Isu Kontemporer

Membaca Lebih Dalam Tentang Orientalisme

Diskursus orientalisme hampir tidak pernah redup dari cakrawala pemikiran. Walaupun riuh kajiannya tidak semarak dahulu, setidaknya pada kurun waktu satu dasawarsa wacana pemikiran orientalisme masih mendapat perhatian dari berbagai pihak, entah dari para intektual, akademisi, maupun para pemikir konservatif.

Perbincangan mengenai orientalisme cukup beragam. Dari tataran intelektual, cendekiawan, hingga akademisi berusaha meneropong pakem identitas orientalisme yang sebenarnya. Kajian dan analisahnya tidak hanya pada tataran eksetoris (luar) namun juga pada elemen inti esetoris (dalam). Adapun, kajian orintalisme ditingkat pemahaman konservatif, masih berkisar pada retorika sederhana, pada dasarnya tidak mau terjun terlalu dalam mengenai isu atau wacana yang disebut sebagai oriantalisme.

Kendatipun demikian, kemunculan para orientalis dengan gerakan orientaslimenya telah menyadarkan kaum Muslim agar semakin meneguhkan keyakinan akan kebenaran Islam dengan bimbingan mu’jizât Rasulullah yaitu al-Qur’an dan sunnah beliau yaitu al-Hadits.

Kedua sumber ini merupakan sasaran utama pengusung gerakan orientalisme dalam mendistorsi, mengkritisi, menginterpolasi hingga mendekonstruksi sejarah dan kesakralan baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Alhasil, informasi tentang kebenaran Islam secara umum menjadi skeptis penuh dengan kerancuan dan kekacauan. Kekacauan dan kerancuan mengenai sebuah kebenaran adalah tujuan inti kajian orintalisme ini dibentuk.

Sasarannya jelas, yaitu dunia Timur yang notabene-nya adalah Islam. Artikel ini mencoba meneropong epistemologi orientalisme yang ditujukan dalam rangka menyerang identitas Timur yang direpresentasikan Islam dan Kristen sebagai representasi budaya Barat. Dengan menggunakan analisah deskriptif yang kemudian dapat merepresentasikan kajian dari sudut pandang kedalaman penelitian.

 Beberapa Definisi tentang Orientalisme

Secara etimologis, istilah ‘oreintalisme’ berasal dari bahasa Perancis yaitu “orient” yang maknanya adalah Timur atau bersifat kajian tentang Islam di Timur. Sementara “isme” merujuk kepada arti paham, ajaran dan ideologi.

Menurut Encyclopedia of Islam, orientalism the study of the East (“the Orient”) especially the “Islamic East,” by European and American scholars during 19th and 20th centuries.[1] Definisi ini menandaskan makna sebenarnya dari orientalisme yang mengacu kapada studi Islam di Timur yang dilakukan semenjak abad 19 dan abad ke 20. Pelaku dalam kajian ini disebut dengan orientalist atau ‘student of eastern culture’. Secara analitis, menurut Ensiklopedia Islam, kajian ketimuran ini dibedakan atas tiga pandangan. Pertama, keahlian dalam menguasai wilayah Timur. Kedua, metodologi dalam memepelajari masalah ketimuran. Ketiga, sikap ideologis terhadap ketimuran, khususnya terhadap dunia Islam.[2]

Di dalam buku ‘Ru’yah Islamiyyâh lil Istisyrâq’ Dr. Ahmad Abdul Hamid Ghurab mendefinisikan oreintalisme secara umum dan khusus. Secara Umum yakni berpikir ala Barat sebagaai landasan dalam menilai dan memperlakukan bangsa Timur, bahwa terdapat perbedaan yang fundamental antara Barat dan Timur, baik eksistsensi, sains dan teknologi.

Menurut Dr. Ghurab, kelebihan definisi ini ialah isyarat kefanatikan terhadap ras yang sangat menonjol dalam dunia oerintalisme, dengan segala macam ragamnya. Baik itu orintalisme dalam lingkup akademis, pekerjaan, maupun karya tulisan ilmiah yang mereka tulis tentang dunia Timur.[3]

Adapun pengertaian orientalisme secara khusus, yaitu studi akademis yang dilakukan bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya, baik menegnai sejarah, pengetahuan, bahasa, agama, tatanan sosial politik, hasil bumi serta segala potensinya. Hal ini berawal dari anggapan Barat yang merasa bahwa ras, dan peradaban Barat lebih tinggi, lebih maju dari bangsa Timur. Tentunya isu ini dapat dibaca dengan tujuan menguasai bangsa Timur untuk kepentingan bangsa Barat.

Aktifitas yang dilakukan adalah dengan tipu daya seolah-olah menampakkan bahwa kajian yang mereka lakukan bersifat ilmiah dan objektif.[4] Dengan mengacu kepada pengertian umum dan khusus di atas, dapat dipahami bahwa orintalisme merupakan sebuah gagasan atau ideologi yang secara sengaja dibentuk dalam rangka kepentingan bangsa Barat untuk menguasai, mengontrol Timur dari segala aspek yang dimungkinkan.

