Ilmu

Menulis Sebagai Konsep Peradaban

Prof. Raghib  as-Sirjani dan Amir Al-Madari menulis buku Spiritual Reading, di dalam buku tersebut dikupas tuntas gejala yang melanda ummat Islam dalam kurun waktu belakangan ini. Gejala tersebut adalah, kurangnya minat baca dikalangan umat Islam. Berikutnya, juga dijelaskan mengenai filosofi membaca yang bukan hanya sekedar hobi, bukan sekedar kegemaran, akan tetapi membaca adalah sebuah konsep hidup Muslim.

Membaca, adalah risalah bersumber dari diktat Ilahi. Membaca, tidak lepas dari budaya Islam yang perintahnya langsung disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw. Kita tentu paham bahwa Rasulullah Saw adalah Nabi yang ummi  (tidak bisa baca tulis) akan tetapi Jibril tetap menuntun beliau untuk melafazkan “iqra’ iqra’ dan ‘iqra’. Baca, baca dan bacalah! Hingga akhirnya Rasulullah berhasil melafazkan firman pertama al-Qur’an surah  al-‘Alâq ayat 1-5 “Iqrâ bismirabbikalladzi khalâq……”

Menarik untuk dianalisah, pernyataan mengenai filosofi membaca sebagai sebuah konsep hidup yang disinggung oleh Prof. Raghib as-Sirjani dan Amir Al-Madari. Hal ini harus menjadi perhatian besar, khususnya bagi umat Islam yang secara tidak sadar telah melupakan konsep besar tersebut. Sebuah konsep hidup, yang telah mengantarkan para ulama hingga berjaya membangun peradaban Islam di setiap sudut kota dipenjuru dunia.

Konsep membaca, telah melahirkan sebuah peradaban yang hingga kini ditulis dengan tinta emas sejarah. Dari konsep membaca inilah, bermunculan para ulama sebagai penulis yang menerjemahkan hasil bacaan mereka. Setiap gagasan, ide dan buah pikiran ulama yang besumber dari bacaan dan hafalan, mereka abadikan dalam tulisan. Maka tidak berlebihan jika filosofi membaca, disebut sebagai konsep hidup universal.

Jika membaca sebagai sebuah konsep hidup universal, maka menulis adalah konsep sebuah peradaban. Apa yang ditulis oleh para ulama adalah saripati bacaan mereka. Saripati bacaan itulah yang disebut dengan Ilmu. Ilmu bersumber dari buah pikir dan buah baca para ulama. Ulama artinya adalah orang berilmu atau orang yang mempunyai pengetahuan luas khususnya tentang ilmu agama (Islam).

Orang berilmu disebut ulama, ulama adalah mereka yang dekat dan takut dengan Tuhnnya. Para ulama menggali sumber ilmu dari al-Qur’an dan Sunnah (hadits). Hasil kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Sunnah itulah yang mereka tulis dan mereka syarah hingga berjilid-jilid ketebalannya.

Maka tidak salah jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban ilmu. Peradaban ilmu adalah peradaban yang dibangun berdasarkan dua sumber primordial; wahyu dan rasionalitas akal manusia.

Wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah kemudian dicermati, digali, diteliti, oleh para sahabat (ulama) dengan daya rasional akal mereka, lantas dibaca, dihafal, kemudian disintesiskan kedalam bentuk tulisan.

Mungkin masih terngiang diingatan kita, atau sejenak kita flashback kembali pada sejarah hitamnya Sungai Tigris oleh ribuan bahkan jutaan eksemplar buku dibakar oleh tantara Tartar (Mongol), yang dipimpin oleh Holagu Khan dari perpustakaan Baghdad dimasa hancurnya Daulah Abbasiyah pada 1258 M.

Bisa dibayangkan, koleksi buku yang berumur 6 abad kejayaan Islam itu musnah. Walaupun dalam sebuah riwayat sejarah masih terdapat sekitar 68 ribu kitab dengan berbagai disiplin ilmu dan sebanyak 1,700 diantaranya masih berbentuk manuskrip sisa dari pemusnahan tersebut. [baca di Republika.co.id.]    

Satu kata kunci yang harus digaris bawahi, dari kejadian diatas adalah ‘produktivitas menulis para ulama.’ Ribuan bahkan jutaan buku yang dimusnahkan oleh tentara Tartar merupakan bukti nyata betapa produktifnya para ulama dalam menulis. Padahal, kalau ditarik sebuah perbandingan dengan zaman sekarang, sangat jauh bak langit dan dasar sumur.

Dahulu para ulama hanya berbekalkan pena dan tinta yang sulit didapat. Sementara, sekarang semuanya serba tersedia, akses internet, komputer, laptop, polpen, pensil, tinta dan sebagainya. Malangnya, ketersediaan alat tulis pada masa sekarang, ternyata belum mampu menyamakan produktivitas pena dan tinta para ulama dahulu.

Ironis, menanggapi kemunduran dan kelemahan kaum muslimin zaman ini, sebab hal ini tidak hanya terjadi pada muslim Indonesia, akan tetapi disebagian besar negara Islam. Geliat semangat membaca dan menulis masih jauh tertinggal dari negara barat yang rata-rata mempunyai index membaca dan menulis tertinggi. Dalam hal ini, mereka telah mencuri dan merampas budaya baca dan budaya tulis kita. Hingga kita tidak sadar, telah terperosok jauh ke dalam lubang malaise, kejahilan dan kejumudan. Semoga kita tersadarkan.      

Kita lupakan sejenak masalah di atas, kita kembali kepada konsep awal pembahasan mengenai membaca sebagai sebuah konsep hidup dan menulis sebagai konsep peradaban. Dua konsep ini seharusnya dipahami secara holistik bukan ditafsirkan secara persial. Maksunya, aktifitas membaca dan menulis harus saling melengkapi.

Membaca adalah berdialog dengan penulis. Sedangkan menulis mengajak pembaca untuk berpikir. Karenanya, mulailah saat ini membiasakan jawaban yang serasi, jika ada yang menanyakan “Apa hobi anda?” Jangan menjawab hobi saya membaca, tapi katakan hobi saya membaca sekaligus menulis.

Dengan demikian, membaca dan menulis merupakan aktivitas mulia, yang dengannya peradaban akan lahir. Dari rahim penulislah estafet budaya dan peradaban Islam akan menjadi mercusuar ilmu. Jangan pernah menyerah, teruslah membaca, teruslah berusaha menulis apa yang tidak diketahui dunia.

Tulislah apa yang dirahasiakan alam. Kabarkan kepada pembaca tantang apa saja. Biarkan mereka merenung dan berdialog lugas dengan karya-karya anda. Hibur mereka. Rangkul mereka. Ajak pembaca terbang jauh bersama pikiran dan gagasan cemerlang anda. Dengan demikian, maka peradaban Islam akan kembali gemilang. Amiin ya Rabbal alamin.

Wallahu’alam bish shawab

Related posts

Epistemologi Ilmu dalam Islam

Sofian Hadi

Harmoni: Antara Ilmu dan Zikir

Sofian Hadi

Tradisi Keilmuan dalam Islam [2] selesai

Sofian Hadi

Menuju Kesempurnaan Ibadah Bagian dua

Sofian Hadi

Makna Kebebasan Berpikir dalam Islam

Sofian Hadi

Tradisi Keilmuan dalam Islam [1]

Sofian Hadi

Leave a Comment

You cannot copy content of this page