Sastra

Sumbawa Barat: Mozaik Galeri yang Bersolek

Sumbawa Barat. Serpihan kota kecil, indah, menawan, sarat kenangan. Bukan sekadar cerita lama atau hikayat tanpa riak suara. Sumbawa Barat adalah nama sekaligus mozaik sejarah. Sejarah perjuangan dan perlawanan para penjajahan. Taliwang, jantung Sumbawa Barat adalah inspirasi keberanian.

Serpihan bukit-bukit kecil memagar sudut-sudut desa kota ini. Asri nan lestari. Angin berhembus mengantar kabar kepada helaian teratai yang menjuntai. Danau Lebo mendekap riak nelayan menyambung hidup. Jaring dan jala pancing bersahabat saling  intai dengan lumpur-lumpur cokelat.

Lebo, bak pertunjukan seni berbalut rias panggung meriah. Megah. Mencengangkan. Memikat memesona dalam riak parade gembul-gembul teratai yang mengapung. Nelayan, ikan gabus, mujaer, lele, dan parasit-parasit plangton bersahabat dalam konfigurasi simbiosisme mutualisme.

Mantar, desa unik, diketinggian yang tak wajar. Sejuk diselimuti kabut pagi. Penduduknya ramah. Hidup dalam ruh kesederhanaan. Mantar adalah tamsil hidup ketenangan abadi. Penduduknya hidup dalam semangat yang tak pernah tumbang. Dalam senyap, mereka tak terkabarkan. Bagai sisa-sisa daun yang jatuh dipelataran halaman.  Lengang. Nyaman tak tergambarkan. Hening tak terlukiskan.

Mantar, sebuah galeri yang bersolek. Tak ada rias kesombongan. Tampak selalu ingin dipeluk. Dari kejauhan keindahan berbalut apik mengintai mesra. Dalam kedipan mata Mantar melempar satire, “Berselencarlah bersamaku. Ku lempar engkau merayu nirwana.”

Surya pagi menyapa. Dibalik ranting-ranting pohon, saat jendela-jendela kayu tersibak kehangatan. Rarak Ronges, sepenggal desa wisata, dari sini cerita Robusta bermula. Sebuah mahakarya rasa, yang memaksa pengunjung saling berbisik “Rasa tak pernah bohong.”

Rarak, selalu memanjakan mata. Membuang roman-roman picisan. Ia adalah kompas kehidupan. Penentu arah mata angin puncak timur. Menusuk kabut meniup halimun. Gemercik air terjun, terhempas di batu cadas, keras tak beraturan, menciptakan nada-nada giarang. Menyentak kesunyian gendang-gendang pendengarannya.

Rarak, nama sekaligus perawakan menolak kalah. Pantang arang, tak lekang rintang. Pada sudut kemiringan bumi tumbuh menjulang. Walau seduh-sedan berteriak lepas. Serak dibungkus gelak kesunyian, ditelan malam menyapa kemesraan.

Gunung Samoan, jika dipandang nampak bersahaja. Di bawah kakinya nampak lukisan nyata. Hamparan sawah meliuk-liuk. Dataran rendah terhampar laksana Nirwana. Perpaduan arena keindahan anugerah Tuhan. Erat seperti jari merekat gagap pacul. Samoan adalah gambar hidup yang tak surut diisap keringat cobaan.

Kaki Samoan tegap, keras tercancap. Mendekap murka, menebar berkah. Badai dihentikan, gelombang angin disekapnya erat. Semoan, selalu setia menemani entah dalam kecemasan, kebahagian penduduk di jemari kakinya. Mengajarkan cinta kepadai manusia-manusia pembenci. Menuntun pengembara yang hilang arah.

Maluk, desa kaya raya. Sebuah desa yang dikenal karena melimpah hasil bumi, emas, permata berlian. Bukit emas meliuk-liuk. Tak habis dikeruk. Emas tumpah ruah. Kilauannya membuat mata terkesiap-siap. Memaksa jiwa-jiwa rapuh bertekuk lutut.  

Jutaan, miliaran, bahkan triliunan kemewahan mampu dibelinya. Maluk tidak tergoda, lebih memilih merendah. Memilik sederhana. Memendam remuk redam. Tidak menuntut lebih. Hanya ingin memberi bukan meminta-minta. Begitulah cara yang Tuhan ajarkan.

Bintang Bano, Tiu Suntuk. Dua bendungan raksasa. Meneropong keperkasaan arsitek modern. Perpaduan seni menata riak gelombang. Hamparan irigasi berkilo-kilo dihidupi. Petani tersirami. Padi membentang hijau di hamparan. Bintang Bano, ikon kebahagiaan. Tiu Suntuk lambang kesyukuran.

Taliwang. Keindahan yang tak tergambarkan. Tak ada harapan kebisingan. Hanya sebuah rujukan kebahagiaan. Taliwang bukan jiwa yang menciut disekap dingin. Taliwang adalah semangat yang mencengkram ketakutan.

Majulah Taliwang, Berkibarlah Sumbawa Barat!

Wallhu’alam bish shawab.

Related posts

Nenek dan Sebatang Cerutu

Sofian Hadi

Resensi buku “AYAH… Kisah Buya Hamka”

Sofian Hadi

Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Memoar Bagian Dua

Sofian Hadi

Kehidupan Keagamaan Di Sumbawa Tahun 1847 Dalam Laporan Zollinger

Yadi Surya Diputra (Bung Suryo)

Resensi Buku Jalan Nabi 1: Mengungkap Tabir Zaman Keemasan

Sofian Hadi

Buku “Hunian Ternyaman” dalam Selayang Pandang

Sofian Hadi

1 comment

Leave a Comment

You cannot copy content of this page