Sastra

Kehidupan Keagamaan Di Sumbawa Tahun 1847 Dalam Laporan Zollinger

Semua orang Sumbawa di seluruh negeri, menganut agama Islam dengan sangat fanatik. Tampaknya, kecenderungan fanatisme ini telah muncul lebih awal. Tuan Tobias dalam laporannya tahun 1808 mengeluh dengan perilaku orang Sumbawa, yang terlalu ketat dan berlebihan dalam menjalankan agama.

Tobias juga melaporkan, Letusan Tambora yang mengakibatkan kesengsaraan dan kesulitan hidup membuat masyarakat menjadi sangat rentan untuk kembali menjadikan jejak nilai dalam agama sebagai pegangan.  Ditambah dengan munculnya seorang ulama besar bernama Haji Ali yang terus berkhotbah menentang segala perilaku buruk yang bertentangan dengan Islam.

Haji Ali menyebutkan, bahwa segala bencana yang terjadi, kesulitan hidup dan meletusnya Tambora, diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang mulai jauh dari agama dan perintah Tuhan. Haji Ali mendapat tempat yang sangat besar di hati masyarakat di seluruh negeri. Ia memiliki banyak murid dan selalu ramai dikerumuni oleh murid muridnya, yang semuanya ia bawa pada satu semangat yang disebut pemurnian Islam.

Atas desakan dari Haji Ali, Sultan mengeluarkan aturan ketat yaitu larangan keras penggunaan opium, minuman keras, penggunaan perhiasan emas dan perak, serta pergaulan bebas dengan orang asing. Bahkan nyanyian dan tarian ia hapuskan dan sukses membuat masyarakat meyakini tarian dan nyanyian sebagai perbuatan hina dan sia-sia. Otoritas para ulama menjadi tinggi dalam kehidupan masyarakat serta aktivitas peribadatan menjadi meningkat.

Semua perhiasan emas dan perak yang dimiliki masyarakat, diambil dan dikumpulkan untuk dikirim ke Mekah sesuai dengan perintah Haji Ali. Tetapi banyak pembesar dan bangsawan yang aku temukan menitip perhiasannya di para pembantu mereka agar tidak diambil Kerajaan. Sampai hari ini, Haji Ali masih hidup di usia yang sudah sangat senja dan dihormati oleh orang Sumbawa sebagai orang suci. Dia memiliki anak laki-laki, yang akan mewarisi sebagian dari pengaruhnya.

Konsekuensi logis dari fanatisme dalam agama ini, membuat otoritas para ulama menjadi sangat besar yang bahkan sampai mengendalikan kebijakan negara. Jumlah mereka juga menjadi meningkat karena sekarang tua muda semuanya berangkat haji ke Mekah. Padahal sebelumnya mereka adalah para pencuri dan penipu. Orang-orang Arab meski bukan ahli agama, karena dari mereka rata-rata hanyalah para pedagang, mengalami posisi prestisius di tengah masyarakat.

Mereka menjadi sangat dihormati dan diterima sebagai orang suci. Orang-orang Arab ini terus menghasut masyarakat untuk mengusir orang Kristen. Bahkan saat ini, orang-orang Arab diyakini memiliki keberkahan sehingga mempunyai banyak pengikut. Dan Sultan Amrullah dikendalikan sepenuhnya oleh orang-orang Arab. Sultan menganggap mereka sebagai guru spritualnya.

Namun fanatisme buta di awal, mulai sedikit terkikis di banding di awal kehidupan sulit pasca letusan Tambora. Kesejahteraan hidup yang mulai membaik membuat hasrat masyarakat untuk kembali ingin bersenang-senang dan merayakan pesta tumbuh kembali. Tetapi karena aku berada di Sumbawa saat bulan puasa, aku jadi memiliki kesempatan untuk menyaksikan sendiri bahwa memang orang Sumbawa begitu ketat dalam menjalankan ibadah dibandingkan dengan masyarakat muslim lainnya di negara negara lain yang aku telah kunjungi.

Segala do’a terus dirapalkan secara konsisten oleh semua orang. Para kuli yang mengikuti perjalananku di setiap tempat di Sumbawa langsung berhenti meletakkan semua barang bawaan dan seketika melaksanakan sembayang di tengah jalan. Tak ada perintah dan ancaman yang bisa menghalangi mereka untuk melaksanakan sembayang saat waktu sembayang tiba.

Setiap malam aku begitu terganggu tidak bisa tidur akibat para Kuli yang mengikutiku terus berisik membaca ayat al-Qur’an dan merapalkan doa serta mantra-mantra berbahasa arab. Demikian dari semua rumah di tiap desa yang aku singgahi di seluruh negeri Sumbawa, gema suara orang membaca al-Qur’an begitu ramai bergemuruh menganggu ketenangan di tengah malam buta.

