Wajah-wajah kusut penuh kemelut. Membungkuk sesekali tegak-lurus. Terkadang tertatih-tatih membuang helaan. Tidak canggung tidak juga murung. Canggung adalah musuhnya. Terik dan pekik lumrah membakar kepala sekalipun punggung ringkihnya. Usia boleh saja menawan, tapi tekad tidak salah melekat mendekapnya erat.
Sedang tuhan pun mengujinya. Bukan dibenci, dihianati, apalagi disisih. Tuhan baginya adil, tidak zhalim atau lalim. Tak terkecuali takdir, semuanya telah dibagi rata. Tiadapun sikap sesal, juga menyesal semua dikembara. Hanya saja takdir bahagia porsinya tipis, setipis lembaran-lembaran kusut di kantong celana compang-campingnya.
Bagitulah hidup, harus dilawan sekalipun harus tertawan. Kemelut, prahara, pergumulan diputar dalam episode-episode manusia. Episode jika tidak dimainkan akan janggal. Terlalu indah jika hanya dikeluh dan dieluh. Berkeluh bukan tidak boleh, itu fitrah makhluk. Tuhan memberi hidup tidak menuntut serakah.
Serakah adalah musuh tuhan, musuh manusia apalagi. Demikian hikayat merekam setiap jejak-jejak purba, musnah, runtuh karena serakah. Susah didekatkan, bahagia menjauh, untung terkungkung, begitulah hukum serakah.
Kembali sosok paruh-baya itu melangkah. ia tak bergeming. Jalan-jalan padat ditapak. Keruh sorotannya pada tembok-tembok rumah-megah. Ia tak bergeming. Sesekali mengurai tong sampah di halaman rumah megah. Tampak botol-botol kaleng berserak. Tidak lantas dipungut, diendus pelan. Anyir menyengat rongga dadanya.
Tongkat besi itu terkepal kuat. Tempat pijakannya bertumpu. Sesekali menjadi kekuatan, kadang untuk meringankan lelahnya. Kini ia sadar kekuatan tidaklah abadi. Tidak pula sekuat kata-kata ujarannya. Sekedar ia menghibur diri, layaknya togkat “sakti” Nabi Musa untuk sandaran sekaligus mampu membelah lautan.
Semakin mengkerut wajahnya ditelan takdir. Namun ia tak beringsut. Kembali menyibak lebar karung dipundaknya. Setengah lagi sesak. Kaleng-keleng anyir itu dilempar berjejal. Rasa puas megitari tatapan lelahnya. Hasratnya tidak menyerah. Tak ubahnya parasit tabah mendekap inang kesabaran.
Dalam benaknya, tertancap kuat parasite tabah, demi sebuah harapan paradoks. Harapan yang dahulu pernah membesarkan jiwa mudanya. Sekarang, tidak lagi harapan itu terngiang. Sudah dikubur dalam-dalam. Satu waktu ia mencoba berkelahi dengan harapannya, ia tertebas, terkulai layaknya korban samuai.
Perlahan ia bangkit, berteriak meronta-ronta. Namun kembali tersungkur. Selepas tragedi perkelahian sengit itu, ia bersedekap, berdamai. Harapan terlalu kuat untuk ditumbangkan. Ia harus berlatih keras. Menaklukkan harapan itu pelik, jika tidak berdamai. Pesan itu yang dilupakaknya. Berdamai adalah kesatria sejati. Itulah cara membunuh musuh harapan.
Hidup adalah seni melawan kemelut. Tidak lantas pasrah. Penat, payah cenderung mematahkan kredo kehidupan. Jika mampu, bentur, langgar keringkihan-keringkihan dengan kesatria.
Buang wajah-wajah kusutmu! Pekik kesatria itu dengan tongkat yang tersedekap di dadanya.