Isu Terkini

Jangan Memandang Remeh Persoalan Mâl (Harta)

Penghambur-hamburan harta dikalangan umat Muslim sering terjadi akibat pola dan gaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik yang diimpor dari cara hidup di luar Islam kepada negara-negara mayoritas Islam. Tidak terkecuali di Indonesia. Trend flexing yang marak kita saksikan di media sosial belakangan ini adalah keniscayaan, yang mana pola seperti ini bukan hanya sekedar pamer kekayaan, namun ‘haus’ akan pujian.

Lihat saja, dari kalangan terpelajar hingga masyarakat awam semuanya terjerat dalam kungkungan hedonis yang tidak mereka sadari dari mana kemunculannya. Ditambah dengan adanya pandangan menganggap material (harta) sebagai dimensi yang terlepas dari nilai yang terkandung di dalamnya.

Cara pandang yang melepas nilai dari material tentunya karena pengaruh ideologi materialisme masih melekat kuat dalam diri masyarakat Muslim. Paham materialisme telah merusak tatanan perekonomian manusia, hingga berdampak pada kehancuran lingkungan tersebab ekploitasi sumber daya alam yang cenderung dekonstruktif akibat ambisi yang bersifat kapitalis.

Berbicara mengenai harta serta tujuan syariahnya, tidak dapat dipisahkan dengan sistem keparcayaan yang berdasarkan pada cara pandang Islam. Oleh karenanya pandangan dunia Islam dibutuhkan dalam rangka menjelaskan kedudukan harta tersebut. Penting untuk diketahui, bahwa harta (al-mâl) mendapat tempat istimewa privilege di dalam Islam.

Sedari kemunculannya, risalah Islam datang dengan misi menyebarkan maslahah (kesejahteraan) bagi umat manusia. Tujuan utama risalah adalah sebagai pedoman hidup manusia utamanya dalam menciptakan maslahah (kesejahteraan) yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam, bukan berdasarkan atas prinsip ajaran konvensional.

Maslahah atau yang lebih sering dikaitkan maqâshid syari’ah dapat dimaknai sebagai tujuan syariah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia secara teratur dengan memperhatikan kesejahteraan duniawi yang berlandaskan pada maslahah agama (Tahir, 2001).

Karenanya, maqâshid merupakan dasar dari adanya syari’ah. Maqâshid sendiri meliputi empat hal yaitu peribadatan, kebiasaan, muâ’malah (interaksi dengan manusia) dan hukum kriminal. Dari empat bentuk maqâshid ini dibagi menjadi ke dalam tiga tingkatan maslahah. Pertama maslahah dharûriyah (primer), kedua maslahah hâjiyah (sekunder), ketiga maslahah tahsiniyah (tersier) atau masalahah takmiliyah.

Ketiga maslahah tersebut semuanya terakumulasi dalam satu muara yaitu untuk melindungi agama ((حفظ الدين, jiwa,(حفظ النفس) akal,( حفظ العقل) keturunan,(حفظ النسل)  dan hartaحفظ المال) ) (Asy-Syatibi, 1968). Mengingat pentingnya kelima maslahah tersebut hingga meletakkan agama sebagai hal yang paling diutamakan dan harta (mâl) juga termasuk di dalam penjagaannya.

Dalam kaitannya dengan harta (al-mâl) tentunya sebagai Muslim yang paham syariah, harus memahami sumber utama harta tersebut berasal dari al-Qur’an atau hadist yang menjadi asas primordial syariah tersebut, kemudian dikaji dan diverifikasi oleh para ulama ahli tafsir, fiqih dan ushul fiqh.

Di dalam al-Qur’an kata al-mal dengan berbagai bentuk kata disebutkan kurang lebih 87 kali yang terbagi dalam 38 surat dan 79 ayat. Di dalam riwayat lain kata (al-mal) disebutkan sebanyak 86 kali dalam 76 ayat dan 38 surat.

Dari 86 kata mal berbentuk mufrad dengan berbagai lafal, selanjutnya 61 kali dalam bentuk isim jama’ (amwal) dan jumlah ini termasuk kata-kata yang mempunyai kesamaan makna dengan mâl, miasalnya, rizq, qintar, mata’ dan kanz (Baca; Taringan, 2012).

Pada dasarnya, dalam kaidah al-Qur’an jika penyebutan pada sebuah kata mengalami banyak pengulangan, memberikan pesan kepada kaum Muslim akan pentingnya kata yang diulang-ulang tersebut. Hal ini menjadi penekanan terhadap kata ‘harta’ (al-mâl) yang penyebutannya selalu mengalami pengulangan.

Sebagai contoh dalam surat [al-Kahfi: 46] “Harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” Dalam surat [al-Anfâl: 28] “Dan ketahuailah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-;ah pahala yang besar”

Begitupun dalam surat [al-Munâfiqun: 9] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” 

Jika melihat beberapa redaksi ayat yang dikutip dari 3 (tiga) surat di atas, maka dengan jelas harta adalah tanggung jawab atau amanah yang dititpkan Allah kepada manusia. Dalam menjaga amanah dan tanggung jawab tersebut, seorang Muslim dituntut mampu menggunakan harta dengan sabaik-baiknya.

Tuntunan dalam memanfaatkan harta harus sejalan dan sesuai dengan hukum-hukum maqâshid syariah yang telah ditetapkan menurut kaidah Islam, bukan menurut tuntunan hukum kovensional. Jika hal tersebut dilakukan sesuai dengan koridor syariah, maka harta tersebut akan memberikan nilai yang disebut dengan balasan berupa ‘pahala’.

Sedangkan, penggunaan harta yang keluar dari ketentuan syariah Islam, maka dipastikan harta tersebut tidak akan memberikan nilai, faedah, manfaat, sebaliknya mendapat ancaman keras dari Allah. Ancaman di sini mengandung beberapa makna, boleh jadi ‘ancaman’ dengan balasan yang berat nanti akherat, dapat juga ‘ancaman’ mengandung makna harta yang didapatkan tidak barokah, yang tidak menjadikan pemiliknya memporoleh manfaat.

Berkaitan dengan pengelolaan harta juga, salah satu pesan Rasulullah kepada umatnya akan harta (al-mal) bahwa jangan sekali-kali umat Muslim memandang remeh persoalan harta. Demikian juga penggunaan dan pemanfaatan harta diatur dan dijelaskan dalam syariat Islam yang mulia dan sempurna ini.

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihî wasallâm mengingatkan; “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggung jawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya?.” [HR. At-Tirmidzi, no 2417]

Hadits yang agung ini menunjukkan wajibnya mengatur dan mengelola pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan di ridhai oleh Allâh, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggung jawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia. [Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarhu Riyâdhish Shâlihîn: 1/479]

Semoga harta yang kita miliki mendapatkan keberkahan dan mafaat sehingga menambah rasa syukur serta semakin mendekatkan pemiliknya kepada Allah Swt sebagai pemilik harta yang hakiki. Amîîn ya Rabbal Alamîîn.

Sumber photo dari google.com

Wallahu’alam bish shawâb

Related posts

Dari Hinaan Menjadi Berkah: Hikmah di Balik Ujian Kehidupan

Sofian Hadi

Pagelaran Apresiasi Seni Akbar (PASA) 2024 Pondok Pesantren Al-Ikhlas Taliwang Kembali Digelar

Sofian Hadi

Begini Cara Media Mengendalikan Dunia (Bagian Satu)

Sofian Hadi

Kamuflase Abdul Ghaffar: Bagaimana Snouck Hurgronje Menipu Kaum Muslim di Nusantara

Sofian Hadi

Kemuliaan Perempuan dalam Islam: Refleksi Hari Ibu

Sofian Hadi

Bukan Karena Nasab  Tetapi Kerena Amal Shaleh

Sofian Hadi

2 comments

Batuter January 7, 2025 at 3:40 pm

Sangat menarik untuk melihat bagaimana materialisme dapat mempengaruhi cara kita memandang harta dalam konteks Islam. Menurut pendapat Anda, apa saja cara konkret yang bisa dilakukan umat Muslim untuk menghindari jebakan hedonisme dan lebih fokus pada tujuan syariah dalam pengelolaan harta?

Reply
RobiulTasman Tasman January 7, 2025 at 11:55 pm

💌.

Reply

Leave a Comment

error: Content is protected !!