Taliwang Banjir
Hikmah

Taliwang Kembali Diterjang Banjir: Sabar atau Pasrah?

Kebun rindang di balakang rumah pinggir sungai, berubah menjadi danau. Jagung dan padi baru satu bulan disemai lenyap dalam sekejap. Rumah panggung mini yang dipakai rehat setelah bajak di tengah sawah juga ikut tertelan riak gelombang. Begitupun kandang sapi baru, di samping kebun, ikut  tersandera gumpalan ombak.

Sebelum banjir, biasanya, setiap pagi pasca shalat subuh, pemilik kebun bergegas ke kebun dengan sepeda motornya. Setibanya di kebun, sang pemilik singgah sebentar untuk parkir, kemudian beringsut berjibaku dengan binatang ternaknya. Sesekali, membersihkan rumput liar dipetakan jangung dan padi yang baru beberapa pekan di tanam.

Berjarak hanya 50 (lima puluh) meter dari pemilik kebun, nampak kandang sapi peliharaan, baru beberapa pekan dibangun. Pemilik kebun dan kandang, terkadang bersua ria, senda gurau saat berpapasan. Mereka menikmati lakon hidup masing-masing. Sederhana dan bahagia.

Akan tetapi, kebahagiaan mereka sirna. Alam mengirim pesan berbeda. Dua hari tiga malam hujan mengguyur. Banjir datang. Badai angin menerjang membawa kecemasan. Bangunan roboh, rumah tenggelam. Memutuskan percakapan pagi hangat yang belum tuntas.

Demikianlah hidup, kadang indah di pagi hari, belum tentu bahagia di senja hari. Langit yang yang nampaknya cerah, memutar haluan sekejap. Hujan, badai dan angin tak bisa kompromi. Jika takdirnya telah sampai masa ditetapkan, mereka tunduk pada titah-Nya.

Taliwang kembali dilanda banjir. Sudah beberapa kali banjir menghantui masyarakat. Warga harap-cemas penuh siaga tetap waspada. Nampak disudut desa dan kelurahan tergenang. Sekolah tutup, ekonomi lumpuh, petani pasrah. Demikian cepat takdir menjemput. Kemarin, kebun indah, sawah ladang terbentang elok dipandang, berganti lumpur kerkubang.

Nampak lumrah, banjir yang selalu datang dan melanda warga Taliwang seolah biasa saja. Warga seakan terlatih untuk bersabar dan bersyukur. Saling berkirim kabar di media sosial cukup intens. Tidak ada sumpah serapah, sebaliknya berkirim do’a. Mendo’akan, dido’akan, minta do’a dan saling menguatkan.

Jika sifat sabar dan syukur mendahului apapun, maka jiwa akan tenang. Demikianlah seharusnya Mukmin menyikapi sebuah realitas. Sabar jika ditimpa musibah, syukur jika bahagia, hasilnya akan mendatangkan Hikmah. Sungguh mengagumkan. Persis dalam sebuah hadist;  

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

Artinya: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya terjadi pada diri seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”
(HR. Muslim Nomor 2999).

Musibah dan bencana yang menimpa memang berat. Akan tetapi ada ruang pahala yang terbuka. Apabila seorang Mukmin (orang beriman) sadar tentang ruang itu, maka ia tahu apa yang harus dilakukannya yaitu, sabar. Itulah bukti Iman. Pertanda, ia tuntas dengan keislaman dan pantas menyandang gelar keimanan.  

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur”1 Kemudian Allah mengganjar ahli sabar dan syukur. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”
(QS. Az-Zumar ayat 10).

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemahakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan banyak bersyukur”
(QS. Luqmân: Ayat 31).

Ada keindahan yang tak terhingga dalam kesabaran. Ia adalah keindahan jiwa yang tenang dalam ridha Allah. Hati menjadi tentram, jauh dari gejolak, kesedihan, kesempitan, dan putus asa. Sebab, hanya sabar yang mampu menyingkirkan rasa pedih dan sakit.

Boleh jadi banjir menerjang, karena Tuhan ingin membersihkan penyakit yang akut dalam sebuah masyarakat. Penyakit masyarkat yang sudah tidak mampu dibersihkan manusia. Minuman keras, perjudian, narkotika, perzinahan, homoseksual, hingga kezaliman lainnya. Bukankan ini penyakit yang berbahaya jika terus dibiarkan?

Hujan itu membawa rahmat bukan mendatangkan mudharat. Sesekali, manusia harus merenung, kenapa banjir selalu menerjang? Boleh jadi kita sering bermusuhan dengan alam, gunung, bukit dan bebatuan.  Barangkali alam ini butuh disayangi, butuh dicintai. Bukan sebaliknya dirusak, dikotori dan diekploitasi.

Ada hikmah disetiap kejadian. Ada pelajaran yang harus direnungkan. Semuanya adalah takdir yang harus dihadapi, bukan dikufuri. Semoga kita dijauhkan dari segala sumber kejahatan, bencana dan mara bahaya. Amîn ya rabbal alamîn.

Wallahu’alam bish shawâb

Sumber photo: Google.com

  1. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush shâbirîn” (hal. 88) ↩︎

Related posts

Sebait Nasehat Membendung Maksiat

Sofian Hadi

Tiga Munajad Rasulullah Saw

Sofian Hadi

Sejenak Bertafakkur

Sofian Hadi

Hikmah dari Alam: Belajar Ketangguhan dari Pohon

Sofian Hadi

“IMAJINER” Untaian Nasihat Badiuzzaman Said Nursi (2)

Fiqri Rabuna

Melihat Lebih Dekat Pruak Desa Rarak (Sebuah Memoar)

Sofian Hadi

2 comments

Batuter February 12, 2025 at 3:21 am

Banjir yang melanda Taliwang tidak hanya menyisakan kerugian materiil, tetapi juga menyiratkan pelajaran berharga tentang ketahanan dan keikhlasan dalam menghadapi cobaan. Menurut Anda, bagaimana seharusnya masyarakat merespons tantangan ini agar tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit dengan lebih kuat?

Reply
Wawan Ceweng February 13, 2025 at 12:15 am

Keren banget

Reply

Leave a Comment

You cannot copy content of this page