Tidak banyak orang tertarik berkecimpung di dunia sastra. Entah karena latah, apatis atau bisa jadi belum terbiasa menikmati bacaan yang mengandung seni. Padahal, dunia sastra dapat dipahami dan dinikmati oleh siapapun. Penikmat sastra bukan datang dari para akademisi, kaum intelektual, atau kaum terpelajar. Sekali lagi, tidak datang dari mereka.
Penikmat sastra sebaliknya datang dari mereka yang biasa-biasa saja. Mereka yang hidup dalam kesederhanaan intektual pun, berhak menjadi penikmat sastra. Tidak ada syarat khusus atau sejenis lisensi vip untuk terjun dan berkecimpung di profesi ini.
Tentunya, si penikmat sastra merujuk pada individu atau sekelompok orang yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap karya-karya seni, bahasa sastra. Ini mencakup berbagai orang dengan karakteristik dan kecenderungan yang bervariasi.
Dalam pengertian lain, mereka yang seringkali membangun koneksi emosional dan karakter dalam alur sebuah cerita. Jikapun ada syarat untuk menjadi penikmat sastra, maka syaratnya cuma satu, jadilah penikmat baca, atau penikmat buku. Itu saja.
Pada point terakhir kalimat diatas, ‘jadilah penikmat buku’ adalah syarat yang diajukan untuk terjun sebagai penikmat sastra. Mungkin ada sebagian dari pembaca akan bertanya-tanya kenapa harus terlebih dahulu harus menjadi penikmat buku? Kenapa harus jadi kutu buku? Atau kenapa harus gemar baca? untuk menjadi penikmat sastra, dan pertanyaan semacamnya. Toh, banyak dari kalangan penikmat sastra yang tidak hobi baca atau nulis, tapi mereka bisa menikmati karya sastra.
Pertanyaan ini di tanggapi oleh Rene Wellek dan Austin Warren dalam buku; Theory of Literature,1956. Menurut Wellek pertama, harus dibedakan terlebih dahulu antara sastra dan belajar sastra. Sastra adalah kreativitas, seni, kemampuan menangkap makna. Sementara belajar sastra adalah bentuk pengetahuan, ilmu (sciences) atau proses belajar untuk mendalami ilmu sastra tersebut.
“Literature is creative, an art. While others is species of knowledge or of learning.”[1] Pada pronsipnya terdapat prasyarat untuk menjadi penikmat sasatra, seperti harus menjadi penulis dulu kemudian baru akan bisa memahami sastra, ada juga yang mengatakan tidak perlu menjadi keduanya, cukup dengan membaca karya sastra saja sudah bisa menjadi penikmat sastra.
Perlu diketahui, jawaban penting dari Wellek di atas adalah mengacu kepada 2 (dua) kata kunci knowledge and learning (pengetahuan dan belajar). Pengetahuan dan belajar inilah yang ditekankan Wellek dan Warren. Adapun kerangka pada argumentasi, siapapun bisa menjadi penikmat sastra itu tidak sepenuhnya salah, tapi yang manjadi catatan adalah bagaimana cara seseorang akan memahami sastra. sementara dia tidak paham apakah ilmu sastra itu.
Apa judul buku yang di baca? Jenis buku apa yang di baca? Sejauh mana pemahaman tentang buku yang di baca? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu akan menjadi persoalan manakala syarat pertama tadi “cukup menjadi penikmat buku” tidak dipenuhi.
Karenanya, Wellek dan Warren menyarankan agar pengetahuan dan belajar mengenai sastra dan ilmunya itu penting. Pengetahuan, pemahaman, mengenai sastra itu dalam. Sebab belajar sastra itu adalah seperangkat pengetahuan dan pemahaman tentang seni, bahasa dan kreativitas. Orang yang belajar seni akan memandang segala hal secara mendalam.
Seni itulah yang akan melahirkan kreativitas atau sebaliknya, kretivitas akan membuat seseorang menjadi seniman dalam memecahkan atau memandang masalah di depan. Tentunya, seperangkat pengetahuan, ilmu tentang pemahaman dan belajar tentang sastra itu tidak bisa diabaikan. Sebab, tingginya pengetahuan sesorang akan nilai dan ilmu sastra, maka tingkat pemahamannya juga semakin dalam.
Kenapa Harus Menjadi Penikmat Buku?
Pada level ini, agak sedikit pesimis untuk menerangkan tentang menjadi penikmat buku. Karena banyak survey menunjukkan masyarakat kita (Indonesia) rendah dalam soal baca-membaca. Hal ini sudah menjadi rahasia umum jika minat baca masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja.
Dalam istilah Franz Kafka, jika minat baca kurang maka masyarakat itu dalam kondisi tragis. Hilangnya minat baca adalah tragedi hitam. Tidak ada yang bisa menerangkan tragedi yang tragis dalam suatu komunitas karena percuma saja. Pengetahuan yang rasionalpun sulit menjelaskan tragedi ini.
Untuk menjadi penikmat buku, butuh kesadaran baca yang tinggi. Kesadaran baca yang tinggi bersumber dari semangat intrinsik individu seseorang. Kesadaran ditingkat ini, sulit terealisasi bila tidak ada paksaan untuk mau membaca. Mungki keterpakasaan yang baik adalah keterpaksaan membaca. Membaca secara terpaksa memberikan maslahat positif bagi akal.
Teori dan metode apapun tanpa diuji akan nonsense (omong kosong). Dalam kapasitas uji teori inilah Wellek dan Warren menggunakan istilah ‘teori’ dalam karyanya. Teori kesusastraan yang menuntut siapapun terpaksa terperangkap di dalamnya. Terperangkap dalam artian, menjebak dirinya untuk cinta baca. Karena dengannnya, teori kesusastraan mendatangkan maslahat.
Memang tidak semua sastra diperoleh dengan dalil bacaan. Namun makna dan nilai sastra akan gamang bahkan kacau, apabila mengambil atau memotong satu dua kalimat. Argumentasi ini akan merusak sebagian, bahkan keseluruhan makna dari sastra itu. Mungkin ini yang dimaksud Wellek dengan istilah memasukkan kriteria asing dalam penilaian sastra.
Interpretasi yang liar boleh jadi akan berpotensi mengahalangi makna sebenarnya dari sastra. Padahal makna sebenarnya belum sampai ke sana. Ketajaman analisah, kedalaman pemahaman tentang sastra bisa diukur dengan menyajikan variable pembanding. Variable itulah yang membuat adil argumentasi sulit sekalipun. Narasi tentang keadilan argumentasi ini hanya ada pada ketajaman bacaan.
Singkatnya, penikmat sastra yang sebenarnya adalah penikmat bacaan yang membuka jalan konstruksi pemahaman demi mencegah terjadinya interpretasi liar pada sebuah teks. Sehingga keadilan narasi dan argumentasi dapat dipertanggungjawabkan oleh penikmat sastra sekaligus penikmat bacaan.
Wallahualam bish shawââb
[1] Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Lietrature. (New York: A Harvest book, 1956), hlm. 15