Opini

Kearifan Lokal (Local Wisdom) Taliwang, Quo-Vadis? Bagian dua

Hibriditas Kearifan Lokal dan Kearifan Global

Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya memberikan pengaruh dan tantangan hebat kepada kehidupan dan kebudayaan lokal suatu masyarakat. Apalagi dengan masuknya perusahaan tambang di wilayah pedesaan, khususnya di Kabupaten Sumbawa Barat.

Apabila ditinjau dari satu sisi, globalisasi dan kemajuan tekonologi seperti memantik munculnya permasalahan lingkungan serta terancamnya ekosistem kebudayaan bagi masyarakat pedesaan, namun pada sudut pandang berbeda era globalisasi dengan dukungan kemajuan teknologi industri modern merupakan suatu hal yang tidak bisa dinafikan.

Kehadirannya, karena boleh jadi hadirnya globalisasi dalam kebudayaan lokal sebagai penanda kearifan lokal dan kearifan global dapat diintegrasikan sehingga mampu saling melengkapi.

Pada poin ini, harus dapat di posisikan dengan jelas bentuk tantangan global terhadap eksistensi kearifan lokal dalam suatu komunal. Sebab, bisa jadi tantangan yang dicemaskan dapat ditemukan jalan keluar tanpa harus menolak kehadirannya. Hal ini senada dengan pendapat Heddy Shri Ahimsa Putra yang merumuskan bahwa kearifan lokal dibagi menjadi dua. Pertama, kearifan tradisional, (lama). Kedua, kearifan kontemporer (kekini).

Kearifan tradisional dimaknai sebagai perangkat pengetahun, pikiran, tindakan dalam suatu komunal agar dapat memecahkan persoalan dan masalah yang dihadapi. Kearifan tradisional ini didapatkan dari generasi dan budaya sebelumnya baik secara tindakan dan lisan serta memiliki hukum yang telah disepakati secara bersama. Sementara, kearifan kontemporer (kini) merupakan perangkat pengetahuan baru yang disepakati dan ditemukan dalam suatu komunitas masyarakat, (Ade Makmur, ed. 2011: 213-214)

Menyoroti problema kearifan lokal dalam bayang-bayang global, diperlukan standar kajian mendalam agar kedua jenis kearifan lokal baik kerifan tradisional dan kearifan global dapat diintegrasikan sehingga menciptakan sebuah hibriditas baru dalam kebudayaan.

Hibriditas kearifan lokal mesti dijadikan pertimbangan, maksudanya adalah dengan mengambil nilai-nilai positive dari keraifan global disilangkan dengan kearifan tradisional. Dengan demikian, akan menjadi sebuah harmonisasi kearifan lokal baru yang tidak saling bersebrangan, tumpang tindih apalagi saling menyalahkan.

Hibriditas antara kearifan tradisional dengan kearifan global besar kemungkinan dapat menjadi jalan tengah atas masalah yang dihadapi. Sentuhan budaya global tidak seharusnya selalu dipandang negatif atau bahkan memvonis bahwa globalisasi, modernisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ancaman serius bagi lenyapnya nilai kearifan lokal di dalam budaya dan tradisi komunal.

Di dalam istilah ilmu biologi, hibrida merupakan hasil dari penyilangan antara spesies satu dan spesies lain yang dilakukan secara ilmiah atau melalui bentuk rekayasa.[1] Karenanya, langkah pentransformasian kearifan lokal dengan kearifan global dapat dilakukan dengan konsep hibriditas.

Integrasi Kearifan Lokal dan Kearifan Global

Hal inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat yaitu dengan mengintagrasikan kegiatan kearifan lokal dikemas dalam bentuk kearifan global yang lebih kontemporer. Harus dipahami, bahwa kearifan global bukanlah nilai kearifan baru yang mesti dipandang asing.

Melainkan tetap berpijak dan bersandar pada corak nilai-nilai kearifan lokal yang tetap menjunjung tinggi kebudayaan dan corak pikiran serta prinsip pengetahuan masyarakat, hanya saja berbeda pada praktek dan pengungkapannya. Berikut adalah ragam bentuk kearifan lokal yang masih dipertahankan di Kabupaten Sumbawa Barat.

