Pendidikan

PESANTREN, KOKOHKAN NILAI DAN FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM

Dunia pesantren tercoreng, demikian headline salah satu surat kabar nasional. Hal ini bermula ketika salah satu pesantren berlokasi di Indramayu diindikasi menyimpang dan nilai dan falsafah Islam. Khususnya falsafah dan nilai pesantren. Wajah pesantren suram pasca ditemukan beberapa praktik penyimpangan di pesantren ini. Ponpes Al-Zaitun begitulah namanya.

Pada dasarnya, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam independen, didirikan sebagai antitesa pendidikan kolonial dengan visi dan orientasi pekerja. Pendidikan kolonial sepenuhnya “tidak” untuk mencerdaskan siswa secara moral dan spiritual sebaliknya, menciptakan sentimen-sentimen dan ego yang mem-block nilai religiusitas.

Sebenarnya kekuatan dan kejayaan bangsa ini ada pada girah Islam dan Pesantren, sebagai sebuah fakta yang tidak bisa disangkal. Melihat berbagai macam upaya pengaburan terhadap hal itu maka, masyarakat terbawa dan terjebak dalam pembodohan sejarah yang terus menerus digencarkan oleh para pelaku propaganda.

Mereka semakin hari semakin berani mempengaruhi para generasi muda bangsa ini dengan slogan-slogan anti ke-Bhinekaan dan toleransi, yang seolah-olah menganggap Islam hanya sebagai agama yang tidak mengerti tentang toleransi dan ke-Bhinekaan. Oleh karenanya, kontribusi atau peran pesantren terbagi dalam dua potensi besar seperti yang di sampikan oleh A. Sahal Mahfudz.[1] Pertama Potensi pendidikan, kedua potensi pengembangan masyarakat.

Potensi dalam Bidang Pendidikan

Upaya pesantren dalam memajukan dan mencerdarkan kehidupan bangsa sudak tidak bisa di pungkiri.  Ribuan pesantren dan lembaga pendidikan berasrama telah membantu bangsa ini kokoh dalam menjaga nilai dan falsafahnya. Para Kiayi yang menjadi sentral figure selalu menjadi penengah setiap masalah ummat dan Bangsa.

Apa yang dilakukan oleh para kiayai adalah dengan mendidik, mengasuh, mengayomi anak asuhnya untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dimasa depan. Melalui pendidikan di pesantren, Kiayi menghadirkan masalah dalam masyarakat dan masalah bangsa ke dalam dunia pesantrean. Kemudian mereka secara bersama-sama menganalisah, memahami, dan mencari pemecahan masalah hingga yang paling pokok. Intinya jelas dengan pedoman keilmuan dan prinsip ajaran Islam.[2]     

Jika hal ini terus dilakukan dalam upaya menjaga kedaulatan bangsa dan negara, maka hampir dipastikan beberapa tahun yang akan datang nilai-nilai kebangsaan akan dijunjung tinggi. Tidak akan ada lagi pelecehan, penistaan atas nama ras, suku, adat dan budaya.

Semuanya, akan hidup tanpa harus saling menggunjing satu sama lain. Nilai toleransi dijunjung. Ukhuwah dan persaudaraan diikat dalam slogan bhineka Tunggal Ika. Berbeda namun tetap satu jua. Inilah buah dari pendidikan yang ditanam dalam jiwa penghuni pesantren.

Potensi dalam Pengembangan Masyarakat

Pesantren dilahirkan dalam rangka memberi respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui trnasfoemasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf dan nahy munkar) kehadiran pesantren dapat diebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) yang berupaya melakukan pembebasan (liberation) kepada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, pemiskinan ekonomi, pelecehan, penistaan dan lain sebagainya.

Pada intinya, pesantren dalam tinjauan masyarakat menjadi suatu rujukan dalam segala hal. Entah itu rujukan nilai, kebajikan, kesederhanaan, kemandirian, keikhlasan, rujukan perjuangan dan sebagainya. Tentaunya dengan hadirnya pesantren dalam lingkungan masyarakat adalah respon positif untuk memncegah segala macam penindasan dan penistaan. Dengan demikian, sumbangsih pesantrean sangat jelas dalam kontek menjaga kedaulatan bangsa dan nilai-nilai di dalamnya.

