Opini

Kearifan Lokal (Local Wisdom) Taliwang, Quo-Vadis? Bagian Tiga. Selesai

Berapan Kebo’ (Karapan Kerbau)

Jika di Madura ada kerapan sapi, maka kearifan lokal berapan kebo’ atau karapan kerbau dapat ditemukan di pulau Sumbawa, khususnya di Taliwang Sumbawa Barat. Berapan Kebo’ kerap kali dilaksanakan pra-musim tanam padi tiba serta menyambut musiam hujan datang. Pelaksanaan kegiatan ini membutuhkan partisipasi masyarakat dengan bekerjasama dengan panitia acara.

Pada awalnya, kearifan lokal berapan kebo’ hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya kerbau pacu saja, namun jika ada yang mau menonton maka tidak dilarang selama mematuhi peraturan yang telah disepakati. Sebelum terbentuknya Kabupaten Sumbawa Barat, kegiatan ini telah dilangsungkan dengan melibatkan semua peserta dengan rembuk musyawarah membentuk kepanitiaan, menentukan lokasi, tanggal kegiatan, hadiah bagi juara serta waktu pelaksanaanya.

Kearifan lokal karapan kerbau awalnya tidak banyak menarik atensi masyarakat, sebab hanya melibatkan masyarakat yang memiliki kerbau pacu saja, sedangkan masyarakat lokal yang mempunayi kerbau pacu terbilang sedikit. Dahulu orang yang mempunyai kerbau pacu dianggap orang berada atau kaya. Sebab, untuk membeli sepasang kerbau pacuan dibutuhkan puluhan juta rupiah.

Tentunya, hal ini menjadi pertimbangan berat masyarakat lokal untuk memiliki kerbau pacuan. Hal unik dari kearifan lokal karapan kerbau adalah, setiap kerbau pacu mempunyai julukan nama tersendiri. Contohnya; Bulan Bintang, Tukar Poto, Intan Bulaeng, Roda Terbang, Buen Resong, Buraq, dan masih banyak lagi nama-nama unik kerbau pacuan ternama lainnya.

Melihat kearifan lokal karapan kerbau ini memiliki prospek cemerlang, akhirnya pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat merangkul dan mengajak segenap masyarakat untuk musyawarah bersama dan memutuskan kearifan lokal tersebut akan dilakukan setiap tahunnnya dan menunjuk delapan Kecamatan di Babupaten Sumbawa Barat sebagai panitia pelaksana.

Bahkan, kearifan lokal kerapan kerbau ini menarik peminat masyarakat dengan hadiahnya yang fantastis. Tidak tanggung-tanggung yang mendapat juara umum akan dihadiahkan Umroh oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Dan kegiatan ini diusulkan menjadi pentas kearifan lokal dalam rangka menyambut hari besar, seperti peringatan 17 Agustus 1945 tepatnya hari kemerdekaan Indonesia, ulang tahun Kabupaten Sumbawa Barat dan kegiatan besar lainnya.

Jika sebelumnya kearifan lokal karapan kerbau ini diperuntukkan bagi mereka memiliki kerbau di sekitar Kabupaten Sumbawa Barat saja, setelah pemerintah daerah mempromosikan dengan cara yang lebih modern, seperti membuat video promosi dengan iklan serta menyebarnya di internet, koran, baliho, spanduk dan sebaginya. Kearaifan lokal kerapan kerbau yang dulu dipandang kumuh dan primitif menjadi lebih bernilai dan mengundang daya pikat tersendiri bagi siapapun yang melihat, membaca dan menyaksiakan iklannya di channel youtube atau internet.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, pemerinatah Kabupaten Sumbawa Barat menghadiahkan Umroh ke tanah suci Mekkah bagi peserta yang juara umum. Adapun untuk hadiah lainnya berupa uang pembianaan, sepeda motor, televisi, kulkas, kipas angin, kambing, kasur, seledang batik, serta hadiah lainnya diperhelatan kearifan lokal tersebut. Kearifan lokal berapan kobo’ (kerapan kerbau) yang semulanya terkesan milik lokal menjadi ajang kearifan global tanpa harus menghilangkan nilai-nilai tradisional yang sakral.


