Berbicara mengenai harta serta tujuan ‘syariah‘nya, tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan yang didalamnya. Khususnya posisi harta dalam pandangan pandang dunia Islam. Oleh karenanya worldview Islam dibutuhkan dalam rangka menjelaskan kedudukan harta tersebut. Penting untuk diketahui, bahwa harta (al-mâl) mendapat tempat istimewa privilege di dalam Islam.
Sedari kemunculannya, risâlah Islam datang dengan misi menyebarkan maslahah (kesejahteraan) bagi umat manusia. Tujuan utama risâlah adalah sebagai pedoman hidup manusia utamanya dalam menciptakan maslahah (kesejahteraan) yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam, bukan berdasarkan atas prinsip ajaran modern yang memposisikan harta sebagai ‘hak milik’ mutlah individual atau personal.
Maslahah atau yang lebih sering dikaitkan maqâshid syari’ah dapat dimaknai sebagai tujuan syariah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia secara teratur dengan memperhatikan kesejahteraan duniawi yang berlandaskan pada maslahah agama (Tahir, 2001).
Dan maqâshid merupakan dasar dari adanya syari’ah. Maqâshid sendiri meliputi empat hal pertama, peribadatan. Kedua, kebiasaan. Ketiga, muâ’malah (interaksi dengan manusia) dan keempat, hukum kriminal. Dari empat bentuk maqâshid ini dibagi menjadi ke dalam tiga tingkatan masalahah.
Pertama maslahah dharûriyah (primer), kedua maslahah hâjiyah (sekunder), ketiga maslahah tahsiniyah (tersier) atau masalahah takmiliyah. Ketiga maslahah tersebut semuanya terakumulasi dalam satu muara yaitu untuk melindungi agama ((حفظ الدين, jiwa,(حفظ النفس) akal,( حفظ العقل) keturunan,(حفظ النسل) dan hartaحفظ المال) ) (Asy-Syatibi, 1968). Mengingat pentingnya kelima maslahah tersebut hingga meletakkan agama sebagai hal yang paling diutamakan dan harta (mâl) juga termasuk di dalam penjagaannya.
Dalam kaitannya dengan harta (al-mâl) tentunya sebagai Muslim yang paham syari’ah, harus memahami sumber utama harta tersebut berasal dari al-Qur’an atau hadist yang menjadi asas primordial syar’iah tersebut, kemudian dikaji dan diverifikasi oleh para ulama ahli tafsir, fiqih dan ushul fiqh. Di dalam al-Qur’an kata al-mal dengan berbagai bentuk kata disebutkan kurang lebih 87 kali yang terbagi dalam 38 surat dan 79 ayat.
Di dalam riwayat lain kata (al-mal) disebutkan sebanyak 86 kali dalam 76 ayat dan 38 surat. Dari 86 kata mal berbentuk mufrad dengan berbagai lafal, selanjutnya 61 kali dalam bentuk isim jama’ (amwal) dan jumlah ini termasuk kata-kata yang mempunyai kesamaan makna dengan mâl, miasalnya, rizq, qintar, mata’ dan kanz (Taringan, 2012).
Pada dasarnya, dalam kaidah al-Qur’an jika penyebutan pada sebuah kata mengalami banyak pengulangan, memberikan pesan kepada kaum Muslim akan pentingnya kata yang diulang tersebut.
Hal ini menjadi penekanan terhadap kata ‘harta’ (al-mâl) yang penyebutannya selalu mengalami pengulangan. Sebagai contoh dalam surat [al-Kahfi: 46] “Harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Di dalam surat [al-Anfal: 28] “Dan ketahuailah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-;ah pahala yang besar” dan dalam surat [al-Munâfiqun: 9] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Jika melihat beberapa redaksi ayat yang dikutip dari tiga surat di atas, maka dengan jelas harta adalah tanggung jawab atau amanah yang dititipkan Allah kepada manusia. Dalam menjaga amanah dan tanggung jawab tersebut, seorang Muslim dituntut mampu menggunakan harta dengan sabaik-baiknya.
Tuntunan dalam memanfaatkan harta harus sejalan dan sesuai dengan hukum-hukum maqâshid syariah yang telah ditetapkan menurut kaidah Islam, bukan menurut tuntunan hukum kovensional.
Jika hal tersebut dilakukan sesuai dengan koridor syar’iah, maka harta tersebut akan memberikan nilai yang disebut dengan balasan kebaikan ‘pahala’. Namun jika penggunaan harta keluar dari ketentuan syari’ah Islam, maka dipastikan harta tersebut tidak akan memberikan nilai, faedah, manfaat, sebaliknya mendapat ancaman dari Allah.
Karenanya, di dalam Islam harta adalah titipan dan amanah. Tidak mutlak menjadi milik personal atau individual. Jika ada yang berpikir harta adalah hak personal, maka ini adalah bentuk pemahaman konvensional yang layaknya manusia modern seperti pemikiran barat sekular.
Sumber photo: Google.com
Wallahua’lam bish shawââb
1 comment
Bagaimana pandangan Anda tentang peran harta sebagai amanah dalam kehidupan sehari-hari? Apakah Anda pernah menghadapi dilema dalam mengelola kekayaan sesuai prinsip syariah?