Sastra

Kekuatan Menulis: Benahi Orientasi dan Hayatilah Setiap Proses

“Karena dengan Ilmu Pengetahuan seseorang akan memenuhi tujuannya, dan menentukan apa yang sebelumnya tersembunyi. Ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menuntun ke arah kebijaksanaan. Ia adalah kehidupan bagi jiwa seseorang”.

_DR. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni, MA.[1]


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘orientasi’ diartikan sebagai 1) peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat dan sebagainya) yang tepat dan benar. 2) pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.

Kurang lebih, itulah makna kata ‘orientasi’ dalam kamus Bahasa Indonesia. Kata orientasi penting untuk diketahui, untuk menentukan arah dan tujuan, khusunya arah dan tujuan hidup kita di dunia. Terkadang kita gamang dengan hidup, bosan, tidak tahu tujuan, terombang-ambing, sehingga membuat kita hilang arah dan pegangan. Hal demikian terjadi sebab bersumber dari tidak adanya orientasi hidup.

Karenanya, dalam hidup, tata ‘niat’ serta luruskan orientasi. Tentunya, orientasi dalam hal apapun itu membutuhkan kesungguh-sungguhan untuk mencapai dan meraihnya. Sebagai contoh sederhana, menikah membutuhkan sebuah niat dan orientasi yang jelas.

Penting untuk diingat, menikah bukan sekedar ingin menyalurkan hasrat biologis, atau sekedar ingin melampiaskan nafsu dan syahwatnya, tidaklah demikian, akan tetapi menikah harus berorientasi pada menjaga mitsaqan ghalizah atau memelihara ikatan suci (janji utuh) terhadap pasangan dengan tepat dan benar. Jika orientasi pernikahan dibungkus oleh tujuan suci tersebut maka pernikahan akan mendatangkan kebahagiaan di dunia maupun di akherat.

Maka dari itu, sebuah orientasi semestinya dibangun atas dasar kebaikan. Kebaikan yang mampu mendatangkan manfaat untuk diri sendiri, keluarga, orang banyak dan kebaikan untuk tegaknya Islam sebagai sebuah peradaban. Sebab, dari peradaban Islamlah, sumber kebaikan, keberkahan dan ilmu pengetahuan yang mampu memberikan solusi dan kontribusi bagi kemaslahan hidup manusia.  

Jika dikaitkan dengan konteks menulis, orientasi ini sangat penting (very important). Sebab terdapat beragam orientasi menulis bagi sebagian orang. Ada yang menulis dengan orintasi berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan, berbagi keilmuan, gagasan, ide yang dimiliki di deskripsikan dan di inskripsikan dalam tulisan. Menulis untuk kemaslahatan hidup manusia. Maslahat-nya, menulis dengan niat dakwah untuk menebar kebaikan, semangat menyampaikan kebenaran, meneguhkan pondasi aqidah.Menulis semata-mata hanya ingin mendapatkan balasan pahala dari Allah.

Berkaitan dengan ini, orientasi menulis pada awalnya telah dicontohkan oleh para ulama Muslim. Mereka menulis sembari berdakwah. Berdakwah dengan pena dan pikiran. Menuntun umat dan kaum Muslim menuju kepada kebenaran, kebaikan dan amal ibadah. Tidak terbesit sedikitpun dalam pikiran mereka, menulis untuk mendapatkan royalti atau keuntungan secara materi. Begitulah niat dan orientasi menulis ulama terdahulu.  

Sedikit berbeda dengan sekarang, menulis dengan orientasi membangun mimpi menjadi orang popular atau terkenal. Menulis dengan semangat ‘mencari uang’ dari royalti penjualan bukunya. Ada juga yang menulis sebab ingin dikatakan sebagai orang yang memiliki intelektual tinggi. Menulis karena ingin dikenal dan terkenal. Menulis sekedar menyalur minat atau bakat. Menulis untuk naik pangkat, syarat wisuda dan beragam jenis orientasi lainnya.

Parahnya lagi, bahkan ada yang mempunyai orientasi menulis untuk menjebak dan menyesatkan pikiran manusia, membuat keliru pemahaman. Buku yang ditulis dijadikan ajang untuk menghina dan mendiskreditkan orang lain. Membantah kebenaran dengan menjual kesesatan, keraguan dalam karya-karya yang ditulis. Dan berbagai ragam tujuan dan maksud lain dari menulis, yang mana semua kembali kepada orientasi pribadi masing-masing penulis. Tidak bisa dipungkiri bahwa orientasi menulis ada yang bertolak-belakang antara penulis yang satu dan penulis yang lain.

Semua penulis mempunyai hak menentukan pada posisi mana orientasi menulis itu diletakkan. Jika orientasi menulis, ingin menjadi kaya-raya dengan royalti penjualan buku, itu hak penulis, silahkan saja tidak ada yang melarang. Atau, jika menulis dengan orientasi dan potensi ingin terkenal, berharap menjadi orang yang popular di mata pembaca, hal senada juga tidak akan ada yang mencegah. Semua orientasi yang ingin dicapai, adalah hak penulis.