Jika kedua potensi dalam bidang pendidikan dan potensi dalam pengembangan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka kita sangat optimis semua masalah-masalah kebangsaan dan masalah yang lain mampu untuk diselesaikan. Walaupun hal tersebut membutuhkan waktu yang relatif panjang dan bersifat on going process.

Tidak ada dalam kamus ke-Bhinekaan bangsa kita, apa yang disebut sebagai perpecahan, anti-toleransi, penistaan, penindasan, pelecehan dan sebagainya. Semua bentuk intoleransi tersebut telah dikubur dalam-dalam bersama dengan waktu yang terus memacu kita untuk tetap optimis menjadi bangsa yang kuat dan bangsa yang bermartabat. 

Oleh karena itu, mestinya diperlukan upaya-upaya cerdas untuk membingkai dan merekonstruksi tatanan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini perlu disinergikan dengan program-program pemerintah dengan terus bekerja sama dengan pesantren demi kemajuan pendidikan dan keutuhan pemahaman masyarakat akan pentingnya keutahan bangsa yang berlandaskan Pancasila dan Bhineka tunggal ika.

Apa yang dimaksud dengan rekonstruksi disini adalah mendukung strategi pesantren untuk tetap berkembang dan maju dalam mengawal dan mematangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain pesantren perlu dibantu dan diperjuangkan secara bersama-sama. Dibantu bukan hanya dalam bentuk materi namun bisa juga dalam bentuk do’a, pemikiran atau sumbang saran demi kemajuan pesantrean. Selanjutnya, diperjuangkan disini maksudunya adalah dibela, dijaga, dirawat bersama-sama agar pesantren-pesantren dapat lebih luas memberikan sumbangsih kepada Negara dan Bangsa.

Sejenak kita kembali kepada pernyataan Samuel P. Huntington tentang Islam sebagai peradaban yang telah memberikan jasa besar terhadap masa kegelapan Barat, merupakan sebuah fakta real, bahwa Islam dan nilai-nilainya yang luhur telah mampu meciptakan sebuah peradaban besar yang mampu menjadi agama pemersatu umat beragama. Bukan hanya agama Islam itu sendiri, melainkan semua agama diluar Islam. Dalam kontek kebangsaan, Pesantren merupakan penyumbang jasa bagi utuhnya negara kesatuan republik Indonesia.

Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam mengatakan “Kalian wahai kaum muslimin lebih kami cintai dari pada Romawi meskipun agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih bisa memenuhi janji, lebih ramah, lebih bisa menahan tangan dari berbuat zalim, dan lebih baik dalam hal melindungi kami, tetapi mereka (Romawi) selalu memaksa kami.”[3]

Sejenak, setelah membaca pengakuan tokoh orientalis di atas, dapatlah menjadi sebuah fakta baru bahwa Islam itu adalah agama yang cinta damai dan cinta kedamaian. Perlu diketahui hal ini merupakan nilai dan falsafah yang di ajarkan oleh pesantren di seluruh Indonesia (kecuali pesantrean-pesantren yang bermasalah, yang mengajarkan penyimpangan kepada santri-santrinya), dan kepada masyarakat.


[1] Sa’id Aqiel Siradj et al. Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 201

[2] M. Dawam Raharjo. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985), 18

[3] Bramastiyo Dhieka Anugrah, Kriteria Pemimpin Dalam Islam, (Menyingkap Problematika Pemimpin Non-Muslim), Makalah Program Kaderisasi Ulama Agkatan X (Desember 2017), 8

Related posts

Bekal Terbaik Menyambut Sang Buah Hati

Sofian Hadi

Menjaga Ilmu

Sofian Hadi

Tiga Langkah Melatih Minat Baca Peserta Didik di Sekolah Dasar

Sofian Hadi

Perkembangan Minat Baca di Indonesia

Sofian Hadi

Pentingnya Pendidikan dalam Islam: Mencetak Generasi Berwawasan dan Berakhlak Mulia

Sofian Hadi

Konsep Ta’dib (adab) yang Diajarkan Rasulullah Saw (Bag.2)

Sofian Hadi

Leave a Comment

error: Content is protected !!