Pada saat hari raya, yang merupakan hari yang sangat meriah bagi penduduk asli di Jawa, berlalu dengan begitu sepi dan sunyi di Sumbawa. Meski di sana-sini tampak beberapa orang yang berpakaian lebih baik dari sebelumnya berlalu-lalang di sepanjang jalan. Setelah hari raya, keesokannya mereka kembali berpuasa selama 6 hingga 12 hari yang mereka lakukan tidak kalah ketat dengan puasa sebelumnya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa fanatisme memang memiliki pengaruh yang baik terhadap moralitas masyarakat. Namun, di sisi lain, aku melihat kuatnya orang Sumbawa berpegang kepada agama akan menghalangi mereka dari kemajuan. Karena fanatisme ini tumbuh bersama dengan kemunafikan dan kesombongan rohani. Orang-orang menjadi cenderung menyombongkan diri dengan segala aktifitas ibadahnya. Hal itu membuat mereka tidak saja sombong dengan merasa lebih baik dari orang non muslim, tetapi juga memandang rendah sesama saudara seimannya sendiri yang kurang dalam agama.

Fanatisme dalam agama ini akan menghalangi orang Sumbawa untuk maju, karena mereka lebih konsen pada aktivitas tahayul dan formalitas ibadah yang tak bernilai bagi perubahan nasib dalam kehiduan nyata. Mereka lebih memikirkan ibadah dibanding memikirkan cara untuk memperbaiki kehidupan dan mengembangkan diri.

Sumbawa akan maju, jika para ulama yang mengobarkan semangat fanatisme dalam agama bisa dihentikan aktivitasnya. Di sisi lain, kemakmuran, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan serta terbukanya interaksi dengan masyarakat lain di dunia luar, akan dengan sendirinya mengikis pelarian orang pada agama. Agama tumbuh subur dalam kondisi masyarakat yang sulit karena agama memberi harapan yang menenangkan jiwa untuk pasrah menerima keadaan, yang hal itu sesungguhnya membuat masyarakat akan jauh lebih terpuruk karena situasi teaplah tidak berubah.

Fanatisme dalam agama, menghalangi orang untuk berbuat dan menghadapi kenyataan serta memperbaiki keadaan. Dengan demikian kesejahteraan hidup di Sumbawa harus ditingkatkan, karena kemakmuranlah yang membuat orang tidak lagi mencari pelarian pada jejak nilai dalam agama, yang menjauhkan orang dari kenyataan hidup.


(Catatan pribadi penerjemah: Dari begitu banyak bagian dalam catatan Zollinger tentang Sumbawa yang sudah saya publis, awalnya berat bagi saya untuk mempublis bagian ini. Tetapi Saya berpikir bahwa pikiran Zollinger tentang Islam di Sumbawa tahun 1847 ini haruslah menjadi tantangan kaum beriman. Catatan ini menjadi penting bagi kita agar berpegang pada prinsip Islam berkemajuan. Bahwa agama bukanlah tempat pelarian untuk berdamai dengan kenyataan, tetapi menjadi energi dan spirit untuk maju menghadapi kenyataan dan memperbaiki keadaan. Kehidupan agama dan kehidupan duniawi memanglah harus seimbang. Dan iman berkorelasi positif dengan kaya. Sebagaimana kandungan surat al-A’raf: 128, an-Nur: 55, al-Anbiya: 105:106 bahwa bumi telah bersumpah untuk mewarisi isi dan kandungannya kepada orang yang beramal soleh dan bertaqwa yang membuatnya berkuasa atas keadaan. Jadi konsekwensi dari Iman dalam Islam adalah beriman sekaligus kaya. Agama tidaklah membuat orang lari dari kenyataan, tapi agama justru membebankan kita pada kewajiban untuk menghidupkan bumi yang artinya hidup dalam kemakmuran.)

Wallahua’lam bish shawab

Related posts

Jempang Mendoak

Sofian Hadi

Buku “Hunian Ternyaman” dalam Selayang Pandang

Sofian Hadi

Nenek dan Sebatang Cerutu

Sofian Hadi

Mengenal Teori Grafologi dalam Literasi Menulis

Sofian Hadi

Kesatria! Buang Wajah-Wajah Kusutmu

Sofian Hadi

Filosofi Air: Kita Air Bukan Api

Sofian Hadi

1 comment

Batuter April 23, 2025 at 7:31 am

Bagaimana pendapat Anda tentang peran fanatisme dalam agama sebagai penghalang atau pendorong kemajuan masyarakat? Apakah Anda memiliki pengalaman pribadi yang menunjukkan dampak positif atau negatif dari fanatisme dalam konteks kehidupan sehari-hari?

Reply

Leave a Comment

You cannot copy content of this page