Pada tahun 1932. Siang hari, kota Amsterdam masih dicekam musim dingin. Dingin yang amat sangat. Susana dingin yang mencekam di Kota Terkenal tersebut ternyata menjadi saksi bisu atas ‘Tragedi kekejaman’ akal dan rasio manusia yang tidak pernah terpuaskan oleh ilmu pengetahuan.
Sepucuk surat kecil. Singkat. Padat. Tetapi lugas bukan kepalang. Surat ringkas itu tergeletak ‘tanpa nyawa’ di suatu ruang hampa, di sudut Kota Amsterdam.
“Mir fehlt Gott vertranen. Religion it is notig aber wen sie nicht moglicht, der kauneben zugrunde gehen” Demikian bunyi surat itu. Tepat di samping sepucuk surat tersebut tergeletak mayat-mayat dalam kondisi kaku-beku tak bernyawa.
Amsterdam terguncang. Amsterdam tercengang. Gempar. Laksana petir membakar. Pasalnya, mayat-mayat yang bergeletak kaku itu tidak asing bagi mereka. Mayat beku itu tak lain dan tak bukan, adalah satu anggota keluarga seorang intelektual kenamaan dan berkebangsaan Kota dengan julukan seribu kincir angin itu. Dialah sang Profesor Paul Ehrenfest, beserta istri dan anak kesayangannya.
Setiap penduduk Kota Amsterdam, siapa yang tidak kenal dengan Ehrenfest? Dialah pemuja akal, rasio dan ilmu pengetahuan. Dia adalah sang ‘Atheis Tulen’ dari Amsterdam yang diagung-agungkan oleh pengikutnya. Dialah ‘intelektual garda depan’ Amsterdam yang tengah berada di puncak karir intelektualnya. Kedudukan terhormat, limpahan harta benar-benar dalam genggaman dan kendalinya.
Lantas, bagaimana mungkin, sosok Ehrenfest yang sedang berada di puncak jayanya tiba-tiba mati bunuh diri?. Tidak sampai disitu, Ehrenfest sekaligus membantai anak-istrinya. Benarkah Sang Profesor bunuh diri? Atau ini merupakan sebuah sindikat? Demikian publik Amsterdam bertanya-tanya ragu. Teka-teki pertanyaan warga Amsterdam, tersimpan rapat dalam hati masing-masing.
Selang setelah beberapa hari akhirnya terkuak, bahwa Profesor Ehrenfest benar-benar mati bunuh diri. Tidak dibunuh. Tidak juga terdeteksi sindikat. Bahwa sebelum membunuh dirinya, Ehrenfest terlebih dahulu membunuh anak-istrinya. Demikian pernyataan resmi Dinas Kepolisian Kota Amsterdam.
Ehrenfest bunuh diri, hanya karena ‘tidak puas’ dengan rasio, akal dan ilmu pengetahuan yang ‘dituhankannya’ selama bertahun-tahun. Dari rasio, akal dan ilmu pengetahuan ia merasa tidak mendapatkan apa-apa, selain pandangan hidup absurd, gamang dan diliputi kecemasan. Ehrenfest merasa harus mengakhiri hidupnya, karena hidup baginya tak lagi memiliki makna sama sekali.
Surat tragis disamping mayat-mayat yang tergeletak itu, sesungguhnya secara khusus ditujukan Ehrenfest untuk salah seorang sahabt karibnya, Profesor Kohnstamm. Sebaliknya, Kohnstamm sendiri tidak mengira sama-sekali bahwa kawan yang selama ini dikagumi kecerdasan dan kejeniusannya harus mengakhiri hidup dengan amat tragis.
Air mata sesak Kohnstamm tumpah dipelupuk matanya, “Yang tidak saya miliki adalah kepercayaan kepada Tuhan. Padahal itu perlu. Seseorang binasa karena hal ini, karena tidak beragama”. Kohnstamm semakin tidak kuat mengulang membaca surat itu. Napasnya sersengal, sesak. Surat itu hanya mampu dibaca dalam diam. “Mudah-mudahan Tuhan menolong kamu, yang aku lukai saat ini” Begitulah bunyi akhir surat itu.
Bagi seorang yang tidak percaya Tuhan, bisa jadi akan mengalami nasip serupa dengan Profesor Ehrenfest. Mati bunuh diri, karena hidup tak lagi berarti.
Karenanya, rasio, akal, pikiran dan ilmu pengetahuan harus mencari pelengkapnya yaitu ‘agama’. Dan satu-satunya agama yang sangat rasional bagi akal dan ilmu pengetahuan tidak lain adalah “Islam”. Islam adalah agama tidak pernah mempertentangkan akal, rasio dan ilmu pengetahuan. Kesemuanya adalah inheren, saling berkaitan satu dengan lainnya.
Demikainlah, semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi siapapun. Khusunya bagi “penganut Atheis” ingatlah, gunakan akal, rasio dan ilmu yang kalian miliki untuk mengenal Tuhan, bukan sebaliknya menyangkal menolak Tuhan.
Disarikan dengan beberapa penambahan dari Buku “On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam” Editor Laode M. Kamaluddin. Baca catatan kecil editor hal, vii-ix. Terbit Desember 2010. Unissula Press. ISBN: 978-979-3604-40-4 Kisah ini juga ditulis oleh Dr, Adian Husaini di: https://www.adianhusaini.id/detailpost/kisah-bunuh-dirinya-prof-ehrenfest