Sastra

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Memoar Bagian Satu

Interaksi saya dengan novel ‘Ayat-Ayat Cinta’ (Kang Abik) Ustadz. Habiburrahman el-Shirazy sekitar tahun 2007. Saat itu saya berkunjung ke Surabaya tepatnya di Sidoarjo. Karena saya rasa waktu yang singkat hanya 3 (tiga) hari disana, saya berinisiatif untuk berziarah ke Makam Sunan Ampel di Jl. Ampel Blumbang No.2A Semampir.

Ramai hilir-mudik lalu-lalang para penziarah keluar-masuk makam. Saya mengambil air wudhu di tempat penampungan besar di area sebelum masuk makam. Berjubel pengunjung dari semua penjuru nusantara dengan keluarga, guru dan kerabat sanak saudara beramai-ramai datang berziarah ke makam ini. Selepas memanjatkan do’a, saya pun bergegas keluar meninggalkan hiruk-pikuk penziarah

Di luar makam banyak sekali toko-toko buku berjejer yang sebelumnya saya tidak melihat keberadaanya. Nampak kitab-kitab kuning dengan bahasa Arab dan penjualnya juga sepertinya dari tanah Arab. Buku-buku turos berderet di rak-rak kayu, berjilid-jilid. Tebal dan original. Ditambah dengan suasana pertokoan yang dihias pernak-pernik handicraft hasil kerajinan tangan.

Tasbih, dan beberapa kerajinan tangan lainnya bergelantungan indah. Parfum khas Arab menyiram rongga-rongga hidung. Siraman kasturi, kiswah, hajar aswad dan raudhoh bercampur-aduk dalam satu hirupan kesegaran.

Sorot tajam mata saya tertuju kepada salah satu toko buku, yang memampang judul buku-buku dalam bahasa Indonesia. Saya mendekati toko itu, tepat di depan mata saya judul buku (novel) ‘Ketika Cinta Bertasbih’ Novel Pembangun Jiwa. Mega best seller. Demikian tulisan di cover depannya.

Tulisan ‘novel pembangun jiwa’ di cover itu mendatangkan tanda tanya besar. “memang ada?” Yang saya tahu, semua jenis novel adalah sama tidak pantas untuk di baca. Novel itu adalah bacaan sampah. Tidak layak untuk dibaca oleh siapapun, entah anak remaja, dewasa, apalagi orang tua. Isinya tidak mendidik justru merusak!

Demikian gambaran saya tentang novel saat itu. Konotasi novel memang tidak enak di telinga. Tidak sedap di dengar dan di baca. Konotasi negative yang tidak educative. Karenanya, saya anti untuk membaca sebuah novel. Novel apapun itu. Intinya, novel adalah virus buruk bagi dunia baca-tulis.

Untuk lebih jelasnya, begini alasan kenapa saya anti baca novel. Lanjut di bagian dua.

Related posts

Mengenal Teori Grafologi dalam Literasi Menulis

Sofian Hadi

Resensi buku “AYAH… Kisah Buya Hamka”

Sofian Hadi

Resensi Buku Jalan Nabi 1: Mengungkap Tabir Zaman Keemasan

Sofian Hadi

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Revolusi. Bagian Tiga Selesai

Sofian Hadi

Hakekat “Kritik” dalam Sastra Indonesia

Sofian Hadi

Jempang Mendoak

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!