Festival Bau Nyale (menangkap nyale)

Nyale menurut ahli biologi adalah jenis cacing (anelida) atau binatang laut yang mempunyai kaki sebagai bintik-bintik dan termasuk dalam golongan binatang beruas (anthropoda).  Pendapat lain dari para ahli tentang nyale merupakan binatang yang hidup di dalam lubang-lubang batu karang di bawah permukaan air laut. Jenis cacing ini hanya terdapat di Lombok Selatan, Teluk Awang, Sumbawa Barat, Maluku dan Samoa di laut Pasifik, (Baca; Lalu Wacana, 1982: 65).  

Bau nyale merupakan nama kegiatan kearifan lokal di Kabupaten Sumbawa Barat. Kearifan lokal ini merupakan kegiatan tahunan yang jatuh sekitar bulan Februari setiap tahunnya. Lokasi kegiatan bau nyale ini dilakukan di sekitar pantai-pantai di Kabupaten Sumbawa Barat, seperti di trophy beach (pantai trophy) di Kecamatan Sekongkang, pantai Jelenga di Kecamatan Jereweh, pantai Balad di Kecamatan Taliwang, dan beberapa pesisir pantai kecil lainnya.

Sejak berdirinya Kabupaten Sumbawa Barat (2004) secara turun-temurun kegiatan ini dipusatkan di pantai trophy yang letaknya di Kecamatan Sekongkang. Sejarah lahirnya ‘festival bau nyale’ lahir disebabkan karena pemerintah melihat kearifan lokal ini dilakukan secara individu, belum dilakukan secara bersama-sama, sehingga hasilnya kurang maksimal.

Apalagi melihat lokasi penangkapan nyale sangat dekat dengan daerah lingkar tambang emas yang mulai beroperasi pada tahun 1999 (PT. Newmont Nusa Tenggara) yang sekarang diakuisis penuh oleh (PT. Amman Mineral Nusa Tenggara). Sebelum Kabupaten Sumbawa Barat terbentuk pada tahun 2004, kearifan lokal bau nyale telah rutin dilakukan oleh masyarakat sekitar.

Khusunya di wilayah di pantai trophy Kecamatan Sekongkang. Pasca terbentuknya Kabupaten Sumabwa Barat, pemerintah memandang perlu membangkitkan kegiatan kearifan lokal yang telah berjalan tersebut dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam hal ini adalah Bupati dan sluruh jajaran steakholdersnya.

Gagasan lahirnya festival bau nyale kemudian disebar dan dipromosikan melalui reklame, spanduk, baliho serta media cetak dan elaktronik. Hal tersebut dipandang berhasil mengajak masyarakat dengan antusias menyambut dan mendukung kegiatan festival bau nyale tersebut.

Di dalam kegiatan kearifan lokal festival bau nyale banyak jenis perlombaan yang dikemas dengan unik oleh pemerintah. Kegiatan seperti pawai parade budaya dengan mengenakan pakaian adat mewakili suku masing-masing. Semua suku berbaur bersama mulai dari suku Samawa, Sasak, Selayar, Mbojo, Bali dan sebagainya.

Festival kearifan lokal bau nyale akhirnya menjadi agenda wajib tahunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dengan harapan dapat menjadi ikon periwisata di Kabupaten Sumbawa Barat khususnya di Sekongkang. Agenda inti dari kegiatan festival bau nyale adalah dimulai dengan melaksanakan salat subuh secara berjama’ah.

Selepas menunaikan salat subuh masing-masing mempersiapkan diri dengan peralatan jaring dan bantuan senter, mengingat waktu setelah subuh masih gelap. Kemudian dengan antusias para warga masyarakat berduyun-duyun menuju bibir pantai guna menjaring nyale yang mengambang dipermukaan air laut.


[1] Redyanto Noor, Kearifan Lokal dalam Hibriditas Sastra Indonesia Modern, Jurnal NUSA. Vol. 15 No. 1 Februari 2020. 

Related posts

Menyoal Kebijakan ‘Asing’ di Bumi Pertiwi

Sofian Hadi

Kearifan Lokal (Local Wisdom) Taliwang, Quo-Vadis? Bagian Satu

Sofian Hadi

Ironi Perubahan Iklim: Mampukah Kita Bertahan?

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Kriteria Pemimpin Masa Depan (Telaah Jiwa Kepemimpinan Muslim)

Sofian Hadi

Aktualisasi Nilai Sosial Islam Untuk Keutuhan Bangsa

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!