“Islam is the only civilization which has put the survival of the west in doubt, and it has done at least twice” [1]. Peran agama dalam perkembangan sejarah tidak bisa dipisahkan. Banyak cendekiawan merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban (civilization).
Agama adalah foktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Karena itulah Bernard Lewis menyebutkan peradaban Barat dengan sebutan “ChristianCivilization” sebagai unsur utama agama Kristen.
Lebih jauh lagi, menurut Christoper Dawson, “The great religions are the foundations of which the great civilization rest” terjemahan bebasnya; Agama merupakan fondasi peradaban yang besar. Di antara empat peradaban besar yang pernah eksis ialah Islam, Barat (Kristen), India dan China. Akan tetapi, Huntington berpendapat bahwa peradaban yang eksis itu Islam, Kristen, Hindu dan Konghucu.[2]
Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam suatu peradaban, maka dapat di prediksikan tanda-tanda kehancuran suatu peradaban dapat dilihat dari sejauh mana unsur utama (agama) dalam peradaban tersebut bisa bertahan dan berkembang di era globalisasi kekinian.
Jika agama yang menjadi pondasi utama peradaban itu sudah rusak, maka dapat diartikan, peradaban itu telah mangalami suatu perubahan yang signifikan. Tetapi hakekatnya, peradaban tersebut sudah rusak atau sudah hancur. Seperti di Indonesia, agama menjadi tantangan besar untuk menunjukkan identitas diri negara, dalam sebuah peradaban baik itu muslim Melayu atau bukan. Inilah tantangan terbesar era globalisasi kekinian, agama sedang menghadapi ancaman gelombang pasang surut keyakinan bagi masyarakat Muslim Melayu khususnya di Indonesia.[3]
Tidak dapat dipungkiri, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan hebat. Lebih dari itu besarnya pengaruh para wali dan ulama telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang hampir saja menjadi Negara Islam di Asia.
Namun, kondisi perpolitikan yang sangat carut-marut yang dipelopori oleh kelompok sekular-nasionalis dan arus kristenisasi menjadi penghalang dan penggulingan Islam yang coba di usung oleh para ulama dan wali saat itu. Pangeran Diponegoro misalnya, telah memperkanalkan Islam untuk dijadikan sebagai kekuatan terbesarperadaban di Indonesia.
Bangsa Indonesia sebenarnya selangkah lagi menerapkan syari’at Islam sebagai dasar Negara. Akan tetapi, melalui perdebatan yang sangat panjang. Dialog antara A. Hasan dan Ir. Soekarno yang sangat berseberangan dari sudut pandang keagamaan. Ir Soekarno berpendapat bahawa sistem kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk di Turki yang memisahkan antara agama dan Negara adalah langkah yang paling modern dan paling radikal.
Sementara, A.Hasan yang merupakan pendiri Persatuan Islam sangat mengkritik keras pandangan Soekarno tertang sekularisme. Dalam artikel yang pernah di tulisnya A. Hasan menegaskan bahwa; “Ir. Soekarno tidak mengerti tentang Eropa yang memisahkan antara agama Kristendari staat (Negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintahan[4]
Perdebatan tersebut terus berlanjut antara Islam dan sekularisme. Pada tahun 1955-1959 dalam Sidang Konstituante M. Natsir menyampaikan Pidato yang sangat bersejarah. Pada saat itu M. Natsir mengupas tuntas tentang kelemahan sekularisme. M. Natsir mengatakan; “Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan saja, seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber keparcayaan dan pengetahuan.[5]
M. Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 1970 ketua umum pengurus besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) Nurcholish Majid secara resmi menggulirkan perlunya dilakuakan Sekularisasi Islam dan juga proses Liberalisasi.
Sebagai salah satu contoh lihatlah Piagam Jakarta yang merupakan hasil kesepakatan antara golongan Islam dan golongan nasionalis-sekular, dan kemunculannya sangat singkat hanya sehari setelah hari kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah itu Piagam Jakarta diubah menjadi asas dasar di gagasnya Pancasila.
Sekiranya agama tidak memberikan sumbangsih terhadap khazanah kehidupan manusia, maka bisa diprediksikan pondasi peradaban suatu bangsa akan sulit berkembang dan memperoleh kemajuan. Disebabkan karena pondasi kepercayaan tidak diimbangi oleh nilai keilmuan.
Kesimpulannya, agama merupakan inti sebuah peradaban. Layaknya bangunan besar yang membutuhkan pondasi yang kuat dan tidak goyah. Dengan pondasi yang kuat itu manusia akan bersandar, tanpa harus takut terjatuh. Tanpa agama manusia akan liar. Tanpa agama manusia buta. Sebaliknya, dengan agama manusia mulia. Dengan agama pula manusia lebih berperadaban.
Disarikan dari buku Indonesia Masa Depan, Perspektif Peradaban Islam, karya DR. Adian Husaini
Wallahu ‘alam Bisshowab
[1] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (New York: Touchtone Books, 1996), hal 209-210
[2] Ibid, hal 47.
[3] Menurut S.M. Idris, Presiden Cunsumer Association of Penang (PAC), globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kaum Muslim. Lihat Footnote buku Indonesia Masa Depan, Perspektif Peradaban Islam, hal 13.
[4] Ibid, hal 34.
[5] Ibid, hal 36.