“Santri-santriku. Kalian adalah calon ulama-ulama yang dicetak menjadi Pemimpin, Cendekiawan dan Pengusaha Muslim yang akan membela kepentingan dan perjuanagan Islam. Kalian semua anak-anakku, adalah orang-orang pilihan Allah untuk menuntut Ilmu di Tanah Rabbani ini. Saya ingatkan kepada kalian bahwa jangan seperti Kera Makan Manggis. Siapa yang pernah melihat Manggis? Atau siapa yang Pernah memakan Manggis? Ayo, angkat tangan! Dengan senyuman khas Kiayi Ilham bertanya kepada santri-santriah. Gemuruh riuh bersahut, tak terkecuali aku, Mukhlis, Abridin dan teman-teman sekelas kami. Semuanya bersahut riuhan namun aku heran, tidak ada satupun dari ratusan santri mengacungkan tangan mereka ke atas. Aku bergumam berarti santri-santriah Rabbani tidak pernah memakan Manggis.? Ini artinya kami semua kalah dengan kera-kera yang beruntung memakan manggis itu.
“Kera, kalau makan Manggis maka ia akan menggigit kulit Manggis itu dan akan langsung membuangnya. Ia menganggap bahwa Manggis itu pahit, tidak enak. Padahal di dalamnya ada buahnya yang sangat manis dan nikmat. Maka santri-santriku, kalian ketika belajar di Tanah Rabbani ini jangan seperti Kera Makan Manggis. Baru masuk sehari, ditinggalin orang tua. Mau pulang! Masuk mahkamah bahasa. Mau kabur! Makannya sama kerupuk, tempe, teri, terong. Nangis! Diberi hukuman oleh kakak Mudabbirnya. Tidak betah! Bajunya hilang di jemuran. Nangis! Sandalnya hilang di Masjid. Nangis! Apa lagi.. Kiayi Ilham melempar pertanyaan kepada santri-santriah, akan tetapi semua santri terlihat tersenyum dan malu-malu untuk menyebutkan masalah mereka. Karena apa yang disampaikan oleh Kiayi Ilham benar-benar mereka alami dan rasakan dalam kehidupan di Tanah Rabbani.
“Semua disiplin, hukuman, belajar, makan, mandi, bahkan hidup di Tanah Rabbani ini memang pahit. Namun ketika kalian semua kuat melaluinya dan menghadapinya, maka setelah itu kalian akan merasakan manisnya menuntut Ilmu di Tanah Rabbani ini.” Santri-santriah terlihat menganggukkan kepala masing-masing. Suasana hening dan penuh khusu’ di pertemuan yang penting itu, semua mata tertuju kepada Kiayi Ilham. Ia duduk dengan sorban putih menutup bahu dan pundak beliau, lengkap dengan kopiah hitam dengan wajah bersahaja dan kumis tipis beliau yang khas.
Sekilas kalau melihat Kiayi Ilham Hamid, maka akan terbayang betapa paras beliau seperti Sang Ulama terkenal di seantero Indonesia. Ya. Dialah Buya HAMKA atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Seorang Ulama yang terkenal dengan buku tafsir Fenomenal beliau yaitu tafsir “Al-Azhar”. Sebuah karya yang beliau tulis ketika di dalam penjara pada zaman rezim Presiden Seokarno. Begitulah kira-kira paras dan semangat beliau saat memberikan ceramah dan nasehat baik itu untuk santri-santri beliau dan dihadapan masyarakat umum.
“Sebelum saya mengakhiri nasehat saya pada pagi menjelang sianga ini, sekali lagi saya ingin mengingatkan kepada kalian semua anak-anakku. Apa yang kalian lakukan di Tanah Rabbani ini adalah langkah Jihad dalam menuntut Ilmu, yang nilainya sama dengan Jihad dimedan perang. Kalau kalian meninggal di tanah Rabbani ini, maka kalian adalah syuhada/syahid di jalan Allah layaknya para pejuang di medan perang.” Dengan tenang Kiayi Ilham berbicara di depan kami dan para Ustadz yang hadir pada pertemuan itu. Ya, pertemuan itu adalah kuliah umum tentang cara hidup di Tanah Rabbani.
Waktu menunjukkan tepat pukul sebelas menjelang siang. Setelah kuliah selesai para santri-santriah bubar melangkah menuju ke kamar masing-masing. Aku berdiri di sebelah selatan gedung Baitus Syakur. Yaitu gedung yang baru saja menjadi tempat perkumpulan kami. Gedung yang ber-arsitek elegan namun sebenarnya sentuhan dari komponen jejak budaya tradisional Sumbawa. Gedung ini ber-atapkan dua tingkat bangunan, namun sebenarnya hanya satu lantai. Aku dulu pernah tertipu oleh sihir bangunan ini. Aku mengira bangunan ini memiliki dua lantai, karena arsiteknya yang indah dan nampak dari luar Rabbani, gadunng ini sangat megah dan perkasa. Tapi ketika aku masuk menjadi santri di Tanah Rabbani, aku baru sadar bahwa gedung itu hanya imitasi bangunan elite yang sempurna. Dan benar-benar hanya memiliki satu lantai.
“Ahh.. Gumamku saat itu.. Ini yaa gedung yang terlihat perkasa dari luar itu Rabbani itu?, boleh juga imitasinya hampir persis sama dengan yang Original” Aku tersenyum sendiri ketika mengingat pertama kali aku melihat gedung itu tepat di depan mataku.
Sejurus kemudian, setelah perkumpulan aku berdiri menunggu kedatangan Mukhlis dan Abridin. Karena sebelumnya kami sudah berjanji setelah perkumpulan itu, kami akan mendatangi Waliul Fashal untuk menanyakan beberapa materi pelajaran Hadist, Tafsir dan Bahasa Arab. Setelah beberapa menit aku melihat Mukhlis dan Abridin datang menghampiriku. Kami pun sepakat berjalan menuju ke rumah waliul Fashal untuk konsultasi dan bertanya tentang mata pelajaran di kelas.
“Apa yang di sampaikan Kiayi Ilham Hamid tadi memang benar. Selama ini aku terlalu cengeng dan selalu memprotes beberapa hal terutama masalah lauk di dapur. Aku membayangkan kalau seandainya aku tidak sabar, maka dihari pertama aku masuk Tanah Rabbani ini pasti aku akan Pulang alias Kabur.” Mukhlis memulai percakapan kami saat munuju rumah waliul Fashal. Dengan expresi muka dan bibir tersenyum ia mengedipkan matanya kepada Abridin.
“Aku tau maksud kamu Lis, kau mencoba mengolok-olok aku kan. Karena kemarin aku duduk sendiri di belakang kelas memikirkan orangtuaku.” Abridin sepertinya menangkap sindiran expressi sahabatnya itu. Ia berlari mengejar Mukhlis sambil mengangkat tangan dan kakinya ingin memukul Mukhlis, namun sejurus kemudian ternyata kaki Mukhlis sudah terlebih dulu mnginjak dua tumpukan kotoran kerbau yang tepat menacap di kakinya. Abridin berhenti mengejar, ia tertawa terpingkal-pingkal melihat Mukhlis berjibaku dengan kotoran kerbau yang masih basah dan hangat itu. Akupun tidak dapat menahan mulutku untuk tertawa lepas. Aku menatap Mukhlis dengan wajah sisnisnya, ia hendak mengejar aku dan Abridin. Namun sebelumnya kami berdua lari terpingkal-pingkal…
Hari yang indah dengan kesan dan jenaka..
Tobe Countinued..