Adapun, definisi berbeda dari studi orintalisme menurut Richard King adalah orang yang mengajarkan, meneliti, menulis mengenai Timur. Dalam bahasa berbeda, seorang orintalis yang menganggap dirinya memiliki seperangkat keahlian dalm memahami kebudayaan Timur.[5] Pengertain King, dapat dikatakan sama dengan pengertian pada definisi sebelumnya. Adapun  menurud Edward W. Said dimaknai sebagai;

“Orientalism is a style of thought based upon an ontological and epistemological distinction made between “the Orient” and (most of the time “the Occident.”[6]

Definisi yang diberikan Edward Said memang terkesan filosofis, akan tetapi dapat diinterpretasikan bahwa sebenarnya orientalisme merupakan ide atau paham yang digagas oleh orientalist Barat dalam rangka merubah style of thought cara bepikir, cara pandang kaum Timur layaknya kaum Barat baik secara hakekat maupun secara keilmuan.

Apa yang disebut dengan cara pandang atau cara berpikir ala Barat? Perlu untuk dianalisah, bahwa pikiran seseorang menentukan sikap dan tingkah lakunya. Sikap dan tingkahlakunya merupakan refleksi moral yang mengamini apa yang diyakininya.

Jika seseorang mengimani sumber informasi yang dikembangkan, diteliti, dianalisah tentang Timur oleh bangsa Barat, tidak diragukan lagi bahwa pikiran semacam itu menjadi kebenaran yang harus diyakini adanya. Walaupun kayakinan atas analisah tersebut tidak sepenuhnya benar.

Maka misi style of thought secara terus menerus digaungkan Barat hingga sikap Muslim berubah sejalan dengan apa yang diinginkan Barat. Karenanya Edward Said menyimpulkan “in short, orientalism as a Western style for dominating, restructuring, and having authority over the Orient.”[7] Pada intinya orientalisme dimaksudkan kepada Muslim untuk bersikap kebaratan.[8]

Cendekiawan Muslim, Hamid Fahmy Zarkasyi mendefinisikan orientalisme sebagai merupakan cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat, yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia dipandang dengan kacamata rasial dan penuh kecurigaan.[9] Menurut analisah Hamid Fahmy Zarkasyi, gerakan orientalisme termasuk ke dalam 3 (tiga) gerakan agen besar liberalisasi pemikiran Islam yang dipropagandakan dunia Barat. Yaitu, misionaris, orientalis, dan kolonialis.

Atas alasan demikian, Barat kemudian menyusun strategi yang kemudian menjadikan bangsa Timur sebagai objek kajian dengan dalih ‘membantu’ merumuskan konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan agama-agama dunia Timur.

Akan tetapi, kajian kebudayaan, sejarah, agama dan sebagainya dibaca dari sudut pandang ‘khas’ dunia Barat yang sejatinya bukan kajian keilmuan seperti yang dipersepsikan, namun untuk kepentingan dan dimanfaatkan sebagai misionaris Kristen dan kolonialisasi serta imperialisme Barat.[10]  Dari beberapa definisi yang diberikan dapat ditarik sebuah kunsensus bahwa, orientalisme merupakan gagasan, ide, sekaligus cara pandang Barat dalam mengkaji dunia Timur. Ide dan cara pandang tersebut dibungkus dalam suatu kajian keilmuan yang seolah-olah objektif, namun sebaliknya adalah gerakan tipu daya dalam rangka merubah kebudayaan, sejarah, agama untuk membantu gerak


[1] Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam, (New York: Library of Congress, 2009), 536. Lihat  ‘orientalism’

[2] Ensiklopedi Islam Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), p. 55. Baca, ulasan lengkap, Ridho Al-Hamdi, Epistemologi Oksidentalisme: Membongkar Mitos Superioriyas Barat, Membangun Kesetaraan Peradaban, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2019), 56

[4] Ibid. 18                 

[3] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Ru’yah Islamiyyah Lil Istisyrâq’ Terj. A.M. Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme,  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1992), 17

[5] Richard King, Agama, Orientalisme dan Psikolonialisme, Ter. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qolam, 2001), 162

[6] Mustofa Bayoumi and Andrew Rubin, The Edward Said Reader, (New York: Vintage Books, 2000), 69

[7] Ibid, 69.

[8] Selengkapnya baca, Mustofa Maufur, Orientalisme Serbuan Ideologis dan Intelektual, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), 17

[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, CIOS, 2008), 61

[10] Ibid, 62.

Lebih lengkap silakan baca, Edward W. Said, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1978), 1-2. Edward W. Said menerangkan secara gamblang bahwa orientalisme merupakan agen dari kolonialisasi dan imperialisasi Barat; “In addition, the orient has helped to define Europe (or West) as its contrasting image, idea, personality, experience. Orientalism expresses and represents that part culturally and even ideologically as a mode of discourse with supporting institution, vocabulary, scholarship, imagery, doctrine, even colonial bureaucracies and colonial style.” 

Related posts

Resensi Buku “Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah”

Sofian Hadi

Kajian Kritis Buku “Liberalisasi Pemikiran Islam”

Sofian Hadi

Konsep Tawhid Dalam Pandangan Al-Faruqi

Sofian Hadi

Sains dan Kacamata Einstein

Sofian Hadi

Eksistensi Agama di Masa Kekinian

Sofian Hadi

Kritik Terhadap Buku Orientalis Barat “The Truth about Muhammad” Penulis Robert Spencer Bag 1

Sofian Hadi

1 comment

Leave a Comment

You cannot copy content of this page