Hikmah

Jadilah Seperti Tsauban

Banyak kisah cinta dari para sahabat kepada Rasulullah Saw. Kisah yang mengandung nilai dan pelajaran yang berharga untuk kita jadikan sebagai renungan, motivasi dan semangat kita dalam mendekatkan diri kepada sang Ilahi. Pertanyaannya, mampukah kita menandingi kisah cinta para sahabat kepada Rasulullah? Atau cinta kita kalah dengan cinta para sahabat tersebut? Mungkin juga cinta kita yang lebih unggul dari cinta para sahabat? Atau celakanya, cinta kita malah jauh dari cinta para sahabat? Hal ini tentunya harus menjadi renungan bagi kita secara mendalam.

Untuk menilai bagaimakah kualitas cinta para sahabat kepada Rasulullah Saw. Marilah kita simak sebuah kisah di zaman Rasulullah Saw, kisah yang telah diriwayatkan oleh para ulama dalam-kitab-kitab mereka. Kisah yang menjadi penyebab (asbabun nuzul) turunnya ayat Al_Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (69-70)

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.  Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui dari apa yang kita sembunyikan dan apa yang kita tampakkan” (An-Nisa’:  69-70)

Al-Hafizd Ibn Katsir membawakan riwayat seorang sahabat yang cinta kepada Nabi Muhammad Saw. Sahabat ini, tidak sabar kalau tidak berjumpa dengan Rasulullah Saw. Namun, Ibn Katsir, tidak menyebutkan siapa nama sahabat tersebut. Sementara, Imam Al-Qurtubi di dalam tafsir beliau, Al-Jaami’ Liahkamil Qur’an, menyebutkan  nama sahabat itu bernama “Tsauban”. Sahabat Tsauban ini, adalah pembantu Rasulullah Saw, sahabat ini sangat mencintai Rasulullah Saw, dan Tsauban tidak tahan kalau tidak bertemu sehari saja dengan dengan Nabi Muhammad Saw.

Jika Tsauban tidak bertemu Rasulullah Saw, maka wajahnya berubah pucat, raut mukanya tidak enak dipandang. Dia seperti orang yang merana dan menderita. Hidupnya hampa, tidak bergairah dan tidak bersemangat. Layaknya, para pengemis lusuh dan pemulung yang selalu murung.

Dan benar saja, pada suatu hari sahabat Tsauban benar-benar tidak bertemu dan berjumpa dengan Nabi Saw. Dalam kondisi tersebut, sahabat Tsauban ini pikiranya kacau-balau, bigung, sampai-sampai badanya kurus kering, wajahnya pucat, sangat bersedih dan sangat gelisah. Hanya karena sehari tidak berjumpa dengan kekasihnya Rasulullah Saw. 

Singkat cerita, akhirnya suatu saat bertemulah sahabat Tsauban ini dengan Rasulullah Saw, lalu Rasulullah begitu heran dengan keadaan pembantunya tersebut. Rasulullah pun bertanya perihal keadaanya;

“Maa ghayyaro lau nak ya Tsauban?” 

“Wahai Tsauban apa yang membuat keadaan kamu seperti ini? Kenapa wajahmu pucat? Kenapa kamu terlihat kurus kering? Kamu begitu bersedih, kamu tampak gelisah dan merana wahai Tsaubaan, penyakit apa yang sedang kau derita,  katakan kepadaku ya Tsauban?

Lantas Tsauban  menjawab, 

Ya.. Rasulullah, Maa bi dhurrun wala wajaun, ghairo anni idza lam Arooka, istakhtu Ilaika, was taw hastu wihsyatan shadidah, hatta alqoo 

“Wahai Rasulullah, aku tidak sakit, aku tidak terkena mara bahaya apapun, aku tidak ditimpa musibah sedikitpu. Hanya saja ya Rasulullah, kalau saja aku tidak bertemu denganmu sehari saja, aku rindu wahai Rasulullah, aku cinta kepadamu dan aku merasakan kesepian dan kesendirian yang amat sangat, sampai benar-benar aku berjumpa denganmu, wahai Rasulullah.”

Kemudian Tsauban melanjutkan;

Tsumma dzakartul akhiirota, wa akhofu alla arooka hunakaa, lianni aroftu annaka turfa’ Ma’an nabiyyiin, Wa anni indakholtu Jannah,  kuntu fii manzilatin yaa Adna manzilatik . Wa illam adkhul,  lam arooka abadaa

“Ya Rasulullah dalam keadaan aku bersedih seperti itu, aku ingat di akherat nanti, Wahai Rasulullah, anda nanti di akherat mempunyai derajat yang tinggi kumpul dengan para Nabi, aku wahai Rasulullah, seandainya saja aku masuk syurga, maka derjatku di bawahmu wahai Rasulullah. Kita tidak bisa ketemu di syurga nanti, anda di atas paling tinggi, sementara kami di bawah,  itu pun kalau aku masuk ke dalam syurga. Sementara kalau aku  tidak  masuk ke dalam syurga wahai Rasulullah, maka aku tidak akan bisa bertemu dengan engkau selama-lamanya”

Subhanallah… Begitu indah kisah sahabat Tsauban ini. Rasa rindu ingin berjumpa dengan Rasulullah telah membuat ia menderita dan merana. Rasa rindu itu telah menyiksa batinnya. Kerinduan karena samata-mata lahir dari cintanya kepada Rasulullah Saw. Rasanya puncak kerinduandan cinta itu bagi sebagian orang mungkin terlalu berlebihan, namun adakah kita sadari kalau rindu dan cinta kepada Rasulullah Saw akan lahir dari hati yang bersih, lahir dari hati yang bening, hati yang selalu di isi dengan kebaikan-kebaikan. Sehingga, dari kebaikan jiwa itulah akan lahir cinta yang hakiki.  

Semoga kita dapat mencontohi sahabat Tsauban ini. Kita perbanyak bacaan shalawat kita kepada Rasulullah Saw, sebagai bukti cinta kita kepada beliau. 

Allahumma sholli wasallim ala Muhammad.

Disarikan dari ceramah Ustad Abdullah Shaleh Al-Hadrami

Related posts

“Nikmatnya Berbuka di Pulau Seribu Masjid”

Sofian Hadi

Tren Generasi Milenial: Telisik Kegersangan Jiwa

Sofian Hadi

“IMAJINER” Untaian Nasihat Badiuzzaman Said Nursi (1)

Fiqri Rabuna

Hikmah dari Alam: Belajar Ketangguhan dari Pohon

Sofian Hadi

Pola Pikir Dibentuk dari Bacaan: Nasihat Ahmad Deedat tentang Mental dan Kebiasaan

Sofian Hadi

Meningkatkan Hubungan dengan Allah, Makhluk, dan Alam

Sofian Hadi

1 comment

Fadhil @lhadi January 10, 2018 at 2:59 pm

Mohon maaf sebelumnya kepada para pembaca. Sebelumnya ada kesalahan Typograpi, namun sudah diperbaiki.
Selamat membaca

Reply

Leave a Comment

error: Content is protected !!