Pada tahun 1940 Professor Albert Einstein menerbitkan tulisan singkat pada sebuah jurnal dengan judul ‘Science and Religion’. Jurnal tersebut aslinya diangkat dari conferensi sains, filsafat dan agama yang diselengarakan oleh Jewish Theological Seminary di New York, Amerika. Diawali dengan sebuah peryataan sederhana tentang sains, Einstein kemudian memberikan definisi sains;
“…science is the century-old endeavor to bring together by means of systematic thought the perceptible phenomena of this world into as thorough-going an association as possible…it is the attempt at the posterior reconstruction of existence by process of conceptualization…” 1
Intinya adalah, sains merupakan phenomena sistematis hasil dari usaha menuju perbaikan sebuah eksistensi dengan meregenerasi kembali melalui proses konseptualisasi. Bagi seorang Einstein jawaban dari definisi sains yang diberikan memang terkesan filosofis dan baginya hal tersebut tidaklah terlalu sulit.
Yang menjadi catatan adalah ketika Einstein mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan terkait ‘agama’ ia menjawab ‘I cannot think of the answer so easily’. Seolah-olah ia mengatakan “jangan tanya masalah agama deh, karena bagi saya tidaklah mudah untuk menjawabnya”.
Menarik di cermati jawaban Einstein mengenai pertanyaan agama yang baginya sulit untuk dijawab. Pada sisi ini, Einstein bingung menemukan jawaban yang dianggap paling rasional. Padahal di sisi berbeda, ia dapat menjawab dengan mudah pertanyaan tersebut sebagaimana ungkapan terkenalnya;
“Science without religion is lame, religion without science is blind” sains tanpa agama adalah pincang, agama tanpa sains adalah buta. Kemudian dalam lanjutan tulisannya, Einstein menyatakan bahwa konflik antara sains dan agama sebenarnya dalam pandangan Einstain belum dapat dipastikan. Though I have asserted that in truth a legitimate conflict between religion and science can’t exist. 2
Berbeda dengan narasi Einstein di atas, jika sebelumnya fondasi sains modern berpijak pada rasionalitas, sebaliknya pandangan mengenai sains di dalam Islam didasarkan pada sumber orisinalitas wahyu berupa agama (Islam) yang kemudian diperjelas dengan tuntunan kitab suci (al-Qur’an).
Hal ini kemudian dikaji oleh ilmuan Muslim sehingga melahirkan konsep-konsep seminal (konsep inti, kunci) yang cikal-bakalnya menciptakan beberapa konsep ilmu pengetahuan. Dari konsep seminal ilmu pengetahuan inilah memunculkan cabang-cabang ilmu baru baik itu ilmu sains, ilmu aqidah, ilmu fiqih, ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu sastra, ilmu ekonomi dan masih banyak lagi ilmu-ilmu lainnya.
Jika melihat kepada Abad Pertengahan, kata ‘sains’ masih digunakan secara umum untuk semua cabang ilmu. Syamsuddin Arif mengatakan bahwa pada Abad Pertengahan istilah sains dipakai untuk segala macam pengetahuan. Disebabkan demikian, penerjemahan kitab metafisika Ibn Sina dengan judul ilahiyyât (Masalah-masalah Ketuhanan) diterjemahkan kedalam bahasa Latin menjadi Scientia Divina (Sains Ketuhanan). 3
Namun, seiring pergantian zaman istilah sains menyempit (direduksi) hanya pada ilmu fisika, biologi, kimia dan lainnya. Hal ini karena dampak sains modern atau sains kontemporer yang mencoba menghilangkan jejak agama dalam sains yang marak dikembangkan belakangan ini.
Jika dikaitkan dengan perkembangan sains modern pada jaman kontemporer, maka kemunculan teori-teori baru tentang sains tidak serta merta menjadikan agama sebagai landasan utama. Agama masih dipandang sebagai dunia (ghaib) lain dan berat jika harus disandingkan dengan pembuktian empiris.
Wallau ‘alam bisshowâb
[1] Albert Einstein, Science and Religion, Jurnal of Nature, (No. 3706, Nov. 9, 1940) , p. 605-606
[2] Ibid, p. 606
[3] Baca, Syamsuddin Arif, Sains Diangkat dan Dihujat, hal. 131