Aku dan sahabat-sahabatku, santri-santri termenung di selatan pelataran Masjid Al-Abwab Ar-Rahmah. Selepas kami membaca tilawah-tilawan suci kami. Kami menatap rumput hijau yang tumbuh subur di lapangan sepak bola itu basah. Basah oleh siraman kesejukan embun yang telah susah payah berjuang sekuat tenaga untuk tetap mendarat dengan selamat sebelum sang Surya mengahantam bumi.
Di depan kamar-kamar santri, di harom putri, di depan rumah Pimpinan, di halaman rumah Ustad-ustad, di atap genteng masjid, Gedung Putih, Gedung Hawarizmi, Roja, sampai dengan genteng bangunan berbintang Tiga (Guest House) itu, tidak luput dari siraman berkahnya embun di pagi yang sejuk itu.
Namun kadang-kadang embun itu enggan untuk datang. Mungkin karena kami para penghuni Tanah Rabbani terkadang lupa, Silap untuk mengundangnya dengan Zikir , Tahlil, Tahmid dan Takbir kami. Atau mungkin karena embun itu tidak mau menghampiri rumput-rumput hijau di lapangan sepak bola kami, karena tidak mau di injak oleh kaki-kaki Kerbau dan kaki-kaki Sapi. Kerbau dan Sapi itu bterkadang berjalan di atas rumput yang Hijau itu tanpa belas kasihan sedikitpun. Sehingga embun itu merasa di dzalimi dan di benci.
Akan tetapi sebagai penghuni Tanah Rabbani. Kami selalu menanti dan menungggu sang Embun itu datang di setiap harinya. Kami senang ketika kami berjalan di ujung rumput yang basah itu, kami bisa melihat embun itu bergelantungan. Atau ketika kami harus berdiri di lapangan hijau, karena tidak bisa menghafal Mufrodat , mungkin juga ketika kami tidak bisa membuat kalimat dalam bahasa Arab dan Inggris. Embun itulah yang tersenyum dan kadang tertawa puas melihat santri-santri berdiri seraya berkata: “Wahai para santri Rabbani!! Kalian jangan malas! kalian harus Semangat! Kalian jangan menyerah!”. Sangat mengiang di telinga pesan sang embun itu.
Suasana di pagi hari itu sangat sejuk di pandang mata dan merdu di dendangan telinga. “Kenapa embun itu tidak turun di siang hari ya, biar kita tidak kepanasan?! Tiba-tiba kata itu keluar dari lisan Mukhlis, santri yang berasal dari Kelanir. Salah satu desa yang medan tempuhnya sedikit extrim untuk di taklukkan. “Kalau embun itu turunnya di siang hari, maka uap yang akan membentuk cairan halus itu akan hancur lebur di hantam oleh Raja Tatasurya”. Abridin tiba-tiba menjawab pertanyaan Mukhlis dengan logika yang cerdas. Mukhlis tiba-tiba memandang wajah Abridin dengan serius, seolah-olah jawaban dari temannya itu merepresentasi perkataan dari sang jenius Albert Einstein sang Ilmuan Fisika dan penemu teori Relativitas itu..
To Be Continued.