Perlu dicermati, bahwa membangun mimpi dan ikut membesarkan mimpi itu adalah tugas hidup masing-masing. Akan tetapi, terlepas dari semua orientasi yang bermunculan, alangkah baik dan benarnya jika menulis untuk orientasi dan investasi kebaikan. Menulis dengan orientasi menyuarakan kebenaran, atau menulis untuk membentengi akidah umat dari pikiran menyimpang, liberal dan sekular. Menjadi penulis terkenal itu penting, tapi menulis untuk menyuarakan motivasi kebenaran jauh lebih penting.

Berkelahi dengan Bahasa

Selain daripada menentukan orientasi menulis, satu hal penting yang mesti diingat saat menulis yaitu, nikmati dan hayati proses. Sebaik-baik penulis adalah yang meresapai dengan seksama materi yang ditulis. Menghayati dan menikmati proses adalah ‘kunci inggris’ seorang penulis. Siapapun yang ingin mancapai sebuah tujuan maka ia harus menikmati proses. Proses, merupakan kata inti yang mampu memotivasi sang penulis.

Tanpa menikmati sebuah proses, akan menjadikan seseorang cepat mengambil sebuah kesimpulan. Kesimpulan yang diputuskan tanpa sebuah proses cenderung menegcewakan. Entah apapun itu. Terlepas dari berbagai profesi dan pekerjaan. Oleh karenanya, proses adalah inti dari sebuah profesi. Hal utama yang ditekankan di sini adalah butuh proses dalam menyusun kerangka ide, mengolah kalimat dan paragrap.

Proses awal yang harus dinikmati oleh penulis adalah proses ‘berkelahi’ dengan bahasa. Kekuatan sebuah tulisan terletak dalam bahasa. Gaya bahasa yang dipakai menentukan tajam, indah, puitis, menusuk bahkan mampu menikam pembaca. Dalam dunia kepenulisan, bahasa dan kalimat tergantung pada pengolahannya.

Tentunya, apabila pengolahannya rapi dan indah akan melahirkan nilai sastra tinggi. Jika medan tempur seorang penulis adalah bahasa, maka penulis akan terus menerus bertempur dengan kata, kalimat dan proses dalam paragraph. Penulis akan berjuang merangkai kata, kalimat dan paragraph seteliti mungkin. Gunawan Muhammad, kolumnis tetap catatan pinggir Majalah Tempo, pernah mengatakan dalam sebuah tulisannya; “Proses menulis adalah seumpama mengukir, menata dan membesut sedikit demi sedikit memilih dan merangkai kata dan kalimat. Berjibaku dengan tanda baca secermat mungkin, sebaik mungkin”.

Harus diketahui, aktivitas menulis butuh komitmen tinggi. Komitmen memelihara bahasa. Komitmen menikmati proses serta komitmen menentukan orientasi menulis. Jika komitmen tersebut dijaga dan dipelihara akan menghasilkan tulisan berkualitas. Tulisan berkualitas lahir dari penggabungan proses dan komitmen menulis tanpa kenal statis. Selalu dan terus menulis hingga garis finish.

Terlepas dari semua itu, naluri seorang penulis adalah selalu mencari dan mengeksplorasi ide dan gagasan dengan kritis. Soedjatmoko, seorang intelektual Indonesia pernah mengatakan; “Ide itu punya kakinya sendiri” artinya, sebuah ide atau gagasan mempunyai pijakan kuat. Pijakan kuat ide dan gagasan adalah sumber bacaan. Membaca sumber makna, baik makna tersurat maupun tersirat. Membaca bukan hanya menelurkan ide, akan tetapi mempertajam kecakapan wawasan dan keterbukaan pengetahuan.

Yakinlah, ide atau gagasan besar tidak terlahir dari pikiran orang lain. Semua bergerak dari pikiran dan wawasan sang penulis. Jangan sampai salah menuliskan ide, buah pikir atau orientasi, sebab hal itu bisa menentukan reputasi sosok penulis, antara dia berada di curam derita dan bahagia.

John Milton pernah mengatakan; “The mind is its own place, and it self can make a heaven of hell, hell of heaven” (pikiran mempunyai tempatnya sendiri, dan pikiran tersebut dapat menjadikan surga, neraka, neraka menjadi surga). Dalam makna lain, pikiran mampu menciptakan kebaikan dan mendatangkan keburukan pula. Dengan demikian, membenah orientasi, niat serta menikmati proses menulis menjadi syarat utama seorang penulis untuk kelanjutan karya-karyanya yang gemilang.

Wallahu’alam bish shawââb


[1] Dalam buku Don’t Be Sad; Cara Hidup Positif Tanpa Pernah Sedih dan Frustasi (Jakarta: Magfirah Pustaka, 2004), hal. 96. Buku ini diterbitkan juga oleh Qisthi Press dengan judul ‘La Tahzan’

Related posts

Hakekat “Kritik” dalam Sastra Indonesia

Sofian Hadi

Nenek dan Sebatang Cerutu

Sofian Hadi

Resensi buku “AYAH… Kisah Buya Hamka”

Sofian Hadi

Kehidupan Keagamaan Di Sumbawa Tahun 1847 Dalam Laporan Zollinger

Yadi Surya Diputra (Bung Suryo)

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Revolusi. Bagian Tiga Selesai

Sofian Hadi

Buku “Hunian Ternyaman” dalam Selayang Pandang

Sofian Hadi

1 comment

Leave a Comment

You cannot copy content of this page