Indonesia yang diawali masuknya kolonialisasi oleh Belanda sekitar tahun 1882. Semenjak saat itulah sistem pendidikan dan orientasi pembelajaran di Indonesia mengalami masalah serius. Alhasil, corak sistem pendidikan dalam belenggu dan kendali penuh kolonialis hingga lahirlah sistem pendidikan yang cenderung sekular yang mengikis nilai keagamaan dan kebangsaan.
Terkait hal ini, dalam kajian historis yang dilakukan oleh Elizabeth H. Graves seperti dikutip oleh Azyumardi Azra tentang transisi-transisi yang terjadi dalam dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam di Sumatera Barat. Setelah Belanda mendirikan ‘sekolah rakyat’ (volkschoolen) yang popular dengan “sekolah nagari” diberbagai tempat di Minangkabau pada awalnya sekolah nagari tersebut sebagian besar memakai ‘kurikulum’ surau.
Namun pada perkembangannya kurikulum tersebut mengadopsi sistem penddidikan Belanda yang mulai menanamkan dikotomi dalam dunia pendidikan. Kehadiran sekolah-sekolah nagari ini merupakan merupakan pukulan telak atas pendididkan surau, yang notabene merupakan benteng terakhir pendidikan Islam.
Dikotomi pendidikan adalah dampak dari sistem sekuler yang dilancarkan Barat dalam sistem pendidikan kaum Muslimin. Hal ini disebarkan setelah kemerdekaan negeri-negeri kaum Muslimin diraih. Maka sistem pendidikan yang menerapkan metode intelektual sekular mendapat tempat utama dalam sistem pendidikan nasional. Fazlur Rahman merekam permasalahan ini dalam bukunya, yang mencoba mengurai sejarah dari pendidikan sekular yang melanda negeri Muslim. Ia manyatakan;
“.. Since the acquisition of political independence, education in these countries has basically only been a continuation of colonial education, which was essentially shown as a successor to colonial-formed government employees who would serve the interests of the colonial government. In essence, the education that was created was not based on a strong foundation, nor was it a true form of responsibility”
Terjemahan bebasnya, semenjak diperolehnya kemerdekaan politik, pendidikan di negeri-negeri tersebut pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pendidikan kolonial, yang pada intinya ditunjukkan sebagai suksesor pegawai pemerintah bentukan kolonial yang akan melayani kepentingan pemerintah kolonial. Intinya, pendidikan yang diciptakan tidak berpijak kepada dasar yang kuat, tidak juga sebagai bentuk tanggung jawab yang benar
Sejalan dengan perkembangan zaman, paska kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintah mulai merancang kurikulum pendidikan nasional yang terus menerus mengalami perombakan hingga saat ini. Perkembangan dan penerapan atas kebijakan kurikulum di Indonesia cenderung dipolitisasi oleh kekuasaan. Setiap pergantian kekuasaan dengan berbagai alasan, setiap masa itu pula kebijakan kurikulum akan berubah.
Maka ungkapan ‘ganti menteri ganti kurikulum’ menjadi jargon wajib pemerintah yang berkuasa, alih-alih pergantian kurikulum tersebut untuk kemajuan pendidikan di Indonesia di mata dunia, faktanya berbalik dengan mengantarkan rakyat Indonesia kepada keterpurukan, kemunduran bahkan nyaris tidak dapat bersaing dengan dunia internasional. Bahkan, menurut pengamatan Anzar Abdullah, “Kurikulum pendidikan di Indonesia terasing di negerinya sendiri.”
Permasalahan tentang kurikulum tidak boleh dianggap sepele, pemerintah harus memandang hal ini sebagai masalah penting yang harus segera diatasi. Jika masalah ini terus berlanjut secara otomatis berpengaruh kepada pembelajaran di sekolah, guru dan peserta didik akan mengalami kendala dalam menjalankan kurikulum yang terus-menerus mengalami pergantian. Secara tidak langsung akan menciptakan masalah baru dalam di institusi atau lembaga pendidikan.
Memang tidak dapat dipungkiri, problema pendidikan di Indonesia adalah warisan penjajah dengan sengaja ingin merusak sistem pendidikan dan pengajaran sesuai dengan maksud dan tujuan yang penjajah inginkan. Hal ini hingga sekarang masih menjadi ‘hantu’ yang terus merongrong sistem pendidikan di Indonesia. Padahal seharusnya sistem pendidikan warisan kolonial tersebut mestinya sudah direvisi, dievaluasi, sebab tidak selaras dengan orientasi dan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
Dari temuan problema pendidikan yang telah diuraikan, permasalahan fundamental yang terletak pada implementasi kurikulum yang dipandang keluar dari nilai interpretasi terhadap sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sisdiknas dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, kembali ditegaskan tentang tujuan pembentukan manusia beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Kemudian ditegaskakan dan diperinci lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Standar Kompetensi Lulusan (Permendikbud No 20 tahun 2016).
Berkaca pada realita kurikulum dan peraturan di bidang pendidikan dengan jelas menegaskan urgensi iman, takwa dan akhlak mulia. Perlu diingat, jika rumusan ideal tersebut diterapkan, maka kondisi pendidikan di Indonesia tidak akan tumpang tindih seperti sekarang. Idealnya, rumusan konstitusi dalam UUD 1945 tentang pendidikan harusnya sudah antara Islam dan keindonesiaan serta tidak menciptakan dikotomi pendidikan Islam dan sistem pendidikan nasional.
Akan tetapi, sistem pendidikan nasional cenderung acuh dengan sistem pendididikan yang Islami, akibatnya kecerdasan bangsa terhalang oleh peraturan-peraturan, kurikulum dan implementasi pendidikan yang salah sasaran dan tujuan.
Semoga Menteri Pendidikan Indonesia kedepan lebih baik dalam mengatur sistem pendidikan kita. Khususnya dalam kebijakan membuat kurikulum. Baik itu kurukulum dari jenjang pendidikan dasar, pertama, menengan hingga Perguruan Tinggi.
Wallahu’alam bish shawaab