Nganyang (berburu)

Nganyang dalam bahasa daerah Taliwang artinya berburu. Kearifan lokal ini adalah kegiatan individu yang masih dipelihara hingga sekarang. Kearifan lokal nganyang terbagi dalam dua jenis, pertama nganyang mayung (berburu rusa). Kedua, bau bai (menangkap babi). Kearifan lokal ini nganyang mayung melibatkan anjing yang dilatih secara khusus untuk berburu serta berbekal sebilah buja (tombak). Kurang lebih ada 5-10 anjing yang dibawa oleh pemiliknya untuk berburu ke hutan liar. Kearifan lokal ini dilakukan hanya oleh individu tidak banyak melibatkan orang lain, kecuali setelah ada kesepakatan sebelumnya diantara para pemburu tersebut.

Umumnya kearifan lokal nganyang dilakukan di hutan yang terkenal masih banyak dihuni oleh kawana rusa liar yang masih bertahan hidup di gunung dan hutan. Kearifan lokal nganyang mayung dilakukan sekitar pagi hari menjelang siang, pemburu mulai bergerak menyusuri objek hutan yang dituju. Hingga menjelang magrib pemburu itu kembali dengan membawa daging rusa yang telah dipotong. Beberapa ada yang dijual kepada penduduk atau warga sekitar dan sisanya untuk disantap bersama keluarga.

Adapun kearifan lokal bau bai dilakukan pada malam hari menjelang dan paska bulan purnama, agar tidak banyak menggunakan cahaya senter. Hal ini ditujukan untuk membantu dan memburu babi hutan yang selalu memakan tanaman di kebun petani.

Kearifan lokal bau bai, hanya dengan anjing liar dan hanya beberapa ekor anjing khusus sebagai pemburu yang berpengalaman. Namun dalam kurun waktu beberapa tahun ini, kearifan lokal bau bai tidak hanya dilakukan pada malam hari, bahkan dilakukan pada siang hari. Setelah babi hutan tersebut di tangkap kemudian dibakar dagingnya untuk santapan anjing, tidak untuk dikonsumsi, sebab kebanyakan warga Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat adalah Muslim.

Walau kearifan lokal mulai tergerus oleha pengaruh global, di mana illegal logging atau penebangan hutan secara ilegal semakin marak terjadi. Akibatnya, rusa buruan yang dulunya banyak sebagai penghuni hutan tersebut mulai berpindah-pindah tempat untuk dapat bertahan hidup, mengingat mereka sangat terganggu oleh suara chainsaw (sinsaw) yang setiap hari tanpa sadar telah mengusir dan mengusik habitat mereka.

Begitupun dengan kearifan lokal bau bai yang hanya dilakukan jika musim tanam tiba. Sekarang babi hutan pun jarang ditemukan, entah karena habitat mereka mulai punah sehingga petani tidak lagi terlalu mengadakan kegiatan bau bai tersebut.

Kearifan lokal nganyang dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini mulai bergeser ke arah yang lebih kontemporer, yakni penggunaan senjata sudah tidak lagi menggunakan tombak dan anjing pemburu, tren yang sedang ramai sekarang adalah dengan menggunakan senjata angin laras panjang, dan menggunakan mobil sejenis ranger yang dipakai untuk menuju hutan atau lereng-lereng gunung. Tantunya hal ini sangat memudahkan pemburu, sebab hanya dengan menarik pelatuk dari jarak beberapa meter saja binatang buruan mudah dilumpukan.

Berempuk (berkelahi tangan kosong)

Berempuk dalam bahasa Indonesianya berkelahi dengan tangan kosong, adalah seni kearifan lokal di Kabupaten Sumbawa Barat yang masih dipertahankan khususnya di Ibu Kota Kabupaten Sumbawa Barat yaitu Kota Taliwang. dalam bahasa Taliwang berempuk disebut dengan berampok, para jawara ternama setiap desa beradu kuat dalam pertandingan tradisional tersebut.

Kearifan lokal berempuk ini mempunyai aturan sederhana, yaitu dua orang peserta laki-laki yang siap baku hantam maju ke tengan lingkaran yang dikelilingi oleh penonton. Tidak ada pendaftaran untuk mengikuti berempuk, sebab semua penonton yang bernyali adalah sebagai peserta. Setiap calon petarung harus mengepal jerami (batang padi kering) di tangannya. Setelah mendapat aba-aba dari tau basengela (juri) yang berjumlah tiga sampai delapan orang juri, barulah mereka akan saling baku hantam.

