Jika di Sumatra, Aceh Selatan terdapat legenda cerukan berbentuk telapak kaki besar, Tapaktuan, maka di salah satu Desa di Nusa Tenggara Barat muncul legenda Jempang mendoak. Jempang1 artinya jejak (bekas) tapak kaki. Sedangkan Mendoak2 sejenis makhluk berukuran besar. Mitologi Jempang Mendoak ini berasal dari Desa Kalimntong. Kecamatan Brang Ene, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Teggara Barat.
Mendoak merupakan gambaran makhluk besar yang diserupakan seperti king-kong. Namun dari beberapa sumber yang sempat diminta keterangannya, Mendoak lebih tepatnya dicitrakan kepada kombinasi manusia. Namun bukan seperti manusia convensional pada umumnya. Melainkan makhluk yang berpostur besar, kurang lebih seperti raksasa.
Legenda ini menjadi buah bibir di tengah masyarakat Desa Kalimantong. Banyak masyarakat dari kampung lain juga ikut terbawa rasa penasaran setelah mendengar leganda fenomenal ini. Dari tahun ke tahun cerita ini telah menjadi obrolan renyah para sesepuh dan orang yang sudah berumur lanjut di perkampungan Kalimantong.
Konon di sudut perkampungan ini dahulu kala pernah diinjak oleh makhluk berkaki besar bernama Mendoak atau makhluk super besar. Sebagian besar masyarakat, terutaman sesepuh desa percaya pada mitologi ini. Mungkin dahulu mereka juga telah mendengar legenda ini dari para ancestor (leluhur) secara turun-temurun kemudian diceritakan kembali kepada generasi penerus hingga generasi selanjutnya.
Disebabkan rasa penasaran, suatu waktu penulis meminta keterangan kepada beberapa sesepuh yang masih mengingat hikayah legenda ini. Menurut keterangan sesepuh desa, ternyata disebutkan bahwa, jejak kaki Mendoak tidak hanya berada dan membekas di Desa Kalimantong. Akan tetapi, tapak kaki raksasa itu juga ditemukan ditempat lain yang jauh di atas pegunungan-pegunungan yang berbatu. Dari bekas jejak kaki yang super besar itu memiliki ukuran yang beragam.
Keberadaan jejak kaki Mendoak di Desa Kalimantong, dapat ditemukan di sebuah bukit yang bernama ‘batu pisak’ (batu warna hitam). Jaraknya kurang lebih 5 kilo meter dari perkampungan. Untuk menuju ke bukit ‘batu pisak’ harus menyebrang sungai dan melintasi perkebunan warga di sekitar sungai. Terdapat 3 (tiga) jenis (jempang bekas kaki) Mendoak tertancap di batu pisak ini. Bekas kaki pertama, ukurannya lebih kurang setengah meter, atau ukuran ini yang terkecil. Lengkap dengan kelima bentuk jari kaki seperti kaki manusia normal, namun yang membedakannya adalah ukurannya. Ukuran ibu jari kaki makhluk raksasa itu, 10 (sepuluh) kali lebih besar dari ibu jari kaki orang dewasa.
Sementara, jejak jari kaki yang lain juga sama, masing-masing berukuran 10 kali lebi besar ukuran kaki manusia normal. Tapak jejaknya berjumlah lima jari. Kedua, hanya jejak injakan tumit saja. Tidak ada jejak ibu jari dan jari-jari yang lain. Terdapat bekas tumit yang menancap diatas permukaan batu hitam. Jika diamati dari bentunya, mungkin saja Mendoak itu berjalan dengan tumitnya (jinjit) atau melangkah tanpa menggunakan telapak dan jari kakinya secara sempurna. Boleh jadi tumitnya yang berukuran paling besar, sehingga menginjak batu hitam karena saking besarnya hingga menimbulkan bekas. Kedalaman tumit Mendoak yang tertancap kurang lebih setengah meter.
Bentuk jempang ketiga, lengkap atau sempurna. Ukurannya lebih besar lima kali dari bentuk yang pertama. Yang menarik dari jejak atau bekas tapak kaki Mendoak yang terakhir ini lengkap dengan tumit, ibu jari dan ke-empat jari kaki. Nampak jelas sekali, serupa jejak kaki seperti kaki manusia. Hanya saja, ukurannya yang jauh berbeda. Sampai sekarang pun, jejak kaki itu tidak berubah. Walau sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah ratusan tahun membekas di bukit batu pisak.
Kaena penasaran ingin melihat langsung dan ingin membutikan mitologi ini benar atau tidak, tahun 1999 saat itu penulis masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Penulis dan beberapa orang teman sempat pergi melihat lokasi dimana jejak Jempang Mendoak berada. Karena rasa penasaran itulah kami berniat berangkat ke bukit batu pisak.
Sayangnya, saat itu teknologi seperti kamera, HP, tergolong masih langka, sehingga moment dan bukti dari jejak kaki makhluk besar itu tidak sempat kami abadikan. Pukul sebelas siang hari kami berangkat. Dengan berbekal peralatan seadanya, seperti, pisau, parang dan tongkat dari kayu untuk sekedar melindungi diri dari hewan-hewan liar.
Setelah berjalan kaki menyeberangi satu sungai, kurang lebih satu jam setengah perjalanan, sampailah kami di bukit batu pisak. Kami harus mencari jalan termudah agar bisa mendaki batu pisak itu. Setelah menemukan jalan termudah untuk mendaki, satu persatu dari teman-teman mulai merangkak ke atas. Akhirnya, sampailah kami bukit batu pisak itu. Ternyata diluar dugaan, batu pisak yang kami lihat kecil dari seberang Desa Kalimantong, setelah di depan mata nampak besar, hitam dan tinggi..
Kami berpencar mencari lokasi dimana Jempang Mendoak itu berada. Dengan parasaan senang bercampur gembira, suara teman-teman berteriak memanggil yang lain. Ternyata salah seorang teman menemukan bekas Jempang Mendoak. Kami langsung berlari ke lokasi, dan berkumpul bersama melihat dengan jelas bahwa jejak kaki itu ada dan nyata. Sampai-sampai kami terbelalak setelah melihat ukuran jejak kaki makhluk yang super besar itu. Panjang ibu jari makhluk raksasa itu kurang lebih setengah meter lebih. Dapat dibayangkan kalau ukuran raksasa seperti dalam film; The Big Friendly Giant (BFG) yang dibintangi oleh (Mark Rylance) sebagai raksasa dan Sophie (Ruby Barnhill) sebagai manusia. Atau bisa juga seperti dalam film Jack the Giant Slayer yang dibintangi oleh Jack (Nicholas Hoult) yang berukuran besar.
Kalau di dalam gambaran fiksi saja sebesar itu, maka tidak dapat dibayangkan jika itu benar-benar ada di dunia nyata. Dalam hati Penulis bergumam saat melihat jejak Jempang Mendoak itu “wah pasti besar sekali postur makhluk itu ini benar-benar nyata”. “Makkhluk raksasa itu benar-benar adanya” sahut teman lainnya. Dan kami melihat dengan mata kepala sendiri. Dapatlah dikatakan saat itu kami sedang bermain di atas jejak kaki makhluk raksasa, yang entah boleh dikata makhluk itu benar-benar pernah hidup atau tidak. Yang jelas, jejak Jempang Mendoak itu ada di batu pisak.
Batu pisak, konon katanya dahulu sering dikunjungi warga untuk ritual pemujaan animisme-dinamisme3 yang saat itu kental sebagai kepercayaan di masyarakat. Contohnya seperti praktik ‘bayar niat’4. Namun tradisi bayar niat sekarang hampir jarang ditemukan, sebab pemahaman masyarakat tentang agama Islam lebih baik. Sehingga praktik bayar niat mulai ditinggalkan sebab bertentangan dengan sayri’at agama Islam
Mitologi ini dahulu kala biasanya diceritakan kepada anak-anak yang nakal. Jika mereka melawan atau menentang orangtua, guru dan yang lain. Jika disebutkan Jempang Mendoak maka anak-anak itu akan menagis, karena takut jika dibawa ke batu pisak.
Hemat penulis, legenda Jempang Mendoak ini dapat dijadikan sebagai bahan experiment bagi para peneliti arkeolog untuk mendatangi dan melihat langsung jejak kaki daripada makhluk besar itu. Terlepas dari perspektif apapun, entah bekas Jempang Mendoak itu hasil pahatan seniman atau karena benturan bebatuan dan sebagainya, Hal ini perlu dijadikan sebuah penelitian lapangan. Dan hasilnya dapat didokumentasikan. Seperti yang terdapat di Aceh
- Jempang, atau lampak ([bahasa Taliwang] jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya bekas tapak kaki. Dalam kamus KBBI kata ‘tapak’ dibagi dalam tiga pengertian. 1. Bidang kaki sebelah bawah, bisa digunakan untuk menapak; bidang. 2. Bekas jejak (bekas telapak) yang ditinggalkan. 3. Lahan tempat tumbuh tanaman.
- Kata Mendoak belum ditemukan dalam KBBI. Mungkin kosa kata ‘lama’ yang tidak masuk dalam kosa-kata bahasa indonesia. Kemudian artinya disepakati oleh masyarakat pada zamannya. Jika pembaca mempunyai referensi arti terang dari kata Mendoak, silakan dikoreksi.
- Sistem kepercayaan pemujaan terhadap leluhur. Termasuk benda benda tertentu yang dipercayai masyarakat memiliki kekuatan magis. Sehingga benda tersebut dikultuskan dan dikeramatkan. Baca Wikipedia animism-dinamisme.
- Bayar niat, (membayar niat) dalam istilah Islam disebut nazar. Perbedaanya, jika nazar dilaksanakan dengan sedekan atau puasa, bayar niat cenderung kepada mendatangai makam atau kubur yang dikeramatkan. Artinya bukan sembarang kuburan. Contoh kuburan wali, kuburan raja dan sejenisnya. Untuk lebih lanjut mengenai tradisi praktik bayar niat silakan baca skripsi Syamsul Arifin, dengan judul; Tradisi Bayar Niat dalam Keberagaman Masyarakat….” Tahun 2019.