Di Bima terdapat tiga pengelompokan pemeluk agama. Mayoritas penduduk beragama Islam. Tapi di kota utama terdapat sebuah komunitas kecil beragama Kristen. Sementara mereka yang berada di pegunungan masih ada pemuja aliran kebatinan.
Di antara umat Kristen di Bima, ada penganut Protestan dan ada yang Katolik. Mereka hidup rukun satu sama lain, yang mungkin disebabkan karena banyak di antara mereka yang tidak terlalu memperdulikan agama. Atau karena Pendidikan yang rendah serta interaksi dengan dunia luar yang terbatas, sehingga mereka tidak tahu beda antara Protestan dan Katolik.
Hal ini tidak mengherankan, karena pendeta dari jemaat Makasar (jemaat yang ada di Bima) jarang sekali datang ke Bima untuk berkhotbah, membaptis dan menikahkan. Sekali datang hanya tinggal 8 hari di Bima. Sementara Pastor Katolik ke Bima hanya karena kebetulan dalam perjalanan dari Delhi dan Makau sehingga dia hanya melakukan pembabtisan lalu pergi. Sehingga umat Katolik di Bima tidak melakukan kebaktian di gereja.
Seorang pastor dari Makasar juga tidak datang setiap tahun untuk memberikan katekisasi. Dia juga tidak melakukan pelayanan sakramen. Yang dia lakukan hanya membaca khotbah dan memberikan pengajaran agama yang buruk.
Dia datang hanya untuk memuji orang-orang Kristen Bima yang meski masih miskin namun dalam keterbatasan mereka, masih menyumbang dana untuk bantuan orang miskin dan pembangunan gereja di Makasar, baik untuk gereja Protestan maupun Katolik. Dan dana yang datang dari orang Kristen di Bima di luar dugaan jumlahnya sangat besar.
Penduduk asli yang menganut agama Islam, di masa lalu adalah bagian dari orang gunung: pemuja berhala. Meski demikian, jejak-jejak agama Hindu, benda-benda purbakala, patung-patung, candi-candi, reruntuhan, belum aku temukan di mana pun. Mungkinkah nama-nama seperti Dewa, Guru, dan sejenisnya, merujuk pada hal itu? Aku tidak yakin demikian.
Karena kata Dewa juga masih ditemukan dikalangan orang Dongo, yang tentu saja bukan penganut agama Hindu. Islam diperkenalkan ke Bima antara tahun 1540 dan 1550, mungkin oleh orang-orang dari Makasar. Sultan pertama yang beragama Islam bernama bernama Abdul Kahir.
Jumlah ulama di negara ini sangat banyak; Tapi mereka tidak dihormati utamanya oleh para pejabat Kesultanan. Sering kali mereka pergi Haji tetapi tidak sampai Mekah, hanya sampai Singapura. Mereka tidak memiliki penghasilan khusus. Mereka hidup dari hadiah dan sedekah.
Hadiah yang mereka terima adalah untuk mengisi kegiatan keagamaan tertentu. Ada beberapa di antara mereka yang memiliki banyak pengikut dan pengaruh. Hal itu menjadi ancaman bagi Istana jika ambisi mereka untuk mendapatkan kehormatan berbalik melawan pembesar Kesultanan.
Orang Arab sangat populer di negara ini, namun hanya sedikit dari mereka yang tinggal di sana secara permanen. Para haji Arab ini banyak yang pura-pura menjadi Ulama, lalu pulang dari Bima dengan membawa banyak harta yang dikumpulkan dari mengemis ke masyarakat.
Yang menarik menjadi perhatian, hubungan antar umat beragama di Bima adalah terkait adanya kontrak dengan VoC di masa lalu. Di mana orang yang keluar dari agama Kristen harus diekstradisi keluar dari Bima. Dan di sisi lain, orang Kristen di larang mengajak penduduk masuk ke agama Kristen.
Wallahu’lam bish shawab
1 comment
Bagaimana pandangan Anda tentang dinamika antaragama di Bima pada tahun 1847 yang tampak harmonis meskipun ada batasan yang diberlakukan oleh kekuasaan? Apakah Anda berpikir bahwa kondisi serupa masih bisa ditemukan di masyarakat saat ini?