Isma’il Raji al-Faruqi menempatkan tauhid sebagai pandangan dunia (worldview). Worldview sejatinya telah menjadi konsep baru dalam Islam yang secara universal mampu merangkum cara pandang manusia secara umum.
Dalam Islam, pandangan dunia digunakan bukan sekedar melihat apa yang nyata (real) di dunia saja, namun juga melihat lebih dalam (reality) dan kebenaran (truth) secara metafisis atau berdimensi akherat.[1] Tauhid dalam pengertian al-Faruqi; “Al-Tauhîd is a general view of reality, of truth, of the world, of space and time, of human history and destiny.”[2] Tauhîd merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah dan takdir manusia.
Jika melihat definisi tersebut, al-Faruqi memandang seluruh aspek mengenai realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah dan takdir terkumpul menjadi asas primordial pandangan dunia yang utuh. Artinya, visi dari pandangan dunia mencakup seluruh dimensi yang disebutkan di atas. Jika hanya relitas, dipandang tanpa memasukkan unsur kebenaran di dalamnya, maka realitas tersebut tak bernilai.
Sesuatu yang tidak bernilai tidak bisa dijadikan sebagai asas worldview (pandangan dunia). Oleh karenanya tidak semua yang nyata (real) di dunia mengandung unsur kebenaran. Sebagai perumpamaan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan tindakan-tindakan lain yang semuanya nyata (real), akan tetapi hal tersebut tidak dibenarkan. Sebab meniadakan unsur kebenaran di dalamnya. Lebih lanjut , mengenai tauhîd sebagai worldview, al-Faruqi membagi ke dalam lima prinsip; dualitas, ideasionalitas, teleologi, kapasitas dan kebolehan manusia mengolah alam serta tanggung jawab dan perhitungan.
Makna dualitas dalam pandangan adalah khalîq dan makhluk. Khalîq yakni Allah Subhânahû wa ta’alâ yang Transenden. Yang mutlak, Esa, tidak bersekutu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Sementara yang kedua adalah segala Makhluk ciptaan-Nya. Dunia, manusia, malaikat, jin, hewan, ruang dan waktu, benda dan semuanya selain Dia yang Maha Kuasa. Khalîq dan makhluk menurut al-Faruqi berbeda secara wujud dan antologi atau dalam eksistensinya.
Adapun ideasionalitas, dalam pemaparan al-Faruqi mengandung makna hubungan antara kedua realitas Khaliq dan makhluk tadi, istilah ini dinamakan sebagai hubungan ideasional. Makhluk telah dianugerahi pemahaman, rasional, penalaran, kesadaran, intuisi dan sebagainya. Kesemua anugerah tersebut sudah cukup untuk memahami kehendak Tuhan. Baik secara langsung melalui ayat-ayat-Nya atau melalui pengamatan atas penciptaan-Nya.[3]
Sementara, teologi dalam penalaran al-Faruqi bermakna dunia (kosmos) diciptakan oleh Khaliq untuk memenuhi semua kebutuhan makhluk, artinya dunia ini diciptakan tidak sia-sia atau bukan untuk main-main.[4] Lebih khusus untuk manusia, penciptaanya dalam rangka mengaktualisasikan pesan Khaliq yang lebih mengacu kepada nilai moral manusia tersebut.
Karena manusia tidak sama seperti mahkluk lain, diberikan ‘aql’ yang harus dipakai untuk taat, patuh serta tidak melanggar perintah sang Khaliq. Selanjutnya, berkaitan dengan prinsip kapasitas dan kebolehan manusia mengolah alam, seperti yang dipaparkan al-Faruqi bahwa manusia diciptakan untuk sebuah tujuan, yang mana tujuan tersebut harus sesuai dengan moral masyarakat, alam dan lingkungan.
Manusia harus mampu mengolah alam dengan moralnya (akal) nya jika tidak, maka lingkungan dan alam semesta akan hancur. Bagian terakhir adalah tanggung jawab dan perhitungan, maksudnya ialah kewajiban yang dibebankan atas manusia mempuanyai konsekwensi yag tidak boleh diabaikan.
Bahwa manusia memikul tanggung jawab yang harus dipikul bukan hanya di dunia namun kelak di hadapan-Nya. Jika manusia merealisasikan perintah-Nya dan mematuhi-Nya maka falâh atau keberhasilan dan kebahagiaan yang di dapatnya. Namun jika kebalikannya mengingkari-Nya maka hukuman, derita, dan kegagalan yang akan diterima.[5]
Esensi dari pemaparan di atas menurut al-Faruqi bahwa untuk melahirkan pandangan dunia (worldview) yang benar harus memahami hakekat dan esensi penciptaan manusia sebagai makhluk. Jika makhluk dapat memahaminya dengan baik maka prinsip tauhid yang menjadi landasan pandangan dunia akan sanggup menghasilkan sebuah peradaban yang benar.
Wallahu’alam bish shawâb
[1] Laode M. Kamaluddin, On Islamic Civilization: Menyalahkan kembali Lentera Perdaban Islam yang Sempat Padam (Semarang: Unissula Press, 2010), 95. Dalam buku tersebut Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan dengan mengenai pandangan dunia (worldview) baik definisi dari para cendekiawan Muslim atau orientalis Barat.
[2] Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tauhîd: Its Implication on Thought and Life, (USA, Maryland: International Institute of Islamic Thought, 1982), 10
[3] Baca, https://ismailfaruqi.com/articles/essence-islamic-civilization/#identifier_2_129 (Diakses 17 July 2019).
[4] (QS. Al-Imran ayat 191)
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa (azab) neraka.”
[5] Ismail Raji’ Al-Faruqi, Tauhîd Its Implication for Thought and Life. Terj. Rammani Astuti. (Bandung: Pustaka, 1988), 10-13.
1 comment