Kaki tidak boleh dipakai untuk menendang lawan. Jika ada yang jatuh atau keluar dari lingkaran garis, secara otomatis ia dihitung kalah dalam pertandingan, sementara yang menang harus menghadapi penantang lain yang telah siap menunggu. Sebelum bertanding peserta diminta untuk ngumang (berbalas pantun) dalam bahasa daerah, fungsinya untuk menggetarkan mental lawan dan memebakar semangat berbaku hantam

Kearifan lokal berempuk ini biasanya dilakukan setelah panen padi, sebagai hiburan dan rehat dari kelelahan memanen padi. Semua dilakukan dengan penuh kegembiraan tanpa bermaksud saling mengejek atau belas dendam sesama peserta. Tujuan dari kearifan lokal berempuk menurut hisrosisnya adalah seleksi para prajurit tangguh yang akan dijadikan garda terdepan dalam melindungi keamanan Kerajaan Sumbawa.

Penutup

Apabila melihat ragam local wisdom atau kearifan lokal yang ada di tanah Taliwang. Sumbawa Barat, merupakan sebuah keragaman yang inheren (saling melengkapi) dengan kebudayaan global, tidak sebaliknya menegasikan perkembangan kemajuan arus teknologi. Kearifan lokal sejatinya menjadi fondasi tegaknnya budaya dalam kehidupan masyarakat. Budaya masyarakat adalah pantulan kemajuan sebuah bangsa, serta cermin kemajuan sebuah peradaban. Ragam macam kearifan lokal di tanah Sumbawa Barat telah bertahan dalam kurun waktu yang lama dan harus di rawat keragaman eksistensinya.

Sehingga, masyarakat tidak cemas akan kemunculan kearifan global yang sejatinya bukan untuk menandingi atau menggerusi tapi sebaliknya saling melengkapi. Karenanya, teori hibriditas kebuadyaan lokal dan global merupakan upaya positif untuk mengintegrasikan dua kebuadayaan baik kearifan lokal maupun kearifan global.

Setelah mengulas dan menganalisah lebih dalam tentang eksistensi ragam kearifan lokal dan kearifan global di Kabupaten Sumbawa Barat, dan quo-vadis yang merupakan sebuah pertanyaan pada awal hopotesa, menandaskan kemana kearifan lokal di Sumbawa Barat dihadapkan. Kemudian kepada para pemangku kebudayaan agar semakin maningkatkan promosi sumber daya manusia (SDM) kearifan lokal bukan hanya pada tingkat lokal, regional namun juga pada tingkat nasional dan internasional.

Daftar Pustaka

Firmansyah, Hidayat. 2018. Makna Penanda Dalam Kesenian Masyarakat Sumbawa di Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat, Jurnal Skripsi, Universitas Mataram (UNRAM).
Geert, Clifford. 1983. Knowledge: Further Essays in Interperetive Anthropology. United Stated of America: Basic Books.
Makmur, Ade. dkk. 2011. Kearifan Lokal di Tengah Moderbisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Periwisata Republik Indoensia.
Martinez, Jose L. ed. 2019. Ethnobotany: Local Knowledge and Traditions. London: CRC Press.
Noor, Redyanto. Kearifan Lokal dalam Hibriditas Sastra Indonesia Modern. Jurnal NUSA. Vol. 15 No. 1 Februari 2020.
Shilling, Melissa K. Nelson and Dan. 2018. Traditional Ecological Knowledge: Learning from Indigenous Practices for Environmental Sustainability, United Kingdom: Cambridge University Press.
Sukari, dkk, 2016. Kearifan Lokal dalam Membangun Ketahanan Pangan Petani Desa Lencoh, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Buadaya (BPNB).
Wacana, Lalu. 1983. Nyale di Lombok. Proyek Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.


Sumber dari Internet


https://sumbawabaratkab.go.id/puluhan-jawara-adu-kuat-di-laga-berempuk/ Diakses 18 Juli 2023. Pukul 1:26)
https://id.wikipedia.org/wiki/Quo_vadis. Diakses 18 Juli 2023. Pukul 1:52
https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Sumbawa. Diakses 20 Juli 2023. Pukul 13:18

Related posts

Bahaya Laten Narkoba

Sofian Hadi

Berbagi Senyum Menebar Kagum

Sofian Hadi

Aktualisasi Nilai Sosial Islam Untuk Keutuhan Bangsa

Sofian Hadi

Mengenang Tragedi dan Tirani Muslim Rohingya

Sofian Hadi

Menyoal Kebijakan ‘Asing’ di Bumi Pertiwi

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!