Hari Jum’at adalah hari yang di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari ini menjadi symbol berhentinya kegiatan padat yang kami kerjakan. Hari juma’at bagi kami para santri sangat istimewa, banyak moment berharga lahir di hari ini. Dan di hari ini juga alasan-alasan yang konyol menjadi sangat penting dan bermakna. Aku melihat teman-temanku sibuk dengan urusan dan pekerjaan mereka sendiri. Termasuk Abridin dan Mukhlis mereka adalah sahabat senasip dan sepenangungan selalu mempunyai rencana baru untuk hari Jum’at tersebut.
Di hari itu juga santri-santri bisa bermain bola basket dengan bebas. Lapangan basket itu terletak di depan salah satu gedung megah di tanah Rabbani. Gedung yang selalu menunggu embun pagi untuk menyiraminya. Gedung yang berlantai dua itu tidak beratap seperti bangunan pada umumnya. Arsiteknya persis gedung-gedung Elite dan megah di Eropa atau gedung-gedung yang selalu di jadikan tempat para aktor dalam Film Holywood itu beraksi. Sebut saja “White House” Gedung yang selalu di jadikan ikon megah di America itu. Maka seperti itulah gedung di tanah Rabbani kami. Dan bagi siapa yang ingin melihat kemegahan Gedung itu, akan sangat indah ketika dia pandang di pagi hari, ketika dia disirami kabut-kabut dan embun yang membawa berkah dari langit. Lebih indah lagi gedung itu kalau di lihat ketika di malam hari, karena saat itu di temani oleh cahaya Bintang dan Rembulan malam. Sangat menakjubkan!! Gedung yang di usung sebagai awal pembentukan Peradaban Fitrah dari tanah Rabbani Tercinta.
“Din, kita ijin ke Taliwang yoo, lumayan..Nanti kita jalan-jalan di sana terus kita beli makanan”. Mukhlis mencoba membujuk Abridin. “Tapi hari Jum’at kemarin aku sudah izin ke Taliwang, kalau aku ijin lagi pasti tidak di berikan Tasreh”. Abridin terlihat tidak tertarik dengan bujukan Mukhlis. Padahal dalam hatinya dia berhasrat ingin ikut sahabatnya itu ke Taliwang untuk membeli sepatu bola, karena Jum’at lalu dia lupa membelinya. “Ya sudah kalau begitu, aku mau ijin dulu ke pengurus, nanti kalau mau nitip silakan”. Jawab Mukhlis lugas, tanpa memberikan tawaran ke dua kepada Abridin.
Dengan gaya rambut belah samping, kemeja putih lengan panjang, celana hitam dan sepatu pantopel hitam, Mukhlis keluar dari kamarnya, kamar yang di depan pintu masuknya tertulis Quwait satu dengan khot arab, dan hanya bisa di baca oleh orang yang mampu berbahasa Arab saja. Dia melangkahkan kakinya lurus ke kantor pengurus, kantor itu letaknya di ujung Quwait satu. Anehnya, dia justru belok ke arah kanan jalan, yaitu jalan alternative menuju kamar mandi di belakang kamarnya. Jalan alternative yang sering di lalui santri-santri yang tidak mau mengambil tasreh di pengurus Organisani besar di Tanah Rabbani itu.
Dengan perasaan tidak bersalah sedikitpun, Mukhlis menaiki dokar yang melintas di depan jalan utama tanah Rabbani. Dan alangkah kagetnya dia melihat di atas dokar itu ternyata ada Abridin, Sholeh, Musa dan Salman yang memakai seragam yang sama pula. Ternyata mereka sudah mendahului dirinya yang pada akhirnya menggunakan jalan alternative itu.
“Hahaha. Sudah lah kawan,, kamu tidak usah pura-pura mau ijin ke pengurus, kami sudah tau kamu akan mengambil jalan alternative itu”. Abridin berkata dengan nada sinis kepada Mukhlis. Sementara Musa, Sholeh dan Salman tidak berkomentar apa-apa, mereka bertiga sepertinya mempunyai rencana lain, renacana yang tidak ada di otak Mukhlis dan Abridin.
“Setelah shalat Jumat ketua pengurus Organisasi membacakan Kashful Hudur . Seluruh santri dan termasuk aku mendengarkan pembacaan daftar nama-nama misterius yang menjadi incaran detective keamanan Tanah Rabbani. Dan dalam peraturan yang telah di sepakati nama-nama misterius itu akan di kenakan denda pelanggaran klasifikasi C, karena itu adalah pelanggaran yang di anggap keluar dari Motto dan Panca Jiwa tanah Rabbani. Dalam hatiku berkata Abridin dan Mukhlis itu masuk dalam incaran santri-santri misterius itu.
To be continued…