Pendidikan

Menimbang Sistem Pendidikan Dînîyah dan Sistem Pendidikan Aqlîyah

“Jika kalian menggunakan masa muda dalam kondisi bersih, terhormat, dan taat kepada Tuhan dengan mengabdikan diri dalam pendidikan Islam, maka masa tersebut akan terus terjaga, menjadi sarana memperoleh syurga yang abadi”

Badiuzzaman Sa’id Nursi, Tuntunan Generasi Muda, hal. 22


Krisis moral, adalah masalah inti yang dihadapi masyarakat modern saat ini. Kegersangan moral inilah yang memicu kesenjangan serta ketimpangan di lembaga pendidikan. Fritjof Copra, pengarang berkebangsaan Amerika, pemerhati ekologi, sains dan pencetus teori-teori paradigma kontemporer menyimpulkan bahwa lahirnya masalah pendidikan dan karakter adalah akibat dari krisis moral dalam masyarakat Modern.

Masalah seperti pemberontakan, tawuran pelajar, kekerasan, terjadi sebab para ahli dalam berbagai bidang keahlian tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang bermunculan, contohnya, para ekonomi tidak mampu memahami inflasi ekonomi. Tawuran marak dilakukan remaja, indikasi peran pendididik kurang maksiamal. Aparat keamanan tidak berdaya sebab meningkatnya pelaku kriminalitas dan sebagainya.[1]

Pendapat senada, juga diamini oleh Pitirim Sorokin, seorang sosiolog dan akademisi dari Russia tentang krisis masyarakat modern. Namun, Sorokin tidak menyebutnya sebagai krisis moral, akan tetapi ia lebih menyoroti bertambahnya masalah dalam keluarga dan hubungan sesama manusia disebabkan oleh pendidikan sekolah yang bebas nilai.[2]

Sistem pendidikan bebas nilai, maksudnya adalah sekolah yang tidak menerapkan dan mempraktikkan keterlibatan, bahkan meninggalkan pengajaran nilai (agama) dalam pembelajarannya. Sangat relevan dengan isu saat ini, khususnya tentang pendidikan bebas nilai yakni, di mana maraknya sistem pendidikan yang berbau sekularisme.

Sementara, dikotomi pendidikan produk dan induk dari sekularisme, yang dikenal sebagai pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam rangka pembentukan kepribadian manusia. Padahal, ketercapaian pendidikan yang paripurna adalah kesepadanan antara konsep agama (diniyah) yang memuat nilai, dengan kecerdasan umum yang melahirkan rasionalitas (aqliyah).  

Perlu diketahui, sebab dikotomi pendidikan inilah, sekolah hanya bertanggung jawab terhadap kemampuan akademis yang mengesampingkan pengetahuan nilai (agama). Pengetahuan agama hanya diserahkan kepada keluarga atau kelompok agama masing-masing. Hal ini tentu bertolak belakang dengan konsep pendidikan di dalam Islam yang tidak membedakan (dikotomi) ilmu agama dan ilmu aqliyah (rasionalitas).[3]

Terkait ini, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa metode yang telah diterapkan atau dipakai oleh orang Timur dengan mengintegrasikan kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan umum. Hal ini telah terbukti mampu menjadikan seseorang menjadi terdidik (educated), ketimbang siswa hanya mempelajari ilmu umum saja.

Maka harus dipahami, bahwa mempelajari ilmu agama (syari’ah) adalah hal utama dalam sistem pendidikan. Walaupun, ilmu tersebut harus diajarkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, tidak serta merta mengajarkan semuanya. Apabila, ilmu agama yang diajarkan belum dipahami secara utuh, maka tidak mengapa hal tersebut diulang.

Dengan demikian, dalam upaya mengatasi krisis moral atau krisis nilai yang terjadi di lembaga pendidikan atau institusi apapun, pendidikan nilai yang bersumber dari agama tidak boleh dikotak-kotak atau dipisahkan dari sisitem pendidikan ilmu pengetahuan umum (ilm aqliyah). Jika itu terjadi, maka analisah Chapra, Sorokin ataupun Erickson tentang krisis nilai tidak akan pernah usai.

Dalam pandangan berbeda, sistem pendidikan bebas nilai adalah sistem sekular, yang mustahil mampu memberikan solusi bagi dunia pendidikan. Sebaliknya, pandangan Ibnu Khaldun yang menitik beratkan pembelajaran agama tanpa dikotomi ilmu pengetahuan umum, memberikan solusi positif bagi krisi yang melanda remaja serta masyarakat modern yang cenderung meterialistis dan mengagungkan rasionalitas.  

Pada akhirnya, kemunculan pendidikan bebas nilai yang notabennya dari sistem pendidikan barat sekular, akan menjadi boomerang serta mereduksi eksistensi pendidikan agama, khususnya di lembaga pendidikan Islam. Kemudian fatalnya adalah kesalahan dalam memahami hakekat pendidikan dan hakekat manusia.[4]

Wallahua’lam bish shawââb


[1] Fritjof Copra, Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan kebudayaan. (Jakarta: Bentang pustaka, 2004), 8.

[2] E. Erickson, Character Development dalam Michael Belok et al, Approaches to value in Education, (Debuque: Brown Company Publisher, 1966), 288.

[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), xiii

[4] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (King Abdul Aziz: Jeddah, 1979). Baca, al-Attas on The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), 35-40.

Related posts

Bukan Uang atau Jabatan! Ini Faktor Penentu Kesuksesan Anak yang Sering Dilupakan!

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Meneropong Kualitas Pendidikan di Sumbawa Barat

Sofian Hadi

Peran Pramuka dalam Kehidupan Masyarakat: Kontribusi Nyata bagi Generasi dan Bangsa

Sofian Hadi

Buku Anak dengan Ilustrasi Indah yang Menginspirasi Imajinasi

Sofian Hadi

Bekal Terbaik Menyambut Sang Buah Hati

Sofian Hadi

Leave a Comment

You cannot copy content of this page