Majalah National Geographic Indonesia edisi 10 tahun (2015) pernah menampilkan sebuah ungkapan sarkastik pada sampul depannya. “Maaf. Tidak ada gambar yang indah untuk perubahan iklim. Mampukah kita bertahan?” Benar saja, tidak ada representasi visual yang dapat sepenuhnya menyampaikan kompleksitas dan seriusnya masalah perubahan iklim yang sedang kita hadapi saat ini.
Di Indonesia, fenomena perubahan iklim telah memicu terjadinya berbagai bencana alam1. Misalnya sepanjang tahun 2023 terjadi sekitar 4.938 peristiwa yang terdiri dari bencana kebakaran hutan dan lahan sebanyak 1.802 peristiwa, 1.168 peristiwa banjir, serta cuaca ekstrem 1.155 peristiwa. Berbagai bencana tersebut mengakibatkan sedikitnya 265 orang meninggal, 33 orang dinyatakan hilang, dan 5.783 orang mengalami luka-luka. Selain itu, total ada sekitar 8,85 juta jiwa yang harus mengungsi karena tempat tinggalnya rusak (Budianto, 2024).
Salah satu bencana yang paling dirasakan dampaknya adalah cuaca panas ekstrem di sejumlah kota di Indonesia pada September 2023. Laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu harian bahkan mencapai 38 derajat celsius (Budianto, 2024). Dampaknya tidak hanya cuaca terasa lebih panas, tetapi juga berdampak pada tubuh yang lebih cepat lelah dan dehidrasi hingga gagal panen (Litbang Kompas, 2023).2
Ironi ini menegaskan pentingnya kesadaran kita akan urgensi dampak perubahan iklim. Kesadaran yang dimaksud bukan sekadar observasi statistik dan prediksi ilmiah, melainkan juga perasaan langsung terhadap dampaknya pada kehidupan sehari-hari.
Peran Manusia dalam Perubahan Iklim
Pada dasarnya, perubahan iklim adalah fenomena alam yang terjadi secara alami. Namun, apa yang membuat situasi ini menjadi ironis adalah bagaimana aktivitas manusia berkontribusi secara signifikan terhadap percepatan dan intensitas perubahan ini. Parahnya lagi, dampak dari perubahan iklim tidak selalu merata. Negara-negara berkembang dan masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan ini seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan.
Kita perlu jujur bahwa aktivitas manusia sejak revolusi industri sekitar abad ke-18 telah menjadi katalis utama perubahan iklim menuju fase kritis seperti saat ini. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, gas, dan minyak melepaskan banyak emisi ke udara sehingga menyebabkan polusi udara. Hasilnya adalah peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca yang ekstrem, dan pencairan es di kutub yang mengancam ekosistem dan komunitas manusia di seluruh dunia.
Kegiatan industri, pertanian intensif, dan deforestasi juga turut berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Hutan-hutan yang berperan penting dalam menyerap karbondioksida (CO2) terus menerus dibabat untuk keperluan pertanian, pemukiman, serta kegiatan industri lainnya. Hilangnya hutan-hutan ini tidak hanya mengurangi kapasitas alam untuk menyerap CO2 dan menciptakan O2 tetapi juga merusak ekosistem serta habitat berbagai spesies yang ada di dalamnya.
Selain itu, pola konsumsi yang berlebihan dan penggunaan sumber daya alam secara tidak terkendali ikut meningkatkan tekanan terhadap lingkungan. Akibatnya akhir-akhir ini kita dapat merasakan sendiri betapa susahnya hidup dalam pola cuaca ekstrem, angin kencang, banjir, dan kekeringan. Di beberapa tempat bahkan terjadi gagal panen, penyakit menular, hingga kerugian jiwa.
Kenyataan ini memperkuat hipotesis yang pernah disampaikan oleh Michael S. Northcott dalam bukunya yang berjudul ‘God and Gaia: Science, Religion, and Ethics on a Living Planet’. Northcott menyatakan bahwa pandangan umum manusia terhadap Bumi sebagai sebuah entitas hidup yang terabaikan merupakan akar utama dari segala persoalan lingkungan hidup (Northcott, 2022).
