Pertama kali saya berkenalan dengan buku sekitar tahun 1998. Kurang lebih dua puluh tujuh tahun lalu tepatnya saya masih berstatus siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas dua. Masih terngiang saat itu di rumah sahabat dekat yang kakak perempuannya, adalah penikmat novel. Nampak deretan judul novel tersusun rapi di lemari kayu persis di samping Tv Panasonic.
Jiwa-jiwa berontak saya kemudian memaksa jemari meraih satu dari beberapa judul novel yang berderet rapi di lemari. Saya tidak ingat persis judulnya, namun di cover novel itu nampak seorang laki-laki yang berdiri di pintu mobil dan seorang perempuan berdiri di pagar rumahnya. Sepertinya, sang perempuan sedang melepas kepergian lelaki itu.
Dengan penasaran saya mulai membuka lembaran novel tersebut satu-per-satu dan mengawali bacaan dari paragraph pertama. Indah sekali diksi (pilhan kata) penulis. Sesekali saya lompat dari halaman satu ke halaman berikutnya.
Hingga pada suatu paragraph yang membuat adrenalin membaca saya agak tersentak, sebab frasa beberapa kalimat lambat-laun semakin tidak sehat dan elok, atau semacam ‘vulgar’ tidak wajar untuk dicerna. Disebabkan karena jiwa kelatahan saya, lantas menutup paksa novel itu, mengakhiri petualangan baca.
Sejenak saya terdiam, mengernyit dahi, memaksa pikiran berkontemplasi dengan bahasa yang barusan yang saya baca. Apakah memang seperti itu isi sebuah novel? Gumam saya paradoks. Diksi indah di awal, berubah tidak bersimetri, ambigu. Struktur bahasanya menyiratkan keresahan jiwa. Mendobrak kewarasan berpikir.
Intinya, menimbulkan semacam kecemasan yang menjerumuskan kepada keresahan batin. Aksara indah seperti candu yang menjebak pembaca dalam kegamangan imajinasi. Fiksi, puitis sekaligus brutal. Perselingkuhan bahasa yang arbitrer. Pendek kata, merapuhkan keimanan.
Entahlah, mungkin karena baru pertama kali mata ini terjebak dan terperangkap di dunia baca. Saya menyimpulkan bahwa membaca novel tidak sehat, apalagi diusia saya yang masih labil. Dalam bahasa lain, membaca novel itu ‘dilarang’ untuk anak-anak remaja. Sekalipun untuk orang dewasa.
Demikian sejarah singkat perkenalan saya dengan sebuah buku (novel). Interaksi pertama saya berkesan, namun akhirnya rentan. Tapi hal yang saya syukuri adalah saya harus berterima kasih kepada sahabat saya. Karena di rumahnya, rumah tempat kami sering bercengkrama, menghabiskan waktu bermain, rehat dari penat, terkadang berdiskusi tentang masa depan yang carut-marut. Dari tempat inilah saya pertama kali berinteraksi dengan dunia baca.
Singkat cerita, pasca lulus SMP kemudian melanjutkan karier pendidikan ke dunia pesantren (pondok). Di sini kemudian terjadi pembiasaan yang positif. Jiwa-jiwa berontak dalam diri saya dikekang dengan beragam aktivitas yang serba terpaksa. Dipaksa belajar, dipaksa hafalan, dipaksa baca, dipaksa bertamu ke perpustakaan, dan berbagai kegiatan yang membangun jiwa dan menjauhkan dari kegiatan yang tidak bermanfaat.
Kurang lebih seperti adagium “lebih baik dipaksa masuk syurga, daripada ikhlas masuk neraka” maknanya kurang lebih begini, untuk melakukan sebuah kebaikan itu harus dipaksa terlebih dahulu, daripada dibiarkan tidak melakukan kebaikan (ikhlas) sebaliknya menjerumuskannya ke dalam keburukan.
Singkat cerita, itulah alasan kenapa saya tidak tertarik membaca novel semacam ‘trouma’ dengan beberapa frasa yang saya abaca pada waktu itu.
Kembali kepada bahasan ‘Ayat-Ayat Cinta’ seperti jabaran pada bagian satu. Pemilik toko buku itu kemudian menegur saya persis ketika saya mau meraih novel ‘Ketika Cinta Bertasbih”. “Sudah baca novel ini mas?” sembari menunjukkan kepada saya novel ‘Ayat-ayat Cinta’. “Belum pak” jawab saya penasaran. “Mas, seharusnya baca novel ini dulu sebelum membaca novel Ketika Cinnta Bertasbih” ujarnya menyakinkan.
“Ini novel islami mas. Novel pembangun jiwa. Bagus sekali isinya. Saya jamin pasti nanti mas akan tertarik membacanya. Penulisnya Habiburrahman El-Syirazy dari Indonesia. Saya sudah baca 2 kali dan saya samapi menitikan air mata. Kisahnya indah, seperti di dunia nyata mas” gelagat pemilik toko itu meyakinkan sekali. Dan saya pun cukup terbujuk olehnya.
“Memang ada novel islami? Atau novel pembangun jiwa Pak?” Saya balik bertanya. “Ada Mas, ini novelnya Ayat-ayat Cinta. Ini Novel Islami mas. Bukan novel biasa kayak novel-novel jaman dulu. Tidak mendidik.” Kembali pemilik toko itu meyakinkan saya.
“Baiklah pak, saya beli novel Ayat-ayat Cinta, yang hardcover. Saya juga beli Ketika Cinta Bertasbih.”. Akhirnya setelah tawar menawar harga, saya membeli dan membawa pulang ke dua novel pembangun jiwa tersebut.
Kisah selanjutnya bersambung pada bagian ketiga..