CerpenEmbun Pagi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Dua)

Aku berjalan menuju kamar dengan menggenggam Qur’an di tangan kananku. Seraya mendekap erat Qur’an itu di dadaku. Aku tinggalkan percakapan antara Mukhlis dan Abridin yang tidak mau di intervensi sedikitpun. Aku sebenarnya ingin memberikan alasan tentang pertanyaan Mukhlis itu, namun Abridin memang wataknya keras kepala, sulit diajak kompromi, dan keputusannya adalah final tidak bisa di ganggu gugat. Layaknya keputusan juri dalam lomba-lomba cerdas cermat di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Dalam hatiku berkata dia sangat Stubborn!*

Aku berjalan ke arah Utara Masjid. Karena dari arah utara aku masuk dan melepaskan sandalku di barisan sandal-sandal santri yang lain. Sandal itu di atur balik menghadap depan, dengan asumsi setelah shalat langsung kami memakainya. Tanpa harus balik kanan. Sandal itu berbaris rapi dengan berbagai merk. New era, Sky way, Homyped, Converse, Outdoor, Tiger, Eiger dan masih banyak lagi merk sandal dengan corak nama dan warna yang berbeda.. Aku lebih memilih melepas sandalku di ujung tangga sebelah kiri. Mungkin karena kebiasaan ketika dulu aku kecil, masuk dari tangga sebelah kiri, karena lebih dekat dengan tempat wudhu.

Saat aku melangkah turun dari tangga pertama, langkahku terhenti sejenak. Aku tidak melihat sandalku di sebelah kiri tangga, aku berfikir mungkin aku salah arah. Tapi dalam kesadaran yang normal aku tidak salah arah dan salah tangga. Setelah itu barulah aku menyadari kalau sandal yang ber-merk Tiger itu telah menjadi “Sandal Wakaf” sebuah istilah baru dalam dunia pengalihan hak milik ala santri. Kalau dalam bahasa santri dulu di sebut dengan istilah Ghosb sebuah kata yang selalu ingin di hindari oleh telinga santi-santri. Istilah yang sangat mengerikan bak jenis ikan Piranha yang ganas itu. Istilah yang fenomenal!!

Tanpa berfikir panjang, barulah aku menyadari kalau, aku telah menjadi korban ikan Piranha itu. “Astagfirullah”. Kalimat Istigfar itu dengan spontan keluar dari mulutku. “Siapakah gerangan yang memakai tigerku, semoga aku bisa bertemu”. Dalam hatiku berguman. Belum sempat aku melangkah jauh dari masjid.

“Hahaha… Sandal ente di ghosb ya.??.

“Makanya jangan ninggalin kami tadi”.

Dengan nada senis Abridin berkata kepadaku. Di belakangnya Mukhlis diam saja, dia hanya berlalu tanpa berkata sepatah katapun. Namun aku bisa membaca dari senyum Mukhlis, bahwa dia juga sebenarnya sama dengan Abridin. “Sebuah persekongkolan yang jahat”. Gumamku dalam hati.

“Memangnya sandal kalian di tangga sebelah mana?”. Aku balik bertanya.

“Hahahahaha”.. Aku langsung tertawa dangan penuh kebahagiaan, sebagai balasan dari persekongkolan jahat mereka.

Setelah Abridin dan Mukhlis melihat ke arah dasar tangga, dan mereka baru sadar kalau sandal mereka telah lenyap di makan oleh Piranha yang ganas itu.

“Hahahahaha” Kami bertiga akhirnya tertawa bersama, bukan tertawa dalam kebencian, namun tertawa dalam keadilan takdir Tuhan.

Dengan kompak kami langsung berlari ke kamar dari atas rumput yang masih basah oleh embun pagi yang sejuk itu..

* Keras kepala

To be Continued…

Related posts

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Tiga)

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Lima)

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Sembilan)

Sofian Hadi

Cerpen: Memoar Rindu Santri. Bag satu

Sofian Hadi

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Enam)

Sofian Hadi

Cahaya di Balik Musibah

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!