Kebanyakan manusia cenderung memandang Bumi sebagai objek hidup yang dapat dieksploitasi sesuai kebutuhan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup makhluk lainnya (Lovelock, 1982; Northcott, 2022).
Kita perlu sadar bahwa saat ini keseimbangan kehidupan di Bumi sedang terancam. Anomali cuaca, suhu bumi yang memanas, musim yang tak menentu, kekeringan, banjir, peningkatan permukaan air laut, hingga kelangkaan bahan pangan merupakan argumen valid dari iklim yang tengah bermasalah. Sungguh, tidak ada kata yang cukup indah untuk menggambarkan perubahan iklim. Mampukah kita bertahan?
Rekomendasi
Dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata dan merugikan, diperlukan kesadaran dan serangkaian tindakan konkret serta berkelanjutan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan diuraikan beberapa rekomendasi yang dapat dikerjakan sebagai upaya mengatasi tantangan perubahan iklim.
- Siklus Hidup Barang: Mengadopsi praktik membeli barang yang awet dan ramah lingkungan, serta memperbaiki barang yang rusak daripada membeli yang baru. Langkah ini tidak hanya bermanfaat bagi penghematan biaya jangka panjang tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan dengan mengurangi jejak karbon dan limbah.
- Pengurangan Jejak Karbon Pribadi: Pengurangan jejak karbon pribadi, seperti menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki dapat bermanfaat dalam upaya mengurangi polusi udara dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Langkah-langkah ini tidak hanya mengurangi emisi CO2 tetapi juga membantu mengurangi pencemaran udara yang berdampak langsung pada kesehatan manusia dan lingkungan.
- Pola Makan Berkelanjutan: Pola makan berkelanjutan melibatkan memperbanyak konsumsi makanan nabati, mengurangi konsumsi daging, dan mendukung pertanian organik atau lokal. Misalnya, memilih untuk mengonsumsi lebih banyak sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan kacang-kacangan akan mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan dari produksi daging.
- Edukasi diri Sendiri: Kita dapat mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang masalah perubahan iklim melalui bacaan, diskusi, atau menghadiri kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti pameran, lokakarya, atau kegiatan bersih-bersih. Selain itu, kita juga perlu belajar langsung dari para ahli dan berinteraksi dengan komunitas yang peduli akan lingkungan. Dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, kita dapat mengambil tindakan yang lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari serta menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Kesimpulan.
Siklus hidup barang, pengurangan jejak karbon pribadi, pola makan berkelanjutan, dan edukasi serta kesadaran lingkungan adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh individu dalam menjaga keberlanjutan bumi. Dengan mengadopsi praktik-praktik ini, kita tidak hanya memperbaiki kualitas hidup kita sendiri tetapi juga memastikan bahwa sumber daya alam yang ada dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Pola hidup demikian ketika dilakukan secara kolektif memiliki potensi besar untuk menghasilkan perubahan yang signifikan dalam upaya melawan dampak perubahan iklim.
- Secara sederhana perubahan iklim merujuk pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Perubahan iklim dapat menjadi penyebab langsung atau penyumbang dalam terjadinya bencana alam seperti banjir, kekeringan, atau badai tropis. Pemanasan global dapat meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem seperti topan atau hujan deras yang pada gilirannya dapat menyebabkan banjir dan longsor.
- Hasil analisis Litbang Kompas pada Oktober 2023 menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di Indonesia.
Daftar Pustaka
Budianto, Y. (2024). Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim. KOMPAS. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/10/publik-makin-merasakan-dampak-perubahan-iklim
Litbang Kompas. (2023). Faktor Iklim Tekan Produksi Padi. KOMPAS. https://www.kompas.id/baca/riset/2023/10/12/faktor-iklim-tekan-produksi-padi
Lovelock, J. (1982). Gaia: A New Look at Life on Earth. Oxford University Press.
Northcott, M. S. (2022). God and Gaia: Science, Religion and Ethics on a Living Planet (1st Editio). Routledge. https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9781003110750
Tulisan ini merupakan karya pemenang juara 1 (satu) dalam Ajang Kompetisi Naskah Ilmiah Anniversary Batuter.com.
Penulis: Yohanes Candra Sekar Bayu Putra Amuna