Tantangan dakwah di era modern dan era teknologi seperti sekarang ini begitu kompleks. Dunia internet menjadi rujukan yang dapat diakses secara global oleh siapapun. Penyuluh Agama Islam (PAI) dituntut untuk menyampaikan berdakwah sesuai dengan kondisi zaman dan pola kehidupan masyarakat. Seorang penyuluh adalah Muslim yang tidak terombang ambing mengikuti arus gelombang, lalu berjalan menuruti langkah manusia ke mana saja ia berjalan dan ke mana ia menghadap.
Akan tetapi, bagi seorang Muslim ia diciptakan untuk menghadapi dunia, masyarakat dan peradaban. Sebab, Muslim mempunyai risalah, punya ilmu dan acuan kitab suci Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Pribadi muslim bukan menyerah dan tunduk mengikuti zaman dan masyarakat tersebut, tetapi ia harus bangun mengahadapi dan mengatasinya, berjuang mati-matian hingga Allah menetapkan ketentuannya.
Penyuluh Agama Islam sebagai perpanjangan tangan dakwah dari Kementrian Agama Indonesia ditugaskan untuk mengambil peran penting, guna terlaksananya misi dakwah di tengah-tengah masyarakat. Tentunya, dakwah di era modern yang deras dengan arus teknologi dan informasi membutuhkan pembaharuan strategi dan metode dalam berdakwah. Makalah ini mencoba menjelaskan bagaimana membangun strategi dakwah Penyuluh di era modern dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Islam yang universal atau Islam rahmatan lil âlamîn.
Fungsi Penyuluh dan Pengertian Dakwah
Penyuluh mempunyai tanggung jawab besar dalam misi dakwah. tugas dan fungsi pokok penyuluh sebagaimana diterangkan oleh Kementerian Agama Islam adalah Pertama, fungsi informatif, penyuluh sebagai tempat memperoleh informasi berkenaan dengan kehidupan keagamaan. Kedua, fungsi edukatif, penyuluh sebagai orang yang diamanahi mendidik umat sejalan dengan ajaran agama Islam. Ketiga, fungsi advokatif, penyuluh berperan untuk membela kelompok/umatnya dari sasaran ancaman dan gangguan. Keempat, fungsi konsultatif dan administratif, penyuluh sebagai tempat bertanya, mengadu bagi umat untuk penyelesaian masalah.
Berikut akan dijabarkan pengertian dakwah dari referensi ulama Islam yang mengacu kepada tugas pokok penyuluh di tengah masyarakat. Kata dakwah seringkali tidak diletakkan dalam konteks dan cenderung dipahami negatif oleh sebagian Orientalis (orang yang mengkaji kebudayaan Timur). Tidak hanya itu, kata dakwah (preaching) dipandang sebagai gerakan radikal atau extrim di masa dahulu bahkan sekarang dalam menyebarluaskan (propagate) Islam dalam bentuk kekerasan dan beberapa tuduhan lainnya. Agar tidak terjebak dalam lingkaran pemahaman yang keliru, harus didudukkan terlebih dahulu turunan pengertian dari kata dakwah tersebut.
Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab da’â, yad’ûw, da’watan. Kata tersebut mempunyai arti menyeru, memanggil, mengajak, melayani, fi’il amr nya adalah ud’ûw ajaklah dan serulah. Masduha di dalam Al-fâzh, membagi enam kata yang di ambil dari kata da’wah termasuk di dalamnya kata du’â yang berarti berdo’a, yakni meminta hanya kepada Allah. Kemudian kata ad-dâ’î yang berarti memanggil. Sementara Ar-Raghîb Al-Ashfahani dalam bukunya menyebutkan, kata dakwah di khususkan dengan seruan penisbatan, dan makna asal yang artinya adalah untuk keadaan yang menimpa manusia.
Di dalam al-Qur’an, kata dakwah sendiri disebutkan dalam varian kata yang berbeda. Terdapat kurang lebih empat varian kata yang terbentuk dari kata da’wah. Pertama, kata da’â menurut Abdul Qadir Hassan, dalam bentuk lampau/lalu disebutkan pada 10 surah dan 11 ayat. Misalnya, al-Qur’an Surah al-Anfal [8] ayat 24.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS. Al-Anfâl, ayat 24).
Kata da’â di sini mengandung makna memenuhi seruan. Prof. Hamka dalam tafsir Al-Azharnya menyambut makna seruan yang dimaksud adalah hidup untuk dekat kepada Allah. Hamka berpandangan hidup lebih aktif dari hanya sekedar taat. Hidup di sini maknanya bahwa hidup harus lebih aktif, produktif dan bernilai ibadah tidak seperti binatang, hidup namun tidak aktif, maksudnya adalah binatang tidak memiliki akal dan ilmu pengetahuan.
Kedua, kata yad’û. Merupakan fi’il muzarri’ yaitu perbuatan sedang atau akan dilaksanakan. Kata tersebut dalam bentuk tunggal (mufrad). Jika dalam bentuk jama’ yad’ûna dan kata ini disebutkan di al-Qur’an sebanyak 21 ayat di dalam 20 surat. Adapun pendapat berbeda mengenai kata yad’ûna dalam pengertian dakwah terdapat dalam 12 ayat , hal ini sebagaimana di terangkan oleh Al-Maraghi dalam tafsirnya. Kata dakwah dapat berupa ajakan kepada yang haq dan dapat pula menjadi ajakan kepada kebatilan.
Adapun yang ketiga. Kata dakwah merupakan ism masdar. Kata ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali, di dalam surah al-Baqarah [2]: 186, surat Yunus [10]: 89, Ar-Ra’d [13]: 14, Ibrahim [14]: 44 dan surat Rûm [30]: 25. Dari lima ayat tersebut, dua yang maknanya do’a dan tiga ayat lain bermakna da’wa yaitu surat Ar-Ra’d [13]: 14, Ibrahim [14]: 44, yang mempunyai arti seruan. Dan ar-Rûm [30]: 25, yang bermakna panggilan. Keempat, kata ud’û dalam al-Qur’an terdapat pada 8 surah dan 12 ayat.
Bersambung (bagian dua)
2 comments
Lanjut tadz, aku juga baru ngerintis website hehe (http://profius.my.id)
Siap. sama-sama merintis penjuangan melalui tulisan Ustadz.