Dalam lanskap serial thriller psikologis, Ripley yang tayang di Netflix hadir sebagai salah satu tayangan paling mencolok dengan atmosfer gelap, narasi yang menggugah, dan karakter utama yang penuh teka-teki. Dalam Ripley, penonton diajak masuk ke dalam dunia Tom Ripley seorang penipu ulung dengan kepribadian kompleks yang menyimpan banyak lapisan. Di episode-episode awal, penonton langsung dikenalkan pada aura misterius dan elegan yang membungkus sosoknya. Untuk kamu yang ingin menyelami lebih jauh mengenai serial ini, kamu bisa menemukan ulasan lengkapnya di tempatnonton.id.
Artikel ini akan mengupas lapisan demi lapisan karakter Tom Ripley dari perspektif psikologis menganalisis sisi gelapnya, apa yang memotivasinya, dan bagaimana penonton tetap merasa tertarik pada sosok yang secara moral ambigu.
Dunia Tom Ripley: Antara Realitas dan Ilusi
Tom Ripley bukan karakter antagonis biasa. Ia bukanlah penjahat konvensional yang hanya memuaskan dahaga akan kekuasaan atau kekayaan. Ia adalah simbol dari seseorang yang hidup dalam bayang-bayang eksistensial berusaha menjadi seseorang yang bukan dirinya, dan berjuang keras menyamarkan kekosongan batin lewat manipulasi dan tipu daya.
Serial Ripley menggambarkan tokoh ini dengan sangat halus perlahan-lahan menampilkan bagaimana ia membangun ilusi, menyusup ke kehidupan orang lain, dan menciptakan narasi palsu demi mendapatkan penerimaan. Keinginannya untuk menjadi “dilihat” dan “diakui” sering kali menjadi benih dari tindakan kriminalnya.
Kepribadian Ambigu dan Narcissistic Traits
Salah satu elemen paling menarik dari Ripley adalah kepribadiannya yang tak bisa dikotakkan secara sederhana. Ia bisa tampil menawan dan penuh empati di satu waktu, lalu dingin dan kejam di waktu berikutnya. Ada elemen Narcissistic Personality Disorder dalam perilakunya di mana Ripley sangat peduli pada citra dirinya, namun tidak memiliki empati sejati terhadap orang lain.
Namun berbeda dengan narasi tipikal seorang narsistik, Ripley menampilkan nuansa yang lebih kompleks. Ia sering kali merasa bersalah atau gelisah, tetapi tetap tidak mampu menahan diri untuk tidak berbohong atau melakukan kejahatan demi menjaga “peran” yang ia ciptakan.
Kebutuhan Akan Identitas dan Penerimaan Sosial
Jika dilihat lebih dalam, semua tindakan Ripley bermuara pada satu kebutuhan dasar manusia: keinginan untuk diterima. Ia bukan hanya ingin hidup mewah, tetapi juga ingin merasa “dimiliki” oleh lingkaran sosial elit yang awalnya tertutup baginya. Ia merasa bahwa identitas aslinya tidak layak, dan satu-satunya cara untuk diterima adalah dengan memalsukan identitas bahkan sampai titik ia sepenuhnya percaya pada kebohongannya sendiri.
Serial ini berhasil menggambarkan bagaimana dorongan psikologis seperti ketakutan akan penolakan dan inferiority complex bisa mendorong seseorang untuk mengambil jalan gelap yang berbahaya.
Penggunaan Visual dan Narasi sebagai Refleksi Psikologis
Secara sinematik, Ripley menggunakan palet warna gelap dan pengambilan gambar yang sering kali asimetris dan penuh bayangan. Ini bukan sekadar gaya visual namun juga simbol dari batin sang tokoh utama yang tidak pernah stabil. Kesendirian Tom, keraguan, dan ketakutan akan ketahuan selalu tergambar lewat komposisi gambar yang memunculkan rasa tidak nyaman.
Begitu juga dengan narasi lambat dan intens dengan banyak momen diam, suara hati, dan konfrontasi batin membuat penonton tidak hanya menyaksikan kisah kriminal, tetapi juga menjadi saksi perjalanan mental seorang individu yang terjebak dalam jaring kebohongannya sendiri.
Simpati dalam Dosa: Mengapa Kita Terpikat?
Pertanyaan menarik muncul saat menonton Ripley: mengapa kita bisa merasa simpati pada seorang pembunuh dan penipu? Ini adalah kekuatan utama serial ini mampu mengundang simpati dari penonton lewat penyajian naratif yang membuat kita memahami motivasi Tom, meski tidak menyetujui tindakannya.
Kita menyaksikan seseorang yang pada dasarnya hanyalah manusia biasa dengan trauma, keinginan, dan ketakutan—yang kemudian memilih jalan keliru. Dalam kerumitan ini, penonton dipaksa berempati dan sekaligus menghakimi. Di sinilah daya tarik utama serial ini: ambiguitas moral yang mengundang diskusi.
Representasi Psikopat Modern?
Meski banyak yang menyebut Ripley sebagai seorang psikopat, representasi ini tidak hitam putih. Ia bukan tipikal psikopat dingin seperti Hannibal Lecter atau Dexter. Ada sisi emosional dan kerentanan dalam dirinya. Ia tidak membunuh karena menikmati penderitaan orang lain, melainkan karena merasa terpojok dan ingin mempertahankan kendali atas dunia yang ia bangun.
Dalam banyak kesempatan, ia terlihat kesepian dan seolah mengharapkan seseorang bisa melihat dirinya yang asli. Namun setiap kali peluang itu muncul, ia malah memilih menenggelamkan dirinya lebih dalam dalam kebohongan dan kekerasan.
Kesimpulan: Refleksi Diri dari Sosok Gelap
Ripley bukan sekadar cerita kriminal yang memikat. Ini adalah eksplorasi mendalam tentang jiwa manusia yang rapuh, bagaimana trauma dan ketidakpuasan diri bisa berkembang menjadi obsesi yang menghancurkan. Lewat karakter Tom Ripley, serial ini mengajak kita bertanya: seberapa jauh seseorang akan pergi demi diterima? Apakah keinginan menjadi “seseorang” bisa melegitimasi tindakan keji?
1 comment
[…] Sumber : https://batuter.com/advertorial/ripley-netflix-analisis-psikologis/ […]