Gelombang dahsyat arus globalisasi yang melanda dunia menyeret hegemoni baru ke dalam dunia ketiga[1], yang semakin menampakkan wajah baru kedigdayaan peran kapitalisme.
Dunia kontemporer yang didominasi oleh segelintir negara modern kian memuncak manakala menyaksikan drama berakhirnya perang dingin dan kapitalisme dianggap sebagai ujung dari evolusi ideologi yang diyakini oleh Francis Fukuyama sebagai sinyal “The End of History”.
Kini dominasi Barat post-modern kian menguat, bahkan dalam berbagai hal dan cara telah jauh lebih kuat dari sebelumnya, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang budaya. Budaya global yang sebagian besar dikonstruksi oleh Barat ini masuk menyerbu melalui berbagai cara, utamanya lewat globalisasi media.
Di tengah arus globalisasi, media merupakan salah satu unsur utama bagi masyarakat dunia dan khususnya masyarakat Indonesia untuk belajar tentang berbagai aspeknya. Bahkan, ketika seseorang tidak bisa belajar secara langsung dari media offline, ia dapat belajar dari orang lain yang mungkin memperoleh ide-ide tentang jenius tentang digitalisasai media.
Media merupakan the main ways that large numbers of people receive information and entertainment. Atau sebagaimana dikatakan Marshal Mc. Luhan bahwa The media is the massage, where media is less concerned with the actual media types than with media as information transfortation mechanism or it has been into mass media.
Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, media massa merupakan unsur yang telah menjadikan bentuk budaya rakyat berubah serta kehilangan jati diri moralitas bangsa dan agama. Komunikasi serta gaya hidup pun berubah secara fundamental. Dimana sebagian kalangan masyarakat terkontaminasi dengan dunia kenikmatan, pergaulan bebas, dan gaya hidup materialistik sebagai tujuan hidup serta mengesampingkan nilai-nilai agama dan moralitas budaya lokal.
Sementara itu, kelompok-kelompok sosial informal yang mendedikasikan budaya lokal mulai redup dan perlahan tergerus digantikan oleh figur-figur selebritis yang tak bermoral di pentas hiburan dan media massa. Hal ini menekankan bahwa betapa pentingnya kajian terhadap media dan kemunculan perspektif serta fenomena baru yang mengiringinya.
Secara etimologi budaya ialah “the sum total of the attainment and activities of any specific period, race, or people, including their implements, handicrafts, agriculture, economic, music, art, religion beliefs, traditions, language, and story“. Sedangkan menurut Edward Burnett Tylor (The founding father of British anthropology) ialah “Culture or Civilization, taken in its wide ethnographic since, is that complex whole which include knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society“.
Adapun pendapat yang membedakan antara budaya dan kebudayaan telah dijelaskan oleh Tylor diatas pula bahwa budaya adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu. Namun, pada artikel ini, budaya dan kebudayaan digunakan dalam arti yang sama.
Dominasi Media Massa dan Lakon Dibaliknya
Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini telah menjadi objek atas perang pengaruh sangat kuat antara dakwah Islam dan propaganda sekulerisme. Kedua pihak sama-sama membawa misi dakwah (yang berlawanan), tetapi cara dan fasilitasnya berbeda.
Perbedaan itu dapat kita lihat dakwah Islam masih menggunakan sarana ‘klasik’ (sekarang sudah mampu bersaing) sedangkan dakwah ‘sekular’ menggunakan berbagai sarana media modern, serta efeknya pada perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Hal Ini menandakan bahwa dominasi media Sekular lebih besar pengaruhnya dibandingkan media lainnya termasuk media Islam.
Propaganda sekulerisme inilah merupakan salah satu jalan bagi para aktor sekaligus dalang demonologi Islam untuk meramaikan serta memuluskan tujuannya. Tidak lain merekalah tiga kaum yang saling bahu-membahu dan bersekutu, menghadapi umat Islam, sebagaimana diistilahkan oleh Syekh. Yusuf Qardhawi “Segi tiga jahannam berwajah seram” yaitu Zionisme Yahudi – Salibisme – Komunisme.”
Dalam konfrensi Zionis pertama di Barsel, Swiss, tahun 1897, yang dipimpin oleh Theodore Herzl, komunitas Yahudi International yang menghasilkan Protokol Pemimpin Zionis menyimpulkan, cita-cita mendirikan negara Israel Raya tidak akan terwujud tanpa menguasai media massa.
Hal tersebut sejalan dengan Khutbah seorang Rabi Yahudi, Rashoron (1869) tentang pentingnya media massa “Jika emas merupakan kekuatan kita dalam mendominasi dunia, maka dunia pers merupakan kekuatan kedua bagi kita”. Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang Blum, penulis buku vulgar, dalam bukunya “Perkawinan” menyarankan agar gadis-gadis memanfaatkan potensi seksualnya pada masa pranikah.
Maka, sangat tepat jika seorang Kardinal Marie Del Vaal mengatakan “terbukti sudah bahwa tangan-tangan Yahudilah yang senantiasa ada dibelakang penerbitan dan distribusi buku dam film-film porno yang mengiring manusia pada penyelewengan sebagai salah satu cara untuk menguasai dunia“.
Demikianlah Zionisme jauh hari sudah memprogram sebuah imperialis media massa untuk mencapai tujuannya yang bukan hanya mencitrakan bangsa Yahudi tetapi juga menyerang dan menaklukan setiap kekuatan yang dianggap ancaman bagi mereka utamanya, Islam.
Maka tidak heran dewasa ini, orang-orang Yahudi telah menguasai link media massa utama, mencakup kantor-kantor berita terkemuka dunia (news agency), surat kabar, (press) dan jaringan TV/Radio, industri sinema dan TV, serta industri percetakan dan penerbitan di berbagai negara, termasuk Indonesia yang menerapkan pola atau sistem penyajian media sebagaimana media-media di Barat oleh kaum Zionis Yahudi.
[1] Maksud dari dunia ketiga seperti dikatakan oleh Giddens “Globalization is the intensivication of world wide social relation which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by event occurring many miles away and vice verse”. Lihat: Giddens, Runaway World: How Globalization Is Reshaping Our Lives, (New York: Routledge, 1999) Dalam: Idy Subandy, Komunikasi komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi, (Jakarta: Pustaka Obor, 2014) hal. 36
Bersambung ke bagian 2 (dua)
Sumber Gambar: Google.com
Penulis: Syaifullah Yusuf, S.Sos adalah Alumni PKU (Program Kaderisasi Ulama) UNIDA Gontor Angkatan ke-X Kerjasama dengan MUI Pusat
1 comment
Menarik sekali bagaimana media massa dapat menjadi alat yang kuat dalam mempertahankan atau mengubah nilai-nilai budaya kita. Bagaimana menurut Anda, apakah kita perlu lebih kritis terhadap konten media yang kita konsumsi agar dapat melindungi identitas budaya dan moral kita dari pengaruh luar yang negatif?