Siapa yang masih tertarik membaca sejarah? Tentunya ada dari pembaca yang masih tertarik membaca tentang sejarah, khususnya sejarah kolonialisme di Indonesia. Tulisan kali ini, mencoba mem-flasback ringkas sejarah kelam bagaimana para nenek moyang kita dulu , hidup dalam tekanan penjajahan.
Pada abad ke-15, para petualang laut Spanyol dan Portugis berhasil membawa rempah-rempah untuk diperdagangkan di Eropa. Hal ini membangkitkan hasrat dan semangat besar bagi negara-negara Eropa lainnya, seperti Belanda, Perancis dan termasuk Inggris.
Mereka kemudian mulai melakukan kolonialisasi atas daerah-daerah yang disinggahi. Tahun 1596 dengan sebuah armada yang terdirir dari 4 buah kapal layae di bawah di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Banten.
Untuk memperkokoh kedudukannya di kepulauan Nusantara, maka pada tahun 1602 Belanda mendirikan sebuah kongsi perdagangan yang diberi nama “Verenigde Oost Indische Compagnie” Perserikatan Dagang Hindia Timur yang disebut dengan voc. Masyarakat pribumi sering menyebutnya dengan “Kompeni” atau di kampung-kampung lazim dipanggil “Blanda urik”
Adanya kemungkinan peluang dan kesempatan terbuka lebar dalam mengembangkan usahanya, Pemerintah Kerajaan Belanda memberi hak dan kekuasaan yang luar biasa kepada voc. Hak tersebut diberikan agar upaya kolonialisasi voc baik rempah dan insan pribumi menjadi lebih berwibawa.
Hak dan kekuasaan tersebut antara lain, mengijinkan pembentukan balatentara di bawah komando voc. Hak memerintah di daerah yang di duduki. Mengumumkan perang jika diperlukan. Kemudian membuat perjanjian dengan raja-raja di Nusantara. Mempunyai kekuasaan hak tunggal (monopoli), dan hak mencetak, mengedarkan mata uang sendiri.
Dengan dikantonginya hak dan kekuasaan tersebut, voc resmi menjadi alat kekuasaan pemerintah penjajah Belanda di Indonesia. Dalam catatan sejarah, tahun 1605 berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Keberhasilan atas perebutan benteng itu, menjadi awal mula proses terjadinya kolonialisasi besar-besaran di Indonesia.
Diberinya kewenangan, hak dan kekuasaan kepada voc menunjukkan bahwa tujuan perdagangan bukan lagi hal yang utama. Misi explorasi rempah-rempah dan hasil bumi Indonesia, sifat dan maksud tujuan awal berubah menjadi unjuk kekuatan dan kekuasaan, yang melawan ditawan bila perlu dimusnahkan.
Semakin lama semakin banyak dan besar pengawal serta tentara Belanda urik ini. Semakin luas kekuasaan. Mereka memaksa raja-raja untuk membuat perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat pribumi. Politik adu domba pun mulai berlaku, demi kepentingan pihak Belanda urik yang semua harus tunduk dibawah kehendak dan kekuasaan mereka.
Pada tahun-tahun itulah voc melakukan explorasi bumi besar-besaran. Pengiriman hongi tahun 1650 yakni perahu-perahu kecil untuk memusnahkan pohon dan tanaman rempah milik pribumi. Sekitar tahun itu juga pemberlakuan kerja rodi (kerja paksa tanpa upah) bagi pribumi. Pajak paksa, dan voc benar-benar mengklaim secara mutlak (monopoli) sistem perdagangan rempah-rempah.
VOC Dibubarkan
Tahun 31 Desember 1799 voc dibubarkan. Kerugian atau bangkrut menjadi alasan serikat dagang ini harus berakhir. Semua hak milik Belanda urik di Inondesia per tanggal 1 Januari 1800 diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Pergantian kekuasaan dari voc ke pemerintah Belanda, sama sekali tidak mengubah pelaksanaan aturan kekuasaan. Sebaliknya semakin ‘licik’ dan curang melebihi kelicikan sebelumnya. Pemerintah Belanda langsung menunjuk seorang gubernur jendral atas nama pemerintah Belanda.
Semakin tertindas rakyat pribumi. Peraturan monopoli dan kerja rodi tetap berlanjut, hingga tahun 1870. Pemberlakuan tanam paksa (1830-1870) terus menyayat perih derita rakyat. Kesengsaraan pribumi semakin memburuk. Penindasan dan kesewenang-wenangan telah menjadi sajian harian rakyat, sebagai konsekwensi kolonialisasi (penjajahan) suatu wilayah.
Pembubaran voc tahun 1799 kemudian dimandatkan kepada Gubernur Jendral Herman Williem Deandels (1808-1811) semakin memperparah penderitaan masyarakt pribumi. Walaupun, Deandels mewakili pemerintahan Prancis dalam estafet kepemimpianannya, namun tetap saja peraturan Belanda yang dipakai.
Pada masa kepemimpinan Deandels, korban probumi banyak berjatuhan. Ia memerintahkan pembangunan jalan raya dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Kerja paksa kembali diterapkan untuk ambisi proyek jalan raya. Pribumi dipaksa bekerja tanpa digaji sepeserpun. Jalan ini dipakai untuk jalur pertahanan menghadapi serangan Inggris. jalan ini kemudian dikenal dengan jalan raya Deandels.
Munculnya Gerakan Perlawanan Terhadap Penjajah
Penting untuk diingat, bahwa sejarah awal mula kedatangan para bangsa-bangsa asing itu ke tanah Nusantara, pribumi dengan sangat gembira manyambut kedatangan mereka, sebab kehadiran mereka adalah untuk keperluan perniagaan, artinya akan saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, dalam bahasa Buya Hamka, dikasi hati maunya jantung, nafsu bangsa-bangsa asing (Belanda) ingin memonopoli perdagangan. Tidak mau rugi, harus untung besar. Pribumi tidak dianggap sebaga mitra perniagaan, sebaliknya dianggap sebagai pengganggu arus perdagangan dan perniagaan. Pribumi harus dijajah dan disingkirkan perannya. Dari sinilah bibit akar permusuhan dan perselisihan timbul. Hingga peperangan melawan penjajah itu meletus.
Rakyat Nusantara kemudian melakukan perlawanan. Mereka tidak mau tertindas oleh penjajah. Bahkan rela mati demi kehormatan tanah tumpah darah, pribumi rela melakukannya. Dengan tekad dan semangat yang membaja, rakyat Nusantara, penduduk pribumi berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah, wilayah, dari rongrongan, penindasan, dan cengkraman kuku penjajah.
Begitulah watak asli bangsa asing. Ketika mereka sudah melihat ada potensi materi dan kekayaan pada suatu negeri, mereka akan menggunakan segala cara untuk menguasainya. Dengan cara apapun, entah itu dengan ancaman, penyiksaan, penindasan hingga pembunuhan. Semuanya dilakukan demi mendapatkan materi dunia yang tidak akan pernah memuaskan nafsu serakah mereka.
Bentuk kolonialisme di atas, adalah gambaran jelas betapa kerasnya panjajahan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan penderitaan rakyat pribumi saat itu. Maka tidak salah dan pantas untuk dilawan. Konfrontasi dengan penjajah adalah kewajiban yang harus ditegakkan.
Referensi Buku, Panglima Besar Jendral Soedirman: Pemimpin Pendokbrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, (1993). Karya, Tjokropranolo (Let. Jen. (Purn) TNI AD
Bersambung ke bagian selanjutnya…
Wallahu’alam bish shawab
1 comment