Jika engkau benar-benar mencintai dirimu, jangan berikan peluang bagi sifat permusuhan dan dendam yang sangat berbahaya bagi kehidupan pribadi untuk merasuk ke dalam hatimu. Kalaupun keduanya sudah terlanjur masuk dan telah bersemayam di dalamnya, hendaknya engkau mengabaikan keduanya.
Renungkanlah ucapan al-Hâfizh Syirazî, sosok yang memiliki basirah yang mampu menembus kedalaman hakikat, berikut ini:
دنيا نه متاعيستى كه أرزد بنزاعى
Sesungguhnya dunia beserta isinya bukanlah barang berharga yang pantas diperselisihkan.
Jika dunia yang besar beserta isinya saja tidak bernilai seperti itu, apalagi dengan hal-hal kecil lainnya. Renungkan pula perkataan beliau:
آسايش دو كيتى تفسير اين دو حرفست
بادويتان مروت با دشمنان مدارا
Kedamaian dan keselamatan di kedua alam bergantung pada dua hal:
Keluhuran budi terhadap kawan, serta perlakuan bijak terhadap lawan.
Barangkali engkau akan mengatakan, “Hal itu di luar kemampuanku. Sebab, rasa permusuhan telah terlanjur tertanam dalam fitrahku. Aku tidak punya pilihan lain. Di samping itu, mereka telah melukai perasaanku dan menyakitiku sehingga aku tidak bisa memaafkan mereka.”
Jawabannya: Jika akhlak buruk tidak terwujud dalam bentuk perbuatan dan tidak menjadi dasar sebuah tindakan seperti ghibah misalnya, serta pelakunya menyadari kesalahannya itu, maka hal itu tidak membahayakan.
Selama engkau tidak memiliki pilihan lain dalam hal tersebut, dan engkau tidak bisa mengelak dari permusuhan tadi, maka kesadaran dalam hal menyadari kekurangan dan kesalahan itu akan membebaskanmu—dengan izin Allah—dari akibat buruk permusuhan yang tertanam dalam dirimu. Sebab, hal itu dianggap sebagai penyesalan yang tersirat, taubat yang tersembunyi, dan istigfar maknawi.
Pembahasan ini kami tulis memang untuk memperoleh istigfar yang bersifat maknawi ini, sehingga orang mukmin tidak menganggap kebatilan sebagai kebenaran, serta tidak memperlihatkan kebatilan lawannya yang sebenarnya berada dipihak yang benar.
Aku pernah mengalami suatu kasus yang pantas untuk direnungkan. Suatu hari, aku melihat seorang ilmuwan mengkritik seorang ulama, sampai-sampai ia berani mengafirkannya. Kritiknya itu disebabkan adanya perselisihan di antara keduanya dalam persoalan politik. Namun, pada waktu yang sama, ilmuwan tersebut memuji seorang munafik yang memiliki kesamaan pandangan politik dengannya.
Peristiwa ini benar-benar menggoncangku. Lalu aku katakan:
أعوذ بالله من الشيطان والسياسة
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan fitnah politik.
Sejak saat itu, aku menarik diri dari kancah politik.
Badiuzzaman Said Nursi, Al-Maktûbât, hlm. 448–450
Demikian untaian nasihat, renungan yang disampaikan sosok Badiuzzaman Said Nursi. Permisalan yang sampaikan Said Nursi di atas, mengenai permusuhan, dendam, perselisihan, hingga perbedaan pandangan politik, berpotensi besar menciptakan kerusakan hubungan antar saudara, keluarga, sahabat, antar sesama.
Bukankan hal demikian telah terjadi saat ini di tengah masyarakat kita? Saudara tidak saling menyapa dengan saudaranya yang lain, tersebab perbedaan pilihan partai, perbedaan politik. Atau, karena tidak membangun komunikasi yang baik saat berpapasan,atau saat berjumpa. Buah dari perbedaan adalah permusuhan, dendam dan perselisihan. Dan ini sangat berbahaya, sehingga mampu merusak hati, menusuk jantung.
Luhurkan budi, lunakkan hati, terhadap kawan dan lawan. Hal itu lebih mulia, sekalipun berat dan mustahil dilakukan, kecuali dengan hati yang benar-benar bersih dan ikhlas karena mengharap ridha Allah Swt.
Wallahu’alam bish shawab
1 comment
Apa pendapatmu tentang pentingnya mengatasi dendam dan permusuhan dalam kehidupan sehari-hari? Apakah ada pengalaman pribadi yang bisa kamu bagikan tentang bagaimana menjaga hubungan baik meskipun ada perbedaan pandangan?