Islam mengakui adanya kebebasan dalam berpikir dan beraqidah, sekalius dalam beragama untuk menetapkan pertanggung jawaban terhadap hak pilihannya. Kebebasan berpikir dan beraqidah tidak lain hanya merupakan satu unsur saja dari kebebasan manusia yang utuh dan lengkap yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kebebasan lainnya.
Kebebasan beraqidah merupakan nikmat Islam yang besar atas manusia sejak diciptakannya hingga menerima berbagai macam ujian, seperti sistem perbudakan, paksaan dan perampasan hak dan kebebasan orang lain, yang dalam sejarah umat manusia dimana hal tersebut pernah berlaku.
Dalam sejarah Islam, realitas yang dialami oleh para Nabi dalam menunaikan tugas dakwahnya yaitu; adanya sikap menentang dan perlawanan dari kaum mereka. Islam juga sepakat dan mengakui jika Allah menghendaki untuk memberikan hidayah atau petunjuk kepada semua manusia, niscaya maksud dan kehendak tersebut terlaksana dengan sempurna.
Akan tetapi, Allah memberikan kesempatan kepada segenap manusia untuk memikul tanggung jawab dari kebebasan dan untuk itu telah disiapkan sarana-sarana untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan untuk menerima petunjuk lahir dan batin.
Sebagai contoh, hak yang diberikan Allah kepada manusia dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 260. Ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah Berfirman: Apakah kamu belum percaya? Ibrahim manjawab: Saya telah percaya, akan tetapi agar hatiku semakin tenang (mantab).
Apabila dicermati, umumnya orang-orang mengatakan bahwa pertanyaan tersebut hanya diperbolehkan dalam soal berpikir dan ilmiah, sebaliknya ada yang mengatakan tidak dibolehkan dalam permasalahan yang menyangkut agama atau keyakinan. Bahkan, ada yang mengatakan, bila ada orang yang beragama, yang menayakan soal demikian, maka orang itu akan dinilai negatif serta dianggap sebagai keberanian dan kesesatan.
Memang keyataanya, tidak dipungkiri saat ini umat Islam sedang diuji dengan orang-orang yang hendak menutup-nutupi kebenaran agama (Islam) sebagai sumber akidah yang haq (benar). Mereka menjadikan Islam sebagai agama yang termarginalkan, terpinggirkan dan terbelakang. Akibatnya, dari beberapa pernyataan orang-orang ini, Islam dipandang semakin dianggap asing dan tidak sempurna.
Umat Islam mempunyai al-Qur’an sebagai sebuah pembimbing dalam kehidupan dunia sekaligus jalan menuju kehidupan akherat. Ayat-ayat yang terkandanung di dalam al-Qur’an merupakan sajian renungan sebagai penguat keimanan dan keyakinan kaum Muslimin secara partikular dan umat manusia secara universal.
Kisah Nabi Ibrahim yang diceritakan di dalam al-Qur’an menandaskan kebebasan manusia untuk berpikir dan berakidah. Nabi Ibrahim dikaruniakan akal oleh Allah agar supaya akal dan pikirannya dipakai untuk kemurnian hati menuju Tauhid mengesakan Allah. Tidak sebaliknya, akal dan pikirannya dipakai untuk merusak keyakinan dan meragukan kebenaran Tuhan.
Allah pun tidak lantas menghukum Nabi Ibrahin atas pertanyaanya. Langitpun tidak bergemuruh mengguncang. Bumi tidak bergejolak menolak karena permohonan Ibrahim kepada Allah agar supaya keyakinan beliau dikuatkan. Sebaliknya Allah memuliakan beliau, mengangkat derajatnya menjadi sebagai Khalilullah (kekasih Allah). (Qs. An-Nisa, 4). Nabi Ibrahim pun tetap abadi menjadi Nabi yang paling percaya dan Nabi yang membenarkan ke-Esaan Tuhan. (Qs. Maryam, 41).
Serta Nabi Ibrahin tergolong sebagai pencetus Millah (agama) yang lurus serta tidak termasuk orang yang musyrik (Qs. Imran, 95). Bahkan, nabi Ibrahim oleh Allah dijadikan teladan dan sebagai orang yang patuh dan hanif kepada Allah serta beliau tidaklah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan (Qs. An Nahl, 120).
Cerita bagaimana Nabi Ibrahim mendapatkan petunjuk kepada Jalan yang haq (benar) dilatar belakangi oleh sebuah kebingungan, kebimbangan dan keraguan. Yang demikian itu menunjukkan akan kedewasaan serta kebebasan akal dan pikirannya. Selayaknya, demikian kebebasan pikiran menjadikan manusia dekat dengan Tuhan, bukan sebaliknya kebebasan pikiran menjauhkan manusia dari Tuhannya.
Sarah lebih lanjut silakan baca kitab Maqal Fil Insan Dirasah Qur’aniyah, karangan DR. ‘Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathti’. Alih bahasaAchmad Masruch Nasucha dan Ali Chasan Umar. Penerbit; Thoha Putra Semarang, 1982.
Wallahu’alam bisshawab