Ibadah dan akhlaq dalam Islam adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Lebih jauh, hadits Nabi menyingkapkan pentingnya dimensi akhlaq dan infiltrasinya dalam bangunan Islam baik dari segi ibadah, hukum, dan prilaku.
Terkait ini, apabila amal ibadah membuahkan akhlaq terpuji, pada diri pengamalnya, maka itu adalah bukti bahwa dia telah melakukannya dengan cara yang paling sempurna. Kemudian, mengenal dengan rasional, misi suci yang dibawa Nabi Muhammad Saw terjalin berkelindan dengan akhlaq.
Akan tetapi sebaliknya, bila seseorang tetap berperangan buruk, kepada sesama di dalam masyarakat, maka itu bukti terbesar bahwa ibadahnya tidak berguna. Salah satu riwayat hadits yang dipesan oleh Nabi dalam sabdanya adalah;
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا
“Siapa yang sahalatnya tidak menghalanginya dari perbuatan keji dan munkar, hubungannya dengan Allah tidak akan bertambah kecuali semakin jauh”[1]
Demikian, bunyi pesan Nabi Saw. bahwa, pandangan yang mampu membuktikan, adanya hubungan organik yang tidak mungkin terlepas antara Islam dan akhlaq dengan penegasan bahwa amal ibadah seperti shalat, bangun malam (tahajud), puasa, haji, jika tidak bertumpu pada sandaran moral, tidak akan bermanfaat bagi pelakunya, khususnya di hari Akherat.
Pemilik akhlaq yang baik, yang mencintai dan dicintai orang lain karena tawadu’ dan adabnya, akan menempati posisi yang lebih baik daripada orang lain. Suatu prinsip yang penting untuk diketahui oleh banyak orang terkait akhlaq, sebab ini mempengaruhi ibadah seseorang khususnya bagaimana dia bermu’âmalah dengan manusia sekaligus dengan Tuhannya.
Karenany, syari’at Islam memberikan kemudahan, kelonggaran kepada masyarakat dalam melakukan mu’âmalah agar suasana kasih sayang, cinta dapat memayungi setiap masyarakatnya untuk hidup bahagia, bersih, tidak dikotori oleh kekeruhan serta kedengkian.
Untuk itu, Islam bukan sekedar agama yang pakem, hanya membangun hubungan dengan Tuhan, akan tetapi Islam membangun etika, akhlaq, mu’amalah dengan sesama bahkan dengan makhluk selain manusia.
Ada ungkapan menarih dari seorang satrawan Arab modern, Mustafa Sadiq ar-Rafi’I; “Pedang umat Islam pun mempunyai akhlaq”
Sebuah metafora tinggi tentang akhlaq. Betapa tidak, ditangan seorang Mu’min, pedang mempunyai batasan dan syarat ketat penggunaannya. Maka disinilah kita harus memahami bahwa derajat orang yang berakhlaq itu tinggi. Jangankan untuk melakukan keburukan, berniat untuk melakukannya saja tidak sangat dilarang, sebab itu bukanlah cerminan muslim yang ber-akhlaq.
Malangnya saat ini, gempuran kebudayaan barat yang menimpa masyarakat Islam telah merusak tatanan norma, aturan, moral hidup masyarakat Muslim dunia. Penyimpangan-penyimpangan etika, moral dan tatakrama memaksa masyarakat Islam mengukuti trend dan gaya hidup barat yang merusak dan menjebak pada kehancuran.
Kondisi ini semakin memprihatinkan, melihat hegemoni barat dengan kekuatan dan kecanggihan mampu mempengaruhi kemudian secara pelan-pelan, mengikis nilai yang telah ditancapkan oleh peradaban Islam ke dalam jantung manusia.
Jika sebuah pedang saja diibaratkan mempunyai akhlaq apabila di tangan umat Islam. Maka, sungguh jika pedang itu terlepas dari tangan kaum muslim, kita akan saksikan betapa kehancuran, akan melanda masyarakat dunia.
Disarikan dari kitab Adâb wa Qiyâm. (Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyeb). Diterjemahkan dengan judul Etika dan Norma: Menemukan Kembali Nila-Nilai yang Hilang.
Wallahu’alam bish shawab
[1] Haidts diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Khabîr (Hadits no. 11025) dari Abdullah bin Abbas r.a.
1 comment
[…] Sumber : https://batuter.com/nasional/nasihat-ibadah-dan-akhlaq-grand-syekh-al-azhar-prof-dr-ahmad-al-tayyeb/ […]