Pendidikan

Tiga Langkah Melatih Minat Baca Peserta Didik di Sekolah Dasar

 “Membaca jadikan kita cerdas, manfaatnya jelas.” Begitulah pesan video kompilasi iklan layanan masyarakat yang diproduksi oleh Perpustakaan Nasonal RI dalam rangka meningkatkan kegemaran membaca di Indonesia.  Pesan mendasar yang ingin disampaikan oleh iklan itu adalah untuk menumbuhkan budaya baca atau budaya melek buku tidak hanya di tingkat sekolah, namun juga di masyarakat luas.

Melihat minat baca buku generasi muda di Indonesia sangat memperihatinkan, apalagi tantangan di era milenial seperti sekarang ini. Sebuah generasi yang sekarang terjebak dalam perkembangan arus teknologi dan informasi yang serba digital.

Generasi milenial diartikan sebagai perilaku psikologis dan gaya hidup di era digital yang sangat bergantung kepada internet.  Dampaknya generasi ini lebih gemar membaca SMS, Whatsapp, Facebook, Instagram daripada membaca buku. Berkaitan dengan itu, tulisan dalam artikel ini fokus akan membahas tiga langkah melatih minat baca peserta didik di sekolah dasar agar lebih cinta buku, sebelum mereka mengenal dunia gadget.

Adapun pembahasan yang akan diurai dalam artikel ilmiah ini adalah; Pertama, bagaimana memperkenalkan buku kepada peserta didik di sekolah dasar (SD). Kedua, Anggaran pendidikan dan buku yang berkualitas. Terakhir, bimbingan guru yang intensif dan pemanfaatan teknologi sebagai sarana baca di sekolah.

a.    Memperkenalkan Buku Kepada Peserta Didik di Sekolah Dasar

Pengertian baca atau membaca, menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).  Dalam rangka mewujudkan pengertian melihat dan memahami isi yang di baca, maka fenomena membaca buku di sekolah sejatinya harus dilatih, dibiasakan, diciptakan, di design, dan di prioritaskan terutama terhadap anak-anak di sekolah dasar. Hal ini melihat minat siswa di sekolah dasar lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk bermain daripada membaca buku atau ke perpustakaan sekolah.

–    Memperkenalkan Buku kepada Peserta Didik Sejak Dini

Untuk memperkenalkan buku dan budaya baca dilingkungan sekolah dasar, butuh komitmen penuh orangtua, guru, kepala sekolah dan komite sekolah. Butuh pengorbanan orangtua dan guru khususnya di luar sekolah atau dalam kegiatan eskul. Bagaimana akan tercipta budaya membaca dilingkungan sekolah, jika keempat ranah diatas belum mampu menciptakan milieu baca bagi para peserta didik. Hal ini dapat dievaluasi, ketika anak-anak mulai belajar di bangku pemula atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Secara umum pendidikan yang diajarkan masih banyak berupa game atau permainan lepas, bukan diajarkan membuka buku-buku yang bergambar atau sekedar memperkenalkan mereka melalui buku yang bergambar binatang, tarian daerah, alam raya, atau bahkan gambar benda-benda langit yang dapat memancing otak mereka tertarik untuk membuka buku tersebut.

Di dalam memperkenalkan cara baca buku terhadap siswa butuh kreativitas guru. Guru juga dituntut lebih aktif membaca daripada anak didik itu sendiri. Jika guru saja segan untuk baca, apa jadinya dengan peserta didik. Parahnya lagi jika sang guru menyuruh anak didiknya melek baca tapi guru itu sendiri segan baca.

Tentunya, ini sangat bertentangan dengan disiplin yang dibangun diatas dasar “kesadaran”. Bagaimana dapat menyadarkan orang lain sementara guru sendiri saja tidak ada kesadaran. Memang tidak dapat di pungkiri minat baca guru dan peserta didik disekolah jauh dari realitas dan cita-cita budaya yang diusung.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan “Agar membaca bisa menjadi budaya manusia Indonesia maka perlu perkenalan dan tahapan. Hal pertama yang dilakukan adalah mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca, sampai membaca itu akan menjadi kebiasaan, karakter dan hobi mereka. Setelah itu barulah membaca itu akan manjadi budaya.”

–    Memancing Kreatifitas Siswa dengan Kegiatan Empiris dan Perlombaan

Bagi peserta didik ditingkat sekolah dasar sebaiknya dilatih lebih banyak dengan praktek daripada teori. Dengan banyak memberikan contoh real (nyata) kepada siswa, mereka akan lebih mudah untuk meniru kebiasaan guru tersebut.

Sebagai contoh, ketika guru ingin mangajak anak-anak berkunjung ke perpustakaan sekolah, sebaiknya guru harus mencari terlebih dahulu buku yang menarik. Setelah itu guru memperlihatkan buku kepada siswa-siswi, dan menjelaskan banyak hal menarik untuk dibaca di buku tersebut. Jika siswa-siswi tertarik dengan penjelasan guru tersebut, maka siswa pasti antusias untuk belajar.

Bagi siswa sekolah dasar, contoh nyata penting untuk mempengaruhi khazanah berpirkir mereka yang sederhana, serta akan melatih kecerdasan intelektual para siswa untuk kritis terhadap sesuatu yang dilihat. Dengan memancing rasa keingintahuan siswa seperti hal diatas, maka peserta didik akan mendapatkan pengalaman baru dalam membaca. Pada dasarnya anak-anak sangat tertarik dengan sesuatu empiris daripada yang abstrak. Karena, otak mereka masih sangat rentan menyerap informasi secara nyata, bukan secara teori.

Selain dari pada contoh nyata dari guru dalam memperkenalkan minat baca siswa, hal lain yang harus dilakukan oleh guru adalah mengadakan perlombaan yang berkaitan dengan buku. Baik itu perlombaan menulis, membaca atau membuat resensi singkat beberapa buku yang dianggap menarik.

Siswa akan lebih tertarik membaca jika mereka dibiasakan dengan kegiatan yang bersifat perlombaan. Sebab, secara tidak langsung ketika mereka ingin menjadi yang terbaik siswa pasti akan belajar. Dan orangtua harus berperan aktif dalam mengajari anaknya membaca atau menulis, sebagai bentuk tenggung jawab terhadap anak mereka.

Oleh sebab itu, sangat penting memperkenalkan buku kepada anak-anak sejak dini dengan mengajak mereka dalam bentuk kegiatan empiris dan game yang menarik. Agar peserta didik tidak menjadi terbiasa dengan buku dan tertarik membacanya.

b.    Anggaran Pendidikan dan Buku yang Berkualitas

Agus M. Irkham, dalam artikelnya “Minat Baca tak Bisa Menunggu” menulis pernyataan mantan Menteri Pendidikan Anis Baswedan tentang Peraturan Menteri (Permen) Nomor 21/2015 perihal program penumbuhan budi pekerti (PBP). Salah satu hal yang diusung dalam program tersebut adalah membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. (Baca: https://kolom.tempo.co/read/1001882/minat-baca-tak-bisa-menunggu)

Apa yang diusulkan oleh mantan Menteri Pendidikan tersebut sangat penting untuk dicerna, terutama oleh para kepala sekolah dan guru. Dan untuk menindaklanjuti usulan tersebut, perlu melihat aspek-aspek real tentang ketersediaan buku, koleksi perpustakaan dan kualitas buku yang akan dibaca oleh para siswa. Tentunya ini memerlukan pengadaan anggaran buku-buku berkualitas untuk peserta didik.

–    Tempat Membaca yang Representatif

Menilik anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat terdapat peningkatan, pada tahun 2017 anggaran pendidikan berjumlah 416 triliun maka di tahun 2018 anggaran pendidikan akan ditambah menjadi 441 triliun.  Dikutip dari sumber yang sama, bahwa prioritas anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah pusat terfokus kepada dua hal penting.

Fokus pertama, untuk perbaikan infrastruktur bangunan sekolah. Karena masih banyak ditemukan sekolah dasar yang bangunannya rusak, bocor dan sudah tidak layak pakai. Kedua, prioritas untuk kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini terkait pengembangan, peningkatan dan kemajuan baik guru dan peserta didik dalam pembelajaran, termasuk pengadaan buku-buku di perpustakaan.

Jika melihat ketersediaan dana yang cukup besar ini untuk pembangunan fisik dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka tidak menutup kemungkinan mewujudkan budaya baca bagi siswa ditingkat dasar akan terwujud. Akan sangat mustahil mewujudkan generasi melek baca di era milanial ini, jika tidak didukung oleh prasarana baca yang menarik.

Jumlah Sekolah Dasar di Indonesia mencapai 148 ribu lebih. SD yang mempunyai perpustakaan hanya 50 ribu atau sekitar (30 persen). Dengan ketersediaan dana yang dianggarkan oleh pemerintah pusat akan sangat membantu pembangunan kualitas infrastuktur perpustakaan, guru dan siswa.

–    Ketersediaan Buku yang Berkualitas

Untuk menumbuhkan budaya baca ditingkat sekolah dasar bukan hanya dimulai dari sekolah, guru, keluarga dan komite sekolah. Akan tetapi, perlu dorongan finansial yang cukup. Ketersediaan perpustakaan dan buku-buku bacaan yang menarik sangat diperlukan terhadap proses tumbuh kembang budaya baca di sekolah.

Tentunya, untuk mengisi perpustakaan harus meyediakan buku yang berkualitas dan menarik. Dengan ketersediaan buku yang menarik minat siswa, dengan sendirinya akan memberikan pengaruh baca dan rasa ingin tahu terhadap buku yang dibaca.

Seperti yang telah disingguang di awal, ketersediaan perpustakaan sekolah sangat vital untuk menciptakan budaya baca siswa. Tanpa ketersediaan perpustakaan sekolah atau rumah belajar, maka sangat mustahil anak-anak akan membaca di luar jam belajar atau sebelum jam pelajaran dimulai. 

Tulisan “Buku adalah jendela dunia” yang sering tertulis di luar atau di depan perpustakaan akan menjadi dorongan kuat siswa untuk belajar membaca. Apalagi dengan kelengkapan buku-buku yang menarik minta siswa. Buku yang diminati secara otomatis akan sering bibuka, dibaca, dan dihafal sehingga menjadi senjata dan gagasan untuk penegetahuan masa depan.

Dengan adanya perbaikan infrastruktur, ketersediaan buku berkualitas dan tata kelola perpustakaan yang menarik, akan semakin memancing para siswa untuk mengunjungi dan mencari sumber bacaan yang ringan untuk dibaca.

c.    Bimbingan Guru Secara Intensif dan Pemanfaatan Teknologi sebagai Sarana baca di Sekolah.

Membangun minat baca dan menciptakan budaya baca ditingkat sekolah dasar akan terhenti jika tidak diasah dan diasuh secara sustainable (berkelanjutan). Hal ini membutuhkan proses bimbingan guru, kepala sekolah, keluarga dan komite sekolah secara intensif, optimal dan sungguh-sungguh.

–    Bimbingan Guru secara Intensif

Jika terus dilakukan bimbingan terhadap siswa-siswi sekolah dasar dalam membaca, maka hal ini akan mengangkat budaya baca masyarakat Indonesia yang hanya 2-4 jam per hari menjadi menjadi lebih baik. Seperti dilansir oleh Tempo.CO penelitian yang dilakukan oleh Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat  Baca Perpustakaan Nasional Syarif Bando, hasil dari penelitian pada tahun 2012-2014 cukup memprihatinkan yaitu 2-4 jam per hari. sementara United Nations of Education Scientific and Cultural Organization (UNSCO) memberikan standar 4-6 jam per hari.

Hal ini sejalan dengan pendapat Mr. Hodgson terbitan tahun 1960 halaman 43-44, bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan oleh para pembaca agar mendapatkan pesan, yang akan disampaikan dari penulis dengan perantara media kata-kata maupun bahasa tulis. 

Proses dan bimbingan dalam membentuk minat itu penting, untuk mencapai hasil yang maksimal. Kalau guru tidak memberikan bimbingan secara intensif, maka budaya baca  terhadap siswa akan mudah hilang. Mereka akan kembali kepada dunia bermain dan menghabiskan waktu berhura-hura dan melupakan membaca.

–    Pemanfaatan Sarana Teknologi

Saat ini, beberapa program seperti buku on-line, membaca on-line, perpustakaan on-line dan sebagainya sudah tidak asing lagi bagi para guru. Tentu saja semua hal itu akan lebih bermanfaat jika sekolah membuat semacam perpustakaan digital, dengan adanya perpustakaan digital tersebut, akan memberikan efek membaca baru bagi siswa. anak-anak juga dapat diajak memanfaatkan sarana teknologi seperti aplikasi baca di laptop dan beberapa aplikasi baca buku di internet.

Dengan terus membimbing anak-anak secara rutin maka minat baca akan tumbuh sebagai kesadaran dan kebutuhan jiwa mereka dalam setiap aktivitas belajar. Lebih-lebih ditunjang dengan beberapa sarana teknologi terbimbing. Hal ini akan sangat membantu terciptanya budaya baca, seperti yang di yang sekarang marak diusung oleh pemerintah dengan nama program literasi sekolah.

d.    Kesimpulan

Dari beberapa uraian diatas, tidak diragukan lagi bahwa pengenalan buku sejak dini kepada siswa sekolah dasar sangat perlu, agar siswa tertarik untuk membaca. Begitu juga dengan ketersediaan anggaran pendidikan untuk pengadaan buku berkualitas sesuai dengan minat baca siswa juga tidak kalah penting. Ditambah lagi dengan bimbingan dari guru yang sustainable dan pemanfaatan teknologi, internet untuk memancing minat siswa agar tidak jenuh dalam membaca. Dengan beberapa langkah diatas diharapkan akan terbentuk budaya baca yang dimulai dari  sekolah hingga kepada masyarakat luas.

Cara pintar buat pintar, ya membaca!


SUMBER BACAAN

  • Jurnal Kependidikan Islam. At-Ta’dib. 2011. (Fakultas Tarbiah Unida Gontor,), Vol. XVI, No. 01, Edisi Juni. Hal, 95.
  • Departement Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. (Jakarta: PT Gramedia) edisi Keempat.
  • Hasbullah. 2013. Dasar-dasar Ilmu Penddidikan. (Jakarta: Mei)
  • Husaini, Adian,  Jakarta. 2015. Mewujudkan  Indonesia  Adil  dan  Beradab,  Cet.1,  Bina  Qalam, Surabaya, INSISTS,
  • Imron,  Ali, 2012. Kebijaksanaan  Pendidikan  di  Indonesia  : Proses, Produk,  dan  Masa Depannya, Jakarta, Bumi Aksara,
  • Koran Tempo edisi 21-27 Agustus 2017.
  • https://kolom.tempo.co/read/1001882/minat-baca-tak-bisa-menunggu
  • Zuriah, Nurul, M.si. 2015. Pendidkaan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. (Jakarta: Bumi Aksara)

Related posts

Konsep Ta’dib (adab) yang Diajarkan Rasulullah Saw (Bag.1)

Sofian Hadi

Menjaga Ilmu

Sofian Hadi

Rasio, Akal dan Ilmu Pengetahuan tanpa Tuhan

Sofian Hadi

Perkembangan Minat Baca di Indonesia

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Hikmah di Balik Perubahan Iklim: Menemukan Pelajaran dari Tantangan Global

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!