Selayang Pandang
MINHAJ. Berislam dari Ritual hingga Intelektual. Buku karya Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini mencoba menjabarkan pemahaman tentang cara (minhaj) berislam dari tingkat ritual (syariah), sampai pada tingkat spiritual (aqidah) sertadibarengi dengan menjaga kataqwaan serta pembuktian dalam perbuatan sosial (ihsan).
Namun, tenyata belum cukup pada ke-tiga tingkat tersebut. Diperlukan satu level lagi yakni, berislam secara intelektual atau berpikir Islami dengan berasaskan pada pandangan dunia (Worldview) Islam. Berdasarkan empat tingkatan ini diharapkan seorang Muslim, dapat berislam dalam keluarga, masyarakat, dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain dengan totalitas asas dan pandangan hidup yang benar.
Mayoritas orang Islam tidak menjalankan rukun Islam. Adapun mereka yang menjalankan rukun-pun, sekedar ritual saja tanpa berasaskan iman. Lalu, yang meyakini rukun iman pun tidak dibuktikan dengan amal shalih. Padahal, syariat betujuan sebagai penyuci jiwa dan peningkatan keimanan. Mengamalkan rukun Islam yang lima perlu ditambah dengan keyakinan rukun iman yang ke-enam. Itu pun masih harus dibuktikan dengan amal. Iman tanpa amal tidak sempurna dan amal tanpa iman benilai kosong.
Sesuai dengan judulnya, Minhaj: Berislam dari ritual Hingga Intelektual, Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang baru saja dinobatkan menjadi Tokoh Perbukuan Islam dalam Islamic Book Fair (IBF) Award 2023, dengan gaya kepenulisan yang ilmiah-bernas, memaparkan makna Islam dan bagaimana seharusnya berislam dari syariat, akidah, akhlak, hingga afkar atau pikiran. Penulis berijtihad untuk mempersembahkan buku berjudul Minhaj yang berarti terang.
Maksudnya adalah menyajikan pendadaran tentang Islam, iman, ihsan dengan terang lagi mudah, layaknya yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Saw, pengikutya (tabiin) dan pengikut dari pengikutnya di dalam memahami agama Islam.
Jalan yang mudah dipahami dan terang itu adalah berislam secara kaffah dimulai menjalankan syariat, mengimani akidah, mengamalkan serta merealisasikan dalam bentuk akhlak. Lebih lanjut Prof. Hamid menjelaskan empat kisah menarik dalam perjalanan umat Islam yang perlu mendapat perhatian, kepedulian, penjabaran dan sekaligus membutuhkan jawaban para pakar Muslim. Empat kisah tersebut terjadi di tempat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula, tapi bermuara pada satu masalah yang sama.
Empat Pertanyaan Peradaban
Kisah pertama terjadi pada tahun 1884. Ketika Syeikh Muhammad Abduh berkesempatan mengunjugi kota Paris-Prancis. Pada waktu itu Paris telah menjadi kota yang teratur rapi, indah dan bersih. Penduduknya memiliki etos kerja yang tinggi dengan kata lain pekerja keras, ramah terhadap tamu, bersahabat dengan negaranya berkembang maju, bersih dan teratur.
Dari kunjungan ke Paris, Muhammad Abduh berkesimpulan atas performa kota itu dan membanduingkanya dengan tempat tinggalnya di Arab yang notabenenya mayoritas Muslim: “Aku melihat Islam di Paris tapi aku tidak melihat Muslim, dan aku melihat Muslim di Arab tapi tidak melihat Islam”. Muhammad Abduh melihat bahwa amalan-amalan yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam justru dilaksanakan oleh masyarakat barat.
Sebenarnya, di satu sisi kesan Syeikh Muhammad Abduh pada waktu itu sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Sebab sudah banyak Negara Islam yang kebersihan dan kerapian kotanya tidak jauh berbeda dari kota-kota di Eropa. Nyatanya masyarakat Muslim juga sudah beretos kerja tinggi, profesional dengan manajemen yang rapi.
Tapi pada sisi berbeda kesan itu tidak relevan dengan kondisi saat ini, jika bandinganya adalah seluruh negara Islam. Buktinya tidak semua negara di Eropa, mempunyai kota-kota bersih dan rapid an asri. Disiplin warganya juga tidak setinggi orang-orang di barat. Budaya antri, lalu-lintas, membuang sampah, dan hal-hal sederhana lainya di Negara-negara Islam masih relatif rendah. Semua itu cerminan dari berislam dan beriman dalam kehidupan sosial.
Kisah kedua terjadi setengah abad kemudian, sekitar tahun 1940. Dikisahkan sekitar tahun 1929 seorang penulis bernama Amir Syakib Arsalan (1869-1946) sepulang dari Andalusia-Spanyol menerima surat penting dari Syekh Rasyid Ridho yang merupakan pimpinan redaksi Majalah al-Manâr. Surat penting itu sebenarnya ditulis oleh seorang ulama dari Sambas Pontianak Indonesia yang bernama Syeikh Muhammad Basuni Imran.
Isi dari surat tersebut adalah pertanyaan yang berisikan tentang kemunduran umat muslim, dan pertanyaan tersebut mirip dengan pengamatan Muhammad Abduh. Isinya; Pertama Mengapa kaum muslim mengalami kelemahan dan kemuduran yang merata di seluruh dunia, baik dalam urusan agama ataupun dunia. Pertanyaan kedua, apakah yang penyebab terjadinya kemajuan bangsa Eropa, Amerika dan Jepang? Apakah mungkin bagi kaum Muslim maju pada saat yang sama dengan tetap berpegang teguh pada agama mereka?
Amir Syakib Arsalan kemudian menulis jawabanya dan dimuat di majalah al-Manar tahun 1936. Empat tahun kemudia jawaban itu dilengkapi dan diedit untuk kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “ Limadza Ta’akkhara al-muslimun wa Taqoddama Ghayrohum. Artinya: (Mengapa umat Islam mundur, sementara umat lainya maju). Hal yang menarik lagi adalah temuan Amir Syakib Arsalan, bahwa penyebab kemundurn umat Islam yang utama adalah faktor keagamaan. Faktor yang dimaksud yakni rendahnya iman dan amal umat Islam.
Adapun kisah ketiga datang dari Syeikh Mutawali asy-Sya’rawi. Ketika berkunjung ke San Fransisco- Amerika, lalu ia ditanya oleh seorang orientalis, “Apakah ayat-ayat di dalam al-Qur’an kalian seluruhnya benar?” Sang Syeikh menjawab tegas, “Iya saya yakin benar”. Orientalis tersebut bertanya lagi, “Lalu mengapa Allah menjadikan orang-orang kafir berkuasa terhadap kalian, padahal di dalam al-Qur’an Surah An-Nisa Ayat 141 disebutkan bahwa;
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman [Muk-minin]”. Lantas sang Syeikh as-Sya’rawi menjawab: “Karna kami masih Muslimin, belum Mukminin”. Orientalis itu bertanya lagi, “ Lalu apa bedanya Mukminin dan Muslimin? “Kaum muslimin hari ini hanya sekedar mengerjakan Syariat/ritual saja, namun mereka sangat gersang ilmu. “Mengapa kegersangan ini terjadi” tanya orientalist itu lagi.
Syeikh itu menjawab dengan menyitir al-Qur’an: “Orang-orang Arab bBadui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘kami telah berislam’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (QS. Al-Hujarat: 14). Syeikh as-Sya’rawi lalu menyimpulkan, bahwa muslim yang berkualitas mukmin itulah yang tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir.
Kisah keempat, terjadi ketika penulis Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi berkunjung ke Melbourne, Austarlia tahun 2012. Pada waktu itu berjumpa dengan Nuaim Khayyat, Penyiar Radio Australia yang sangat terkenal pada tahun 1980-an. Dalam pertemuan tersebut dia bercerita sekaligus bertanya kepada penulis;
“Bulan Ramdhan tahun lalu saya pulang ke Indonesia dan saya menyaksikan semarak gempita Muslim menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang luar biasa. Ibadah tarawih, acara ceramah, dan lain-lain begitu semaraknya, baik masjid-masjid maupun media elektronik dan di jalan-jalan. Jumlah jama’ah umrah (haji) semakin hari semakin bertambah. Tapi, mengapa korupsi dan tindakan kriminal masih terus semarak dikalangan umat Islam.?
Sampailah dipertemuan selanjutnya, Prof. Hamid menjawab pertanyaan tersebut dengan menyitir kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 14 persis seperti jawaban Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi. Dalam kisah tersebut menjelaskan tentang orang-orang muslim yang mengatakan beriman, padahal mereka baru berislam.
Ini menunjukkan bahwa dikalangan umat Islam masih sebatas semangat mengamalkan rukun Islam, akan tetapi tanpa disertai kualitas Iman. Maraknya tindak kejahatan seperti korupsi, Pembunuhan, dan perzinahan dan sebagainnya dikalangan umat Islam merupakan bukti rendahnya aplikasi keimanan.
Rekomendasi
Tidak bisa dipungkiri, bahwa empat peristiwa tersebut di atas adalah peristiwa atau pertanyaan peradaban yang harus di respon secara kritis, sebab selain pertanyaan yang selalu di ulang-ulang pada setiap abad juga merupakan fenomena kehidupan umat islam di berbagai Negara Islam yang menjadi isu keutamaan dan tidak pernah habis dibahas.
Jika semua kesan tersebut dipahami dari perspektif worldview Islam, kita akan temui bahwa di dalam diri umat Islam terjadi kesenjangan antara pikiran, kepercayaan, dan perilaku. Dengan kata lain, ilmu dan keyakinan umat Islam menjelma menajdi amal-amal Islami.
Terakhir, buku ini mengulas tentang trilogi; Islam-iman-ihsan atau Ilmu-Iman-Amal yang telah dijelaskan dan ditambah dengan worldview sebagai cara pandang Islam terhadap segala sesuatu, diharapkan telah cukup untuk menjawab kegelisahan Muhammada Abduh, pembelaan Syeikh Mutawali Sya’rawi terhadap kebenaran Al-Qur’an dan pertanyaan Syeikh Syakib Arsalan serta Nuaim Khayyat.
Jika kualitas Muslim saat ini mencapai tingkat Muhsin yang ditempuh dengan jalan Ilmu, maka umat Islam tidak hanya bagus dalam berprilaku saja tapi akan berprestasi di atas prestasi non-muslim. Islam akan berkembang dari agama (dîn) menjadi peradaban (tamaddun) umat Islam akan berwajah religius dan pada saat yang sama mampu menjadi seorang intelektual.
Kesimpulan, buku ini hight recomended untuk dikonsummsi oleh kalangan intelektual Muslim, pelajar, mahasiswa, guru-guru ataupun dosen yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Mengingat isinya padat dan sarat pesan kritis yang sesuai dengan arus perkembangan zaman.
Wallahu ‘alam bisshowab
Judul Buku : Minhaj: Berislam dari Ritual Hingga Intelektual
Penulis : Hamid Fahmy Zarkasyi
Penerbit : INSISTS, Jakarta
Cetakan : Cetakan Pertama, 2020
Tebal : XXXIV + 356 Halaman
ISBN : 978-602-52894-3-9
Presensi : Fiqri Rabuna, Pegiat literasi yang sekaligus Pecandu buku dan kopi. Alumni terbaik Universitas Muhammadiyah